Jika dulu kita terbiasa mengonsumsi tayangan media sosial hanya dari platform Line, Watshapp, Twitter (sekarang X), hingga Facebook dengan resolusi yang juga sangat membuat sakit mata yakni 3gp atau bahkan resolusi terbaik hanya sampai ukuran 480p.Â
Kini nampaknya hal tersebut sudah tak berlaku lagi. Seiring dengan meningkatnya kecanggihan dunia teknologi informasi, dunia seakan sudah berubah jauh meninggalkan hal-hal jadul yang sempat kita nikmati di tahun 2000-an hingga 2010.Â
Mulai dari munculnya tipe-tipe ponsel yang beragam dan semakin canggih, hingga munculnya ragam sosial media yang semakin memanjakan mata para penggunanya di seluruh dunia. Salah satunya adalah Tiktok.Â
TikTok pertama kali diluncurkan pada September 2016 oleh perusahaan teknologi asal Tiongkok, ByteDance, dengan nama asli "Douyin" untuk pasar Tiongkok. Aplikasi ini dirancang sebagai platform berbagi video pendek yang memungkinkan pengguna untuk membuat konten kreatif dengan durasi singkat, dilengkapi dengan musik latar dan berbagai efek visual.Â
Pada 2017, ByteDance memperluas aplikasi ini ke pasar internasional dengan nama "TikTok." Pada saat yang sama, ByteDance mengakuisisi aplikasi serupa bernama "Musical.ly," yang memiliki basis pengguna kuat di Amerika Serikat dan Eropa. Penggabungan kedua platform ini pada 2018 mendorong popularitas TikTok secara global.
Di Indonesia, TikTok pertama kali hadir pada tahun 2017 dan segera menarik perhatian, terutama di kalangan generasi muda yang menikmati konten video kreatif dan hiburan ringan.Â
Namun, pada pertengahan 2018, aplikasi ini sempat diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia karena dianggap memuat konten negatif.Â
Setelah ByteDance memenuhi beberapa syarat, termasuk memperbaiki sistem moderasi konten, TikTok kembali dibuka di Indonesia, dan sejak itu popularitasnya meroket. TikTok kini menjadi salah satu aplikasi media sosial paling populer di Indonesia, dengan jutaan pengguna aktif dan konten yang mencakup berbagai topik, mulai dari hiburan hingga edukasi.
Menurut data yang dihimpun dari dataindonesia.id, jumlah pengguna media sosial Tiktok sendiri telah menyentuh angka 1,6 miliar pengguna hingga Juli 2024.Â
Lebih lanjut menurut data dari We Are Social dan Meltwater, jumlah negara pengguna Tiktok tertinggi masih dipengang oleh Indonesia dengan jumlah pengguna menyentuh angka 157,56 juta pengguna, disusul oleh Amerika Serikat dengan 120 juta pengguna, dan Brasil serta Meksiko dengan masing-masing 105,26 juta pengguna dan 77, 55 juta pengguna.Â
Dari data tersebut muncul pertanyaan lain yang mengganjal pemikiran kita, yakni "kemana negara China sebagai pionir atau pencetus aplikasi sosial Media tersebut?" Apakah penduduknya tak diajarkan bahwa bermain Tiktok itu sangat membahagiakan?
Di China sendiri nama aplikasi Tiktok sendiri tak akan kita jumpai, masyarakat di sana justru familiar dengan nama awal Tiktok itu sendiri yakni Douyin.  Maka dari itu, untuk data dari China kita tidak paparkan karena hanya mengambil dari nama Tiktok saja.
