- Perundungan: Lebih dari 2.000 kasus dilaporkan setiap tahun, dengan korban mayoritas adalah siswa di tingkat sekolah menengah pertama.
- Pelecehan Seksual: Ratusan kasus dilaporkan setiap tahun, dengan sebagian besar korban adalah siswa perempuan.
- Kekerasan Fisik oleh Guru: Beberapa ratus kasus kekerasan oleh guru terhadap siswa dilaporkan setiap tahunnya.
- Narkoba: Menurut BNN, ada peningkatan kasus penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar, terutama di wilayah perkotaan.
Ragam kasus di atas hanyalah sedikit dari beberapa praktik-praktik kejahatan yang terjadi di sekolah-sekolah perkotaan di Indonesia yang sampai saat ini bahkan belum ada kata selesai. Lantas, adakah praktik kotor lain yang kerap terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia hingga saat ini? Berikut sajiannya.
1. Komersialisasi: Pendidikan sebagai Komoditas
Di era modern ini, pendidikan sering kali dipandang sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Sekolah-sekolah swasta, dengan slogan-slogan menariknya, menarik minat orang tua untuk membayar biaya pendidikan yang selangit demi jaminan masa depan anak-anak mereka. Namun, di balik angka-angka tersebut, tersembunyi ketidakadilan yang mencolok. Banyak sekolah negeri pun tidak luput dari praktik ini; mereka memungut berbagai biaya tambahan yang tidak transparan.
Komersialisasi pendidikan menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara siswa dari latar belakang kaya dan miskin. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak setiap anak justru menjadi barang mahal yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Bagaimana kita bisa mengharapkan kemajuan jika akses pendidikan berkualitas hanya untuk yang mampu?
2. Nepotisme dan Korupsi: Jaring yang Memerangkap Harapan
Nepotisme, satu kata yang menyakitkan bagi mereka yang berjuang keras untuk mencapai cita-cita. Di banyak sekolah, penerimaan siswa sering kali ditentukan oleh hubungan personal, bukan oleh prestasi akademis. Hal ini tidak hanya menurunkan moral siswa, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan.
Korupsi juga merajalela, di mana dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan fasilitas dan kualitas pengajaran sering kali disalahgunakan. Dalam banyak kasus, anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan justru "hilang" entah ke mana. Dampaknya, fasilitas yang seharusnya mendukung pembelajaran menjadi tidak memadai, dan kualitas pengajaran pun terpaksa dikorbankan.