Dalam era modern yang didominasi oleh teknologi dan media sosial, pencitraan pejabat publik sering kali dianggap sebagai salah satu elemen kunci dalam karier politik seseorang. Istilah "pencitraan" merujuk pada upaya sistematis untuk membentuk dan mengelola persepsi publik terhadap seseorang, terutama pejabat atau kandidat politik. Pertanyaannya adalah, apakah pencitraan ini telah menjadi komoditas utama dalam politik, dan apakah ini merupakan fenomena baru?
Pencitraan Pejabat Publik: Sebuah Definisi
Pencitraan pejabat publik adalah proses di mana seorang pejabat atau calon politik berusaha menciptakan kesan positif di mata publik. Ini bisa mencakup bagaimana mereka berpakaian, berbicara, bertindak, dan berinteraksi dengan media. Media sosial, televisi, dan surat kabar menjadi saluran utama dalam menyampaikan citra tersebut ke publik. Dengan kata lain, pencitraan adalah seni mengendalikan bagaimana seseorang ingin dilihat oleh orang lain.
Dalam politik modern, pencitraan sering dianggap penting, bahkan kadang-kadang lebih penting daripada substansi atau rekam jejak seseorang. Namun, ini bukan hal baru. Sejak era klasik, politisi telah memanfaatkan berbagai strategi untuk membangun citra diri yang dapat diterima oleh masyarakat.Â
Misalnya, dalam peradaban Yunani dan Romawi kuno, para pemimpin menggunakan retorika yang kuat untuk menciptakan kesan karismatik dan berwibawa di mata rakyat.
Pencitraan Sebagai Komoditas: Fakta dan Fenomena
Ketika kita mengatakan bahwa pencitraan pejabat publik telah menjadi komoditas, kita merujuk pada ide bahwa pencitraan kini tidak hanya menjadi alat, tetapi juga sesuatu yang "diperdagangkan" atau dipasarkan kepada masyarakat. Dalam konteks ini, komoditas adalah sesuatu yang dapat dijual atau dipromosikan secara sengaja kepada publik untuk mendapatkan dukungan politik.
Data dan pengamatan terbaru menunjukkan bahwa pencitraan pejabat publik di Indonesia maupun di dunia memang semakin dianggap sebagai elemen penting dalam politik. Sebagai contoh, survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 70% pemilih mengaku memilih kandidat berdasarkan citra yang mereka lihat di media sosial dan televisi.
 Ini menunjukkan bahwa pencitraan memainkan peran penting dalam keputusan politik masyarakat.
Di Indonesia, kasus-kasus pencitraan pejabat dapat kita lihat pada saat-saat penting seperti pemilihan umum dan kampanye politik. Banyak kandidat yang sengaja memperlihatkan citra "merakyat" dengan cara tampil sederhana, berbaur dengan masyarakat miskin, atau bahkan menjalani pekerjaan kasar di depan kamera. Ini adalah bagian dari strategi pencitraan yang dirancang untuk membuat mereka tampak lebih dekat dan relatable bagi pemilih.