Korupsi telah menjadi masalah besar di banyak negara, termasuk Indonesia. Tindak pidana ini berdampak buruk bagi perekonomian, pembangunan, dan kualitas hidup masyarakat. Di tengah tuntutan untuk memperberat hukuman bagi para pelaku korupsi, muncul pertanyaan: Mengapa Indonesia tampak enggan untuk menerapkan hukuman mati terhadap koruptor, seperti yang dilakukan oleh China? Artikel ini akan membahas beberapa faktor yang berkontribusi terhadap perbedaan pendekatan tersebut, baik dari sudut pandang hukum, politik, maupun sosial.
A. Hukuman Mati dalam Konteks Korupsi di China
China dikenal tegas dalam menindak kejahatan korupsi, dan hukuman mati telah lama menjadi salah satu sanksi tertinggi bagi para koruptor di negara tersebut. Penerapan hukuman mati di China diatur oleh undang-undang, terutama dalam kasus-kasus korupsi dengan nilai yang sangat besar atau ketika korupsi dianggap merugikan negara secara signifikan. Pada tahun 2020, misalnya, seorang mantan kepala perusahaan asuransi terkemuka di China dihukum mati setelah dinyatakan bersalah atas dugaan korupsi sebesar 1,7 miliar yuan atau sekitar Rp3,8 triliun.
Ada beberapa faktor yang membuat hukuman mati di China masih diberlakukan secara efektif dalam kasus korupsi. Pertama, China memiliki tradisi panjang dalam menerapkan hukuman berat untuk kejahatan yang dianggap merusak negara. Selain itu, pemerintah China menggunakan hukuman mati sebagai cara untuk menunjukkan ketegasan dan komitmennya dalam memerangi korupsi. Hal ini, pada gilirannya, meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Namun, di sisi lain, China juga mendapat kritik dari komunitas internasional mengenai pelanggaran hak asasi manusia terkait penerapan hukuman mati, termasuk minimnya transparansi dalam proses pengadilan.
B. Tantangan Penerapan Hukuman Mati di Indonesia
Indonesia, meskipun sama-sama mengalami masalah serius dengan korupsi, belum menerapkan hukuman mati untuk para koruptor. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini:
Aspek Hukum dan Konstitusi
Dalam hukum Indonesia, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), korupsi dianggap sebagai tindak pidana berat. Namun, hukuman mati hanya dijatuhkan dalam beberapa kejahatan tertentu, seperti terorisme, narkotika, dan pembunuhan berencana, bukan korupsi. Undang-undang korupsi yang berlaku, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak mencantumkan hukuman mati secara eksplisit untuk para koruptor, kecuali dalam situasi luar biasa, seperti korupsi yang dilakukan saat negara dalam keadaan krisis.
Perbedaan Interpretasi dalam Hukum
Di Indonesia, penerapan hukuman mati juga menghadapi tantangan dalam bentuk interpretasi undang-undang dan konstitusi. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia yang diakui dalam konstitusi Indonesia, yaitu hak hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Meskipun hukuman mati masih diakui dalam KUHP, penerapannya di Indonesia semakin dibatasi oleh prinsip-prinsip HAM internasional.
Politik dan Dinamika Sosial
Hukuman mati terhadap koruptor bisa menjadi isu yang sangat politis di Indonesia. Korupsi sering melibatkan pejabat tinggi atau tokoh berpengaruh yang memiliki jaringan kuat dalam sistem politik. Menerapkan hukuman mati kepada koruptor mungkin tidak didukung oleh kekuatan politik yang ada, terutama jika para pelaku korupsi tersebut memiliki hubungan dekat dengan elite pemerintahan.
Kultur dan Persepsi Masyarakat
Masyarakat Indonesia, meskipun geram terhadap para koruptor, masih memiliki perdebatan internal tentang efektivitas hukuman mati. Beberapa kalangan menilai bahwa hukuman mati bukan solusi yang tepat karena tidak memberikan efek jera yang signifikan. Sebagian lagi berpendapat bahwa reformasi sistem peradilan, penegakan hukum yang lebih transparan, dan pendidikan antikorupsi sejak dini lebih efektif dalam mengatasi korupsi jangka panjang dibandingkan dengan hukuman mati.
Tekanan dari Komunitas Internasional
Indonesia juga berada di bawah pengaruh berbagai organisasi internasional yang menolak hukuman mati, termasuk dalam konteks korupsi. Amnesty International, misalnya, telah berulang kali mendesak negara-negara, termasuk Indonesia, untuk menghapus hukuman mati dengan alasan bahwa hukuman ini melanggar hak hidup dan tidak efektif dalam mencegah kejahatan. Di beberapa kasus, Indonesia mendapat tekanan untuk tidak memperberat hukuman mati, termasuk bagi kejahatan narkoba, sehingga ini bisa berimbas pada kebijakan untuk korupsi.
Data Korupsi di Indonesia dan Efektivitas Penindakan
Korupsi di Indonesia telah menjadi isu yang terus menerus menghantui sejak zaman Orde Baru hingga kini. Transparency International mencatat bahwa Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index/CPI) Indonesia pada tahun 2022 berada pada skor 34/100, menunjukkan tingkat korupsi yang masih tinggi. Meski ada penindakan tegas melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), seperti penangkapan dan penuntutan sejumlah pejabat, jumlah kasus korupsi tetap saja signifikan.
Menurut data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2021, terdapat 1.282 kasus korupsi yang diproses hukum. Namun, hukuman bagi para koruptor dinilai masih terlalu ringan. Rata-rata hukuman bagi terpidana korupsi di Indonesia berkisar 2 hingga 4 tahun penjara, jauh dari hukuman maksimal yang seharusnya bisa dijatuhkan. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang menginginkan sanksi lebih berat.
Apa yang Bisa Dipelajari dari China?
Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari China dalam memerangi korupsi, meskipun hukuman mati mungkin bukan solusi yang ideal untuk Indonesia. Pertama, ketegasan dalam menegakkan hukum dan memberikan sanksi yang setimpal adalah hal penting. Kedua, membangun integritas dalam lembaga peradilan dan penegakan hukum bisa memperkuat sistem yang transparan dan adil.
Selain itu, memperbaiki sistem politik agar lebih bersih dari pengaruh koruptor juga krusial. China telah memfokuskan upaya anti-korupsinya tidak hanya pada pelaku individu, tetapi juga pada reformasi sistemik dalam birokrasi dan partai politik. Reformasi semacam ini bisa diadopsi Indonesia agar masalah korupsi bisa diatasi secara lebih komprehensif.
Kesimpulan
Perbedaan dalam penerapan hukuman mati untuk koruptor antara Indonesia dan China mencerminkan perbedaan besar dalam sistem hukum, budaya politik, dan konteks sosial. Meskipun hukuman mati tampak efektif di China dalam memerangi korupsi, pendekatan tersebut belum tentu cocok diterapkan di Indonesia yang memiliki tantangan tersendiri. Alih-alih berfokus pada hukuman mati, Indonesia perlu mengedepankan reformasi sistem hukum, pendidikan antikorupsi, dan penegakan hukum yang lebih konsisten untuk memberantas korupsi secara lebih efektif dan berkelanjutan.
#SalamLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H