Salah satu ciri utama Kurikulum Merdeka adalah pengembangan Profil Pelajar Pancasila yang mencakup enam dimensi: beriman dan bertakwa, berkebhinekaan global, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, serta kreatif. Siswa diharapkan mengembangkan setiap dimensi tersebut secara berimbang melalui kegiatan belajar sehari-hari.
Namun, kebijakan terkait asesmen berdasarkan Profil Pelajar Pancasila dinilai terlalu kaku dan menyulitkan, terutama untuk pengukuran dimensi-dimensi non-kognitif seperti gotong royong dan beriman. Sebuah studi oleh Pusat Asesmen dan Pembelajaran (2023) menunjukkan bahwa guru merasa kesulitan untuk menilai dimensi-dimensi tersebut secara objektif.Â
Karena indikator yang disediakan cenderung bersifat normatif dan sulit diterjemahkan dalam praktik, penilaian menjadi tidak konsisten antara satu guru dengan guru lain, atau antara satu sekolah dengan sekolah lain.
Teori Multiple Intelligences oleh Howard Gardner menyatakan bahwa setiap siswa memiliki beragam potensi kecerdasan yang tidak dapat diukur secara seragam. Kebijakan asesmen yang terlalu rigid justru menghambat potensi siswa yang mungkin memiliki kecerdasan di luar parameter yang diukur. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu diperlonggar dengan memberikan fleksibilitas kepada guru dalam melakukan asesmen dan menyesuaikan dengan kondisi siswa serta konteks lokal.
3. Kebijakan Pemilihan Mata Pelajaran yang Terlalu Fleksibel di Jenjang SMP dan SMA
Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan kepada siswa di jenjang SMP dan SMA untuk memilih mata pelajaran yang mereka sukai atau sesuai dengan minat karier masa depan. Meskipun hal ini bertujuan untuk memberi ruang kepada siswa dalam mengeksplorasi minat dan bakat mereka, kebijakan ini menimbulkan beberapa masalah serius.
Menurut data dari Kemendikbud (2022), banyak siswa memilih mata pelajaran berdasarkan tren atau tekanan sosial daripada minat sejati mereka. Selain itu, pemilihan mata pelajaran yang terlalu fleksibel berpotensi memperlebar kesenjangan antara siswa yang berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas lengkap dan yang tidak. Di sekolah-sekolah dengan sumber daya terbatas, siswa tidak bisa memilih semua mata pelajaran yang diinginkan karena kekurangan guru spesialis di bidang tertentu.
Teori Pendidikan Inklusif oleh Lev Vygotsky mengajarkan bahwa pendidikan sebaiknya memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan individu dengan kebutuhan sosial. Ketika siswa diberikan kebebasan penuh tanpa panduan yang jelas, risiko ketimpangan dalam pendidikan meningkat. Oleh karena itu, kebijakan pemilihan mata pelajaran yang terlalu fleksibel perlu dibatasi dengan panduan yang lebih terarah agar tetap sejalan dengan kebutuhan pendidikan umum dan perkembangan akademik siswa secara holistik.
4. Kebijakan Pembelajaran Berdiferensiasi Tanpa Pendampingan yang Memadai
Kebijakan pembelajaran berdiferensiasi adalah salah satu inti dari Kurikulum Merdeka. Kebijakan ini bertujuan agar pengajaran disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan masing-masing siswa. Namun, penerapan pembelajaran berdiferensiasi di lapangan sering kali tidak disertai dengan pendampingan dan pelatihan yang memadai bagi para guru.
Menurut survei dari Asosiasi Guru Indonesia (2023), 70% guru mengaku kebingungan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Mereka merasa kurang mendapatkan pelatihan intensif dan pendampingan yang diperlukan untuk memahami konsep ini secara mendalam. Akibatnya, penerapan pembelajaran berdiferensiasi menjadi tidak konsisten dan justru menambah beban kerja guru.