Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Benarkah Mempelajari Filsafat dapat Menyesatkan?

26 Agustus 2024   09:42 Diperbarui: 26 Agustus 2024   09:43 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat adalah ilmu menyesatkan atau belajar filsafat dapat membuat seseorang gila- lika-liku perkembangan ilmu pengetahuan memang tak dapat dipungkiri akan selalu terjadi. Di banyak bidang, mulai dari kesehatan, pendidikan, Sains, teknologi, bahasa, hingga filosofi semua tak akan luput dari yang namanya perkembangan dan lintas zaman. 

Dari sisi filsafat kita ambil contoh, secara garis besar filsafat sendiri kerap disebut sebagai induknya ilmu pengetahuan. Bahkan sejak zaman Thales, Aristoteles, Socrates, hingga eranya nama-nama filsuf dunia terkenal macam Bertrand Russel, Rene Decartes, Imanuel Kant, dan lainnya muncul ilmu filsafat selalu menjadi dasar pijakan banyak orang dalam mengarungi beratnya belajar sebuah ilmu pengetahuan.

Secara ringkas, berikut akan ditampilkan ringkasan sejarah tentang perkembangan ilmu filsafat dari masa ke masa. Yakni sebagai berikut:

Sejarah filsafat mencakup perkembangan pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, etika, dan berbagai konsep lainnya sepanjang waktu. Berikut adalah garis besar sejarah filsafat dan perkembangannya dari masa ke masa:

 1. Filsafat Kuno

   - Filsafat Yunani Kuno (abad ke-6 SM - abad ke-4 M)

     - Pra-Sokrates: Filsafat Yunani dimulai dengan para filsuf pra-Sokrates seperti Thales, Anaximander, dan Heraklitus yang mencoba menjelaskan asal-usul alam semesta dan fenomena alam tanpa merujuk pada mitologi. Mereka memperkenalkan konsep-konsep dasar seperti arkhe (unsur dasar dari segala sesuatu) dan logos (rasio atau hukum yang mengatur alam semesta).

     - Sokrates, Plato, dan Aristoteles: Sokrates mengembangkan metode dialektika, yang bertujuan untuk menggali kebenaran melalui tanya jawab kritis. Muridnya, Plato, mendirikan Akademi dan mengajarkan tentang dunia ide, konsep-konsep abadi yang berada di balik realitas fisik. Aristoteles, murid Plato, mengembangkan logika formal dan pendekatan empiris terhadap ilmu pengetahuan, serta mengajarkan tentang etika, politik, dan metafisika.

   - Filsafat Helenistik dan Romawi (abad ke-4 SM - abad ke-6 M)

     - Stoisisme: Didirikan oleh Zeno dari Citium, Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan diperoleh melalui hidup selaras dengan alam dan menerima takdir dengan rasionalitas. Para Stoik menekankan kebajikan sebagai satu-satunya hal yang baik.

     - Epikureanisme: Didirikan oleh Epikuros, ajaran ini menekankan kebahagiaan sebagai tujuan utama, yang dicapai melalui kenikmatan sederhana dan penghindaran rasa sakit.

     - Skeptisisme: Didirikan oleh Pyrrho, skeptisisme menekankan keraguan terhadap pengetahuan yang pasti dan menganjurkan suspensi penilaian sebagai jalan menuju kedamaian pikiran.

 2. Filsafat Abad Pertengahan (abad ke-5 - abad ke-15)

   - Filsafat Kristen Awal dan Skolastik:

     - Filsafat abad pertengahan didominasi oleh upaya untuk menyelaraskan ajaran-ajaran Kristen dengan filsafat Yunani, terutama Plato dan Aristoteles. Agustinus dari Hippo menekankan peran iman dan rahmat ilahi dalam memahami kebenaran.

     - Thomas Aquinas, seorang filsuf skolastik, mengembangkan Thomisme, yang mengintegrasikan filsafat Aristotelian dengan teologi Kristen, terutama dalam karyanya *Summa Theologica*. Filsafat skolastik berfokus pada masalah-masalah seperti eksistensi Tuhan, hubungan antara iman dan rasio, serta sifat alam semesta.