Konten-Konten Tiktok saat Ini dan Hobi Scrolling Masyarakat Indonesia
Kalau sebagian dari kita ditanya, apakah scrolling tiktok termasuk ke dalam hobi baru? Jawabnya mungkin beragam, dan jawabannya pasti ia. Karena pada dasarnya, scrolling sendiri adalah kegiatan lama yakni melakukan aktivitas mengamati hal-hal atau berita yang terjadi di seluruh dunia melalui media sosial yang biasanya diunggah oleh pengguna media sosial itu sendiri.Â
Cara kerjanya sendiri bisa dikatakan tiktok ini sama saja seperti sosial media yang lain.Â
Mengandalkan visualisasi gambar bergerak serta tren-tren efek yang viral kemudian diintegrasikan dengan ragam peristiwa yang terjadi di sekitar kita, membuat aplikasi ini menjadi primadona di kalangan masyarakat di berbagai kelas serta bahkan mampu mengalahkan pamor televisi.Â
Konten-konten yang disajikan pun juga beragam tergantung dari jenis hobi yang kita tulis pada saat pertama kali membuat akun tiktok tersebut. Tiktok sendiri hanya menampilkan tayangan informasi yang memang sering kita saksikan saja.Â
Misalnya, pada saat kita memlih hobi olahraga sepakbola pada saat mendaftar, maka sejak awal tayangan yang ditampilkan adalah tentang pertandingan sepakbola dan akan berubah apabila kita menyaksikan tayangan-tayangan yang kita cari sendiri di aplikasi tersebut.
Konten Negatif, Spam Penipuan, Hingga Ujaran Kebencian
Tak semua sosial media memang yang bisa tampil bersih di depan mata para usernya dengan menampilkan konten-konten yang mendidik dan bermanfaat. Sekali lagi itu semua tergantung dari si pengunggah yang peduli dengan konten-konten positif tersebut. Sering kita jumpai bahwa konten-konten yang tampil di tiktok justru tak berisi konten yang positif.Â
Melansir dari laman website Bussines of Apps, jumlah pengguna tiktok sendiri didominasi oleh mereka yang berusia 18-24 tahun yang mencapai angka 34,9% pada tahun 2022 lalu. Itu artinya, 34,9% data pengguna tersebut didominasi oleh mereka yang berusia sekolah dari SMA hingga anak kuliahan.Â
Belum lagi data tersebut juga membuktikan bahwa paparan konten yang tidak sehat justru banyak dikonsumsi oleh mereka yang berusia produktif yakni 24 tahun ke bawah.
Konten-konten seperti cuplikan joget viral dengan busana yang tak senonoh, unggahan kekerasan, tayangan asusila yang semi sensor, hingga ujaran kebencian.  Tayangan-tayangan tersebut memang tak vulgar ditampilkan pada saat menyaksikan tayangan tiktok, melainkan disajikan bersama dengan konten yang lagi viral.Â
Misalnya sebuah tayangan yang isinya joget atau tarian tertentu disajikan dengan musik yang lagi viral dengan diaransemen ulang nada dan temponya kemudian ditampilkan dengan gerakan tertentu sembari menampilkan si pembuat konten yang sengaja menggunakan busana yang berbau porno.Â
Kemudian, tayangan tren atau konten gerakan yang negatif. Misalnya tren membuat video loncat dengan kaki bagian belakang yang ditendang oleh rekannya, secara sekilas memang itu nampak sepele. Namun, jika diperagakan bisa berakibat cedera serius dan masih banyak lagi tren lain yang biasa muncul di layar tiktok.
Tak cukup sekadar gerakan, ada pula spam penipuan yang mengatasnamakan lembaga tertentu dengan iming-iming keuntungan besar sambil meminta si pengguna tiktok untuk menyelesaikan misi tertentu melalui telegram atau wa yang berawal dari meminta data identitas diri atau nomor telepon.Â
Jika si pengguna tiktok sudah terjerat, tunggu saja kerugian materi berupa uang mulai dari ratusan ribu, jutaan, puluhan, bahkan ratusan juta akan dengan mudah hilang dalam waktu singkat.
Ada juga konten-konten ujaran kebencian yang mengatasnamakan sebuah agama atau golongan tertentu yang kemudian mencari massa sembari menjelekkan pihak-pihak tertentu mulai dari perorangan, kelompok, hingga pemerintah.Â
Pada dasarnya,  konten-konten yang berseliweran di tiktok murni datang dari mereka yang juga mengikuti tren yang sedang ramai di media sosial tersebut. Tak ada yang dapat mencegah negatif atau positif konten tersebut ditonton.Â
Sebagai masyarakat, kita sendirilah yang harus mampu menjadi filtrasi bagi anak-anak kita, generasi muda, atau bahkan orang tua kita sendiri agar tak sembrono dalam hal menggunakan media sosial tiktok tersebut.
#SalamLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H