Mencari pekerjaan di Indonesia bukanlah tugas yang mudah. Tingginya angka pengangguran, ketatnya persaingan, serta perubahan tren industri kerap kali menjadi tantangan besar bagi para pencari kerja.Â
Meskipun sudah menempuh pendidikan tinggi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa memperoleh pekerjaan impian membutuhkan lebih dari sekadar ijazah.Â
Fenomena ini menjadi tamparan keras bagi banyak individu yang baru terjun ke dunia kerja. Artikel ini akan mengulas beberapa realita yang dihadapi para pencari kerja di Indonesia dengan menyertakan data kuantitatif untuk memberikan gambaran lebih jelas.
1. Tingginya Angka Pengangguran di Kalangan Lulusan Perguruan Tinggi
Menyelesaikan pendidikan tinggi di Indonesia, meskipun tetap menjadi prestasi besar, belum tentu menjamin pekerjaan yang diidamkan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 5,86%.Â
Namun, yang lebih mengejutkan adalah bahwa angka pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi mencapai 8,56%, lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pengangguran lulusan SMA yang berada di angka 6,67%.
Penyebab utama tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah ketidakcocokan antara keterampilan yang dimiliki lulusan dan kebutuhan pasar tenaga kerja.Â
Banyak industri yang membutuhkan keterampilan praktis dan kemampuan teknis, sedangkan sebagian besar kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia masih berfokus pada teori dan akademik.Â
Alhasil, lulusan perguruan tinggi sering kali harus bersaing dengan tenaga kerja yang memiliki pengalaman kerja atau pelatihan teknis yang lebih relevan.
2. Persaingan yang Semakin Ketat
Jumlah pencari kerja di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 146,6 juta orang, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 144 juta orang.Â
Dengan banyaknya pencari kerja, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan menjadi sangat ketat. Bahkan, banyak lulusan yang merasa harus menerima pekerjaan di bawah ekspektasi mereka, baik dari segi gaji maupun posisi.
Salah satu contohnya adalah banyaknya lulusan sarjana yang bekerja di sektor informal atau di posisi yang tidak memerlukan gelar akademik.Â
Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2023, sekitar 17% dari lulusan perguruan tinggi bekerja di sektor informal, sementara 25% lainnya bekerja di posisi yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka.Â
Fenomena ini menandakan bahwa meski memiliki pendidikan formal yang tinggi, tidak semua lulusan dapat menemukan pekerjaan yang sepadan dengan kompetensi yang mereka miliki.
3. Pengaruh Teknologi dan Automasi
Kemajuan teknologi dan digitalisasi telah mengubah wajah dunia kerja di Indonesia. Di satu sisi, teknologi menawarkan peluang baru bagi sektor pekerjaan yang berbasis teknologi informasi, data, dan pengembangan perangkat lunak.Â
Namun, di sisi lain, sektor-sektor tradisional, seperti manufaktur dan perbankan, mulai mengurangi jumlah pekerja karena adanya automasi.
Menurut laporan dari McKinsey & Company, sekitar 23 juta pekerjaan di Indonesia berisiko tergantikan oleh automasi hingga tahun 2030.Â
Pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya didominasi oleh manusia, seperti kasir, teller bank, dan operator pabrik, semakin berkurang seiring dengan adopsi teknologi baru.Â
Oleh karena itu, para pencari kerja di Indonesia harus beradaptasi dengan perubahan ini, mengembangkan keterampilan baru, serta siap untuk menghadapi tantangan di era digital.
4. Ketidakseimbangan antara Ketersediaan Pekerjaan dan Kualitas Pekerjaan
Kendati angka kesempatan kerja di Indonesia terus bertambah, ketersediaan pekerjaan yang berkualitas masih menjadi tantangan besar.Â
BPS mencatat bahwa pada Februari 2023, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 58,65% dari total pekerja, atau sekitar 82,3 juta orang. Pekerjaan informal ini umumnya tidak memberikan jaminan sosial, keamanan pekerjaan, serta upah yang layak.
Para pencari kerja sering kali harus memilih antara menerima pekerjaan informal dengan upah rendah atau tetap menganggur sambil menunggu kesempatan kerja yang lebih baik.Â
Bagi mereka yang bekerja di sektor formal, tekanan untuk bersaing dan bertahan di tempat kerja juga tidak kalah berat.Â
Banyak perusahaan memberlakukan sistem kontrak kerja yang singkat, tanpa jaminan keberlanjutan pekerjaan, sehingga menambah ketidakpastian di kalangan pekerja muda.
5. Stigma Terhadap Pengalaman Kerja dan Magang
Pengalaman kerja sering kali menjadi syarat utama yang dicantumkan dalam iklan lowongan pekerjaan. Sayangnya, hal ini menjadi dilema bagi para pencari kerja yang baru lulus dari perguruan tinggi, karena sulit bagi mereka untuk memperoleh pengalaman kerja yang relevan.Â
Banyak lulusan yang mengandalkan program magang untuk mengisi kekosongan tersebut, namun tidak semua program magang memberikan pengalaman berharga atau peluang untuk mendapatkan pekerjaan tetap.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sekitar 70% perusahaan di Indonesia mensyaratkan pengalaman kerja minimal satu hingga dua tahun, meskipun posisi yang ditawarkan tergolong entry-level.Â
Hal ini mempersulit para lulusan baru untuk menembus pasar kerja dan memulai karier mereka. Mereka kerap kali harus berjuang melalui berbagai program pelatihan, kursus tambahan, atau bekerja di posisi sementara dengan harapan bisa memperoleh pengalaman yang dibutuhkan.
6. Dampak Pandemi terhadap Peluang Kerja
Pandemi COVID-19 telah memperburuk situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan membatasi perekrutan selama masa krisis ekonomi tersebut.Â
Pada puncak pandemi, tingkat pengangguran di Indonesia melonjak hingga 7,07% pada tahun 2020, angka tertinggi dalam dua dekade terakhir.Â
Meskipun angka tersebut sudah mulai menurun, dampaknya masih terasa, terutama di sektor-sektor seperti pariwisata, perhotelan, dan ritel.
Sebagai tambahan, pandemi juga mempercepat perubahan pola kerja. Banyak perusahaan yang kini menerapkan model kerja hybrid atau remote, yang berarti para pencari kerja harus mampu beradaptasi dengan teknologi dan lingkungan kerja yang lebih fleksibel.Â
Namun, tidak semua pencari kerja di Indonesia memiliki akses yang memadai terhadap infrastruktur digital atau memiliki keterampilan yang relevan untuk model kerja baru ini.
Pencari kerja di Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks, mulai dari tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi, persaingan yang ketat, hingga dampak teknologi dan pandemi.Â
Untuk dapat bertahan dan berkembang di tengah situasi ini, para pencari kerja harus proaktif dalam mengembangkan keterampilan baru, beradaptasi dengan tren industri, serta bersedia untuk mengeksplorasi peluang di luar jalur karier tradisional.
Di sisi lain, pemerintah dan sektor industri juga perlu berkolaborasi lebih erat untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja yang dinamis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H