   - Filsafat Islam: Filsafat Islam berkembang pesat selama abad pertengahan, dengan tokoh-tokoh seperti Al-Farabi, Avicenna (Ibnu Sina), dan Averroes (Ibnu Rusyd) yang berusaha menyelaraskan filsafat Yunani, khususnya Aristoteles, dengan ajaran-ajaran Islam. Mereka berkontribusi besar dalam bidang metafisika, etika, dan logika.

 3. Filsafat Renaisans (abad ke-14 - abad ke-17)

   - Humanisme: Pada periode ini, ada kebangkitan minat pada karya-karya klasik Yunani dan Romawi. Humanisme menekankan potensi dan nilai manusia, serta pentingnya pendidikan klasik untuk pengembangan individu. Tokoh-tokoh seperti Erasmus dan Pico della Mirandola menekankan kemampuan manusia untuk membentuk nasib mereka sendiri.

   - Reformasi: Pemikiran filsafat juga dipengaruhi oleh Reformasi Protestan, yang menantang otoritas Gereja Katolik dan menekankan individualisme serta hubungan pribadi dengan Tuhan.

 4. Filsafat Modern (abad ke-17 - abad ke-19)

   - Rasionalisme: Tokoh-tokoh seperti René Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz menekankan penggunaan rasio dan logika sebagai sumber utama pengetahuan. Descartes terkenal dengan ungkapan "Cogito, ergo sum" (Saya berpikir, maka saya ada) yang menjadi dasar bagi filsafat modern.

   - Empirisme: John Locke, George Berkeley, dan David Hume menekankan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi. Locke mengembangkan teori tabula rasa, yang menyatakan bahwa pikiran manusia pada awalnya kosong dan kemudian diisi oleh pengalaman.

   - Pencerahan: Periode ini ditandai oleh kepercayaan pada kekuatan rasio dan sains untuk memajukan kemanusiaan. Filsuf seperti Immanuel Kant mengembangkan teori kritis yang menggabungkan rasionalisme dan empirisme, sementara Voltaire dan Rousseau menekankan pentingnya kebebasan individu dan kemajuan sosial.

   - Idealime Jerman: G.W.F. Hegel memperkenalkan dialektika, suatu proses perkembangan sejarah dan ide melalui kontradiksi dan sintesis. Arthur Schopenhauer dan Friedrich Nietzsche kemudian menolak idealisme Hegel dan menekankan aspek-aspek pesimisme dan kekuasaan dalam filsafat.

 5. Filsafat Kontemporer (abad ke-19 - sekarang)

   - Eksistensialisme: Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche menekankan individualitas, kebebasan, dan makna hidup dalam menghadapi absurditas eksistensi. Jean-Paul Sartre dan Albert Camus kemudian mengembangkan eksistensialisme sebagai filsafat yang menekankan tanggung jawab individu dalam menciptakan makna hidup.

   - Pragmatisme: Filsafat ini berkembang di Amerika Serikat dengan tokoh-tokoh seperti Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey. Pragmatisme menekankan bahwa kebenaran ditentukan oleh manfaat praktisnya dan bahwa ide-ide harus diuji melalui pengalaman dan eksperimen.

   - Fenomenologi: Diperkenalkan oleh Edmund Husserl, fenomenologi berfokus pada studi pengalaman langsung dan kesadaran. Martin Heidegger dan Maurice Merleau-Ponty kemudian mengembangkan fenomenologi untuk menjelajahi eksistensi manusia dan hubungan dengan dunia.

   - Analitik vs. Kontinental: Filsafat abad ke-20 melihat perkembangan dua tradisi utama: filsafat analitik yang berfokus pada logika, bahasa, dan analisis konseptual (dengan tokoh seperti Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein), serta filsafat kontinental yang mencakup eksistensialisme, fenomenologi, strukturalisme, dan post-strukturalisme (dengan tokoh seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida).

 6. Filsafat Postmodern dan Kontemporer

   - Postmodernisme: Filsuf postmodern seperti Jean-François Lyotard, Jacques Derrida, dan Michel Foucault menantang konsep-konsep besar seperti objektivitas, narasi besar, dan stabilitas makna. Mereka menekankan pluralitas, dekonstruksi, dan relativisme dalam memahami pengetahuan dan budaya.

   - Filsafat Analitik Kontemporer: Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, filsafat analitik terus berkembang dengan fokus pada isu-isu seperti bahasa, pikiran, etika, dan ilmu pengetahuan. Tokoh seperti Saul Kripke dan Hilary Putnam telah memberikan kontribusi besar dalam filsafat bahasa dan filsafat pikiran.

