Di sisi lain, eksploitasi kinerja yang terus-menerus tanpa memberikan ruang bagi karyawan untuk beristirahat atau memulihkan diri, berpotensi merusak kesehatan mental. Burnout, kecemasan, dan depresi adalah beberapa dampak langsung dari kondisi kerja yang terlalu menekan. Hal ini sering diperburuk oleh kebijakan perusahaan yang tidak mempertimbangkan kesejahteraan mental karyawan, seperti jam kerja yang panjang dan ekspektasi yang tidak manusiawi.
Sebuah studi dari WHO pada tahun 2021 menunjukkan bahwa 745.000 orang meninggal setiap tahun akibat masalah kesehatan yang terkait dengan jam kerja yang panjang, termasuk penyakit jantung dan stroke. Angka ini menggambarkan dampak serius dari kondisi kerja yang melelahkan, terutama di kalangan pekerja yang terjebak dalam siklus eksploitasi kinerja.
Teori stress kerja dari Karasek dan Theorell (1990) mengemukakan bahwa stres kerja dapat dikurangi jika karyawan memiliki kendali lebih besar atas pekerjaan mereka. Namun, di banyak kasus eksploitasi kinerja, kendali ini hampir tidak ada, yang menyebabkan stres kerja yang kronis. Beban kerja yang tinggi tanpa kendali yang cukup sering kali menghasilkan perasaan tak berdaya dan kelelahan mental yang dalam.
Peran Perusahaan dan Manajemen dalam Mengatasi Eksploitasi Kinerja
Perusahaan memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa karyawan bekerja dalam kondisi yang mendukung kesejahteraan fisik dan mental mereka. Salah satu cara yang efektif adalah dengan menerapkan kebijakan yang mengedepankan keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi, seperti fleksibilitas jam kerja atau cuti yang cukup.
Perusahaan-perusahaan progresif seperti Google dan Microsoft, misalnya, mulai menerapkan budaya kerja yang lebih fleksibel dan mendorong karyawan untuk mengambil istirahat secara rutin. Menurut survei McKinsey pada tahun 2021, perusahaan yang menyediakan lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan mental karyawannya melihat peningkatan produktivitas sebesar 15-20% dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memberikan perhatian pada isu ini.
Penting juga bagi manajemen untuk mengukur kinerja karyawan dengan cara yang lebih realistis dan memperhitungkan dampak dari beban kerja yang berlebihan. Misalnya, daripada semata-mata mengejar angka produktivitas, manajemen dapat memfokuskan penilaian kinerja pada kualitas kerja dan kemampuan karyawan untuk bekerja secara kolaboratif dan inovatif.
Pengembangan Diri yang Seimbang: Jalan Tengah
Eksploitasi kinerja bisa menjadi pengembangan diri jika diimbangi dengan manajemen stres dan keseimbangan yang baik antara tuntutan kerja dan hak karyawan untuk beristirahat. Dalam teori psikologi positif, seperti yang diungkapkan oleh Martin Seligman, pertumbuhan individu dapat terjadi ketika seseorang menghadapi tantangan, tetapi tantangan tersebut harus diikuti dengan dukungan yang cukup agar individu tersebut tidak mengalami kelelahan atau keruntuhan mental.
Sebagai contoh, program mentoring atau pelatihan yang berkelanjutan di tempat kerja bisa menjadi cara yang efektif untuk mendorong pengembangan diri tanpa harus mengeksploitasi tenaga kerja. Ketika karyawan merasa bahwa mereka didukung dalam upaya mereka untuk belajar dan berkembang, tekanan kerja dapat diubah menjadi motivasi positif.
Kesimpulan: Eksploitasi atau Pengembangan?