Leicester City. Sebagian kita pecinta Liga Inggris tentu masih awam dengan klub tersebut sebelum 2016.Â
Siapa yang tak kenal dengan salah satu klub medioker yang satu ini? Ya, namanya yakniYa, Liga Inggris musim 2015/2016 adalah musim istimewa sekaligus menjadi titik balik Leicester City dalam misi menciptakan sejarah istimewa klub tersebut.Â
Tepat pada musim tersebut, klub yang diasuh oleh Claudio Ranieri berhasil menasbihkan diri menjadi juara Liga Inggris untuk pertama kalinya sepanjang sejarah klub berdiri.Â
Klub yang bermaterikan pemain bintang kala itu macam Jamie Vardy, Riyad Mahrez, Ngolo Kante, Wes Morgan, Robert Huth, hingga Sinji Okazaki tersebut mampu menciptakan dongeng aneh nan ajaib kala berhasil menghancurkan dominasi tim-tim raksasa Barclays Premier League macam Manchester City, Manchester United, Liverpool, Arsenal, Chelsea, dan Totenham Hotspur hingga mampu menjadi juara di akhir musim.
Selain menciptakan sejarah, berkat hasil tersebut, Leicester berhasil mengorbitkan banyak pemain bintang nan berkelas untuk kemudian menjadi pemain bintang yang sekarang banyak tersebar di banyak klub raksasa Liga Inggris.Â
Nama-nama yang dimaksud macam Ngolo Kante yang kini bemain untuk Chelsea, Riyad Mahrez yang kini bermain untuk City, hingga Casper Smichel yang kini masih tampil konsisten di Liga Perancis.Â
Akan tetapi, "naas tak dapat ditolak". Tahun demi tahun terhitung sejak tahun 2017. Leicester mulai menemui jalan terjal kala harus berjuang mengarungi musim demi musim Liga Inggris. Sempat bertengger di zona kompetisi Eropa pada 2017.Â
Leicester pada musim ini harus puas menerima kenyataan pahit kala tim yang saat ini dilatih oleh Dean Smith tersebut terjun bebas ke Divisi Championship musim depan.Â
Kepastian itu didapat kala tim Youri Tielemans dkk tersebut finish di peringkat 19 atau peringkat 2 dari bawah zona degradasi pada musim ini. Lalu, apa yang menyebabkan Leicester terdegradasi musim ini? Benarkah hanya faktor pelatih?
1. Kebijakan transfer dan Buruknya Manjamen Keuangan
Jika kita mencoba menganalisis sebab utama dari anjloknya performa Leicester musim ini. Tentu tak dapat kita lepaskan dari efek pandemi yang beberapa tahun terakhir membuat beberapa tim Liga Inggris mengalami masalah keuangan.Â
Tak terkecuali bagi the foxes. Tim yang pernah menembus perempat final Liga Champions musim 2017 itu harus mengalami masalah ketidakstabilan keuangan klub dalam kurun waktu sejak 2021 lalu.Â
Sponsorship klub yakni King Power yang memiliki basis bisnis di bidang pariwisata harus mengalami kerugian yang cukup besar selama masa pandemi.Â
Alhasil, pemasukkan klub kian menurun tiap musimnya. Tak hanya itu, buruknya manajemen keuangan dalam klub juga berdampak pada kerugian klub yang mencapai 120 juta poundsterling atau setara 2 trilliun rupiah selama pandemi.
Dengan keadaan tersebut, ternyata berimbas pada kemampuan transfer klub yang tak mampu merekrut pemain jempolan demi mampu mendongkrak performa tim.Â
Nama-nama macam Wilfred Ndidi, James Maddison, Nempalis Mendy, P. Daka, David Amartey, hingga Kielichi Iheanacho tak sanggup berbicara banyak di musim ini.Â
Lebih parahnya lagi, Leicester yang mendatangkan pemain dengan dana seadanya musim ini justru sembrono dalam mendatangkan pemain.Â
2. Faktor Usia dan Hilangnya Pemain kunci
Hilangnya para pemain kunci akibat kebijakan transfer ternyata berdampak panjang pada stabilitas dan kedalaman skuad dari Leicester. Belum lagi beberapa pemain inti alumni juara Liga Inggris 2016 sudah memasuki usia senja.Â
Nama-nama pemain seperti Riyad Mahrez harus dijual ke Manchester City, Danny Drinkwater dan Ben Chilwell yang ditebus Chelsea, Ngolo Kante yang menjadi pemain kunci Chelsea pasca kepindahannya pada 2017 silam, Sinji Okazaki yang hijrah ke Liga Spanyol, Harry Maguaire yang dibajak Manchester United, hingga Casper Schmeichel yang saat ini berkostum Nice.Â
Selain masalah kebijakan transfer, nama-nama macam Jamie Vardy, Albrighton, Wes Morgan, Robert Huth, dan Cristian Fuch yang usianya sudah tak lagi muda.Â
Jamie Vardy yang saat ini sudah berusia 36 tahun pun masih dipertahankan klub. Alhasil usia yang sudah menua membuat performanya tak lagi seproduktif pada 2016 lalu.
3. Formasi Klub yang tak Konsisten
Masalah lain yang muncul dari Klub ini yakni ketidakkonsistenan pelatih yakni Brendan Rogers dalam meramu formasi yang cocok untuk Leicester musim ini. Setidaknya Leicester musim ini telah berganti formasi sebanyak 5 kali yakni dari 4-3-3, 4-2-3-1, 4-1-4-1, 3-5-2, dan terakhir 3-4-3.Â
Hal itu tentu menjadi masalah kala harus melawan tim dengan variasi formasi yang konsisten dan ditunjang pemain yang mumpuni. Dampak paling nyata terjadi saat beberapa pemain Leicester tak mampu mengoptimalkan kualitasnya di atas lapangan akibat dari rotasi yang dilakukan pelatih saat bertanding.Â
4. Menurunnya Mentalitas Bertanding Tim
Kita tentu tak mendapatkan kualitas permainan Leicester seperti 2016 lalu kala itu permainan Leicester di bawah asuhan Claudio Ranieri dianggap sangat luar biasa.Â
Para pemain seakan tak kenal lelah untuk berlari dan segera mungkin mengalirkan umpan satu dua sentuhan guna menghasilkan serangan berbahaya yang berakhir pada gol-gol krusial dari Jamier Vardy maupun Riyad Mahrez.
Belum lagi, Leicester musim itu juga memiliki daya juang yang luar biasa saat berhadapan dengan tim-tim papan atas Premier League seperti Chelsea, MU, City, Liverpool, maupun Arsenal.Â
Tetapi, jika dibandingkan sekarang. Kondisinya seakan terbalik 180 derajat. Para pemain yang ada seakan tak memiliki mentalitas bertanding. Hal