   - Filsafat Etika dan Politik: Isu-isu etika, keadilan, dan politik menjadi semakin penting dalam filsafat kontemporer. John Rawls dengan teori keadilannya dan Jürgen Habermas dengan teori tindakan komunikatifnya adalah dua tokoh yang berpengaruh dalam diskusi-diskusi ini.

Sejarah filsafat menunjukkan bagaimana pemikiran manusia telah berkembang dari waktu ke waktu, dengan setiap era menghadirkan tantangan dan solusi yang unik terhadap pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi, pengetahuan, dan nilai-nilai hidup.

Benarkah Jika Mempelajari Filsafat terlalu Jauh Seseorag dapat Dikatakan Gila?

Pandangan bahwa seseorang bisa menjadi "gila" jika mempelajari filsafat terlalu jauh adalah stereotip yang sering muncul dalam budaya populer, tetapi tidak akurat dan menyesatkan. Meskipun filsafat memang mengajak seseorang untuk berpikir secara mendalam dan kritis tentang pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dan kompleks, ini tidak berarti bahwa mempelajarinya dapat menyebabkan gangguan mental.

Berikut beberapa alasan mengapa pandangan ini tidak benar:

1. Filsafat Mengembangkan Pemikiran Kritis

  • Filsafat mengajarkan cara berpikir kritis dan logis. Ini termasuk kemampuan untuk menganalisis argumen, mempertanyakan asumsi, dan mengembangkan pandangan yang terinformasi dan koheren. Kemampuan-kemampuan ini justru penting untuk menjaga kesehatan mental, karena membantu seseorang memahami dan mengelola ide-ide yang kompleks.

2. Filsafat Membantu Menghadapi Pertanyaan Hidup

  • Pertanyaan-pertanyaan tentang makna hidup, moralitas, kebahagiaan, dan eksistensi adalah hal-hal yang mungkin membingungkan, tetapi filsafat menawarkan kerangka berpikir untuk mendekati dan memahami pertanyaan-pertanyaan ini. Dengan demikian, filsafat dapat membantu orang menemukan makna dan tujuan, bukan membuat mereka bingung atau "gila."

3. Konflik Pemikiran dan Tantangan Psikologis

  • Mempelajari filsafat memang bisa menantang dan membuat seseorang merasa tidak nyaman, terutama ketika berhadapan dengan ide-ide yang bertentangan atau konsep yang sulit dipahami. Namun, ini adalah bagian dari proses pembelajaran yang normal. Jika seseorang merasa tertekan atau cemas akibat studi filsafat, ini biasanya terkait dengan cara individu tersebut merespons tantangan intelektual, bukan akibat dari filsafat itu sendiri.

4. Stereotip tentang Filsuf

  • Tokoh-tokoh filsafat seperti Friedrich Nietzsche atau Søren Kierkegaard sering dikaitkan dengan gangguan mental dalam budaya populer. Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua filsuf mengalami masalah mental, dan mereka yang mengalaminya tidak menjadi "gila" karena filsafat itu sendiri. Sebaliknya, mereka mungkin menggunakan filsafat sebagai cara untuk memahami dan mengatasi tantangan pribadi mereka.

5. Filsafat sebagai Terapi

  • Dalam beberapa tradisi, seperti Stoisisme, filsafat bahkan dianggap sebagai cara untuk mencapai kesehatan mental yang baik. Stoisisme, misalnya, menawarkan prinsip-prinsip untuk mengelola emosi dan menghadapi kesulitan hidup dengan tenang.

6. Pendidikan dan Kesehatan Mental

  • Studi menunjukkan bahwa pendidikan, termasuk studi filsafat, cenderung berkorelasi dengan kesehatan mental yang lebih baik, karena memberikan alat untuk berpikir secara kritis, mengelola stres, dan memecahkan masalah dengan cara yang konstruktif.

Secara keseluruhan, filsafat adalah disiplin yang menantang pikiran, tetapi justru itu adalah salah satu nilai utamanya. Seperti halnya dengan semua bentuk pembelajaran mendalam, penting untuk mendekati filsafat dengan pikiran yang terbuka dan keseimbangan, tetapi gagasan bahwa mempelajari filsafat bisa membuat seseorang "gila" adalah mitos yang tidak berdasar.

#SalamLiterasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun