Namun, fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di seluruh dunia, politisi menggunakan media sosial sebagai platform utama untuk menciptakan dan mengendalikan narasi tentang diri mereka. Misalnya, mantan Presiden AS Barack Obama sangat berhasil menggunakan media sosial selama kampanyenya pada tahun 2008, sehingga ia berhasil menciptakan citra sebagai pemimpin muda dan progresif. Politisi lain, seperti Donald Trump, juga berhasil membangun citra mereka melalui strategi komunikasi media yang intensif dan kontroversial di Twitter.
Dampak Pencitraan yang Berlebihan
Pencitraan pejabat publik yang berlebihan dapat menimbulkan beberapa masalah. Pertama, hal ini dapat mengaburkan realitas dan substansi politik. Ketika masyarakat terlalu fokus pada citra, mereka cenderung mengabaikan kebijakan yang sesungguhnya diusulkan oleh seorang kandidat.Â
Misalnya, banyak pemilih yang mungkin terpesona dengan cara seorang politisi berkomunikasi atau tampil di publik, tetapi mereka tidak memeriksa lebih dalam tentang apakah kebijakan yang diajukan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kedua, pencitraan yang intens dapat menciptakan jarak antara politisi dan rakyat. Meskipun tujuan awal pencitraan adalah untuk mendekatkan politisi dengan masyarakat, jika dilakukan secara berlebihan, ini bisa membuat masyarakat merasa skeptis.Â
Ketika seseorang terus-menerus melihat gambar seorang politisi dalam situasi "ideal" yang mungkin dibuat-buat, mereka mungkin mulai meragukan keaslian dari citra tersebut. Ini dapat memicu hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi politik secara keseluruhan.
Data dari Edelman Trust Barometer 2022 juga menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap politisi terus menurun di banyak negara. Salah satu alasan utamanya adalah masyarakat mulai merasa bahwa apa yang mereka lihat di media sosial dan televisi bukanlah representasi yang akurat dari realitas politik. Banyak yang merasa bahwa politisi lebih peduli pada citra daripada kinerja nyata.
Media Sosial dan Peran Media dalam Pencitraan
Media sosial telah menjadi platform utama dalam pencitraan modern. Dengan munculnya platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok, politisi sekarang dapat langsung berkomunikasi dengan pemilih tanpa melalui media tradisional. Ini memberi mereka kendali yang lebih besar atas bagaimana mereka ingin dilihat oleh publik.
Namun, di sisi lain, media sosial juga mempercepat penyebaran citra yang salah atau menyesatkan. Banyak pejabat yang memanfaatkan media sosial untuk memperlihatkan diri mereka dalam cahaya yang positif, sementara fakta di lapangan mungkin berbeda.Â
Misalnya, ada pejabat yang kerap memposting foto atau video kegiatan sosial yang mungkin hanya dilakukan untuk pencitraan, tanpa upaya nyata untuk membantu masyarakat secara berkelanjutan.