Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Seorang Pengajar dan Penulis lepas yang lulus dari kampung Long Iram Kabupaten Kutai Barat. Gamers, Pendidikan, Sepakbola, Sastra, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Babak Baru Konflik Agraria di Indonesia, Pantaskah Tanah Adat Kerap Disebut "Tanah Bermasalah"?

20 Januari 2024   20:00 Diperbarui: 20 Januari 2024   20:01 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Samarinda, 20 Januari 2024.- Sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia menuju negara yang mapan dan sejahtera telah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. 

Dimulai dari masa kolonialisme hingga kini di era yang serba modern dan jauh berkembang, arti kata sejahtera dan mapan yang dimaksud rasanya sangat sulit terwujud. Jika kita mengkaji banyak hal tentang aspek kesejahteraan tentu hal tersebut tak akan bisa lepas dari problematika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Dimulai dari aspek pemerataan ekonomi yang kian hari kian jauh dari kata selesai, permasalahan dalam bidang kesehatan, akses pendidikan yang belum merata, konflik sosial, permasalahan kemiskinan, kriminalitas, permasalahan dalam bidang hukum, hingga ragam konflik yang terjadi dalam ranah agraria seakan menjadi momok besar yang selalu membersamai perjalanan bangsa Indonesia berpuluh-puluh tahun lamanya. 

Mengutip dari data yang dihimpun oleh KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) pada 9 Januari 2023 lalu, mereka mencatat setidaknya dalam kurun waktu 2022, kasus konflik agraria atau sengketa lahan meningkat jauh dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Meningkatnya kasus tersebut bukan semata-mata terjadi tanpa sebab. Ada banyak sebab yang melatarbelakanginya. Dimulai dari persoalan kebijakan, konflik kepentingan, maupun permasalahan administrasi yang tak kunjung usai telah menjadi 3 sebab dari banyaknya sebab lain yang menyebabkan terjadi konflik agraria di masyarakat. Sudah seharusnya,  seluruh pihak dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab penuh dalam menunjukkan sikap untuk siap menyelersaikan  konflik agraria yang telah mengakar sejak puluhan tahun ini.

Tak cukup sampai disitu, KPA juga mencatat selama tahun 2022 telah terjadi konflik agraria sebanyak 207 kasus. Dengan rincian tertinggi berada pada sektor perkebunan sebanyak 99 kasus, infrastruktur 32 kasus, properti 26 kasus, pertambangan 21 kasus, kehutanan 20 kasus, fasilitas militer 6 kasus, pertanian 4 kasus, dan pulau-pulay kecil daerah pesisir mencapai 4 kasus. 

Sementara itu, jika dilihat lebih lanjut dari cakupan wilayahnya, persebaran kasus tertinggi berada di lima provinsi yakni Jawa Barat dengan 25 kasus, Sumatera Utara 22 kasus, Jawa Timur 13 Kasus, Kalimantan Barat 13 Kasus, dan Sulawesi Selatan tercatat memiliki angka 12 kasus konflik agraria. Lebih mengkhawatirkannya lagi, dari data KPA tersebut tercatat ada sekitar 497 kasus kriminalisasi yang terjadi dan dialami oleh para pejuang hak atas tanah di berbagai penjuru Indonesia. Angka tersebut, bahkan tercatat mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun 2021 yang angkanya hanya di kisaran 15o kasus dan 120 kasus pada setahun sebelumnya.

Terjadinya peningkatan kasus konflik agraria di Indonesia tentu bukan hanya sebatas konflik kepentingan semata. Ada banyak hal yang justru perlu mendapat perhatian agar akar permasalahan dapat terselesaikan secara tuntas dan keadilan dapat terwujud. Permalasahan awal yang kerap muncul yakni terkait dengan permasalahan kepemilikin hak atas tanah adat. Tentu tanah adat yang dimaksud adalah wilayah tanah di suatu daerah yang telah dimiliki oleh masyarakat selama puluhan tahun. Tanah adat tersebut merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang mereka yang telah lama menggantungkan hidup serta bermuki di tanah tersebut sehingga layak bagi mereka untuk kembali mewariskan tanah tersebut kepada keturunannya.

Akan tetapi, kepemilikan yang hanya sebatas pengakuan bahwa seseorang telah bertempat tinggal di atas tanah tersebut dengan ditandai adanya pasak, kayu hutan yang ditananam sejak puluhan tahun, hingga adanya bukti pemakaman nenek moyang yang menjadi tanda bahwa itu adalah tanah mereka kerap menjadi masalah di kemudian hari seiring dengan ragam kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. 

Selain itu, jika dikaji secara bersama konflik agraria yang kerap terjadi di banyak provinsi di Indonesia tentu terjadi akibat dari adanya ketimpangan terkait kepemilikan atas hak tanah. Dan yang lebih ironi, pemerintah yang seharusnya mampu menjembatani konflik yang terjadi antara pihak korporasi dengan masyarakat adat justru juga mengambil keuntungan terkait dengan kebijakan serta aturan yang telah dibuat.

Tak hanya itu, saya selaku penulis juga mencatat bahwasannya konflik agraria yang terjadi kerap terjadi secara sepihak tanpa adanya komunikasi dan dialog yang baik sehingga menciptakan solusi terbaik terkait agar permasalahan dapat terselesaikan. Tak hanya itu, konflik tersebut juga diperparah dengan tindak arogansi pihak korporasi yang menggunakan fasilitas keamanan negara termasuk pihak kepolisian untuk mencoba memberikan perlawanan terhadap tuntutan yang digaungkan masyarakat adat di lapangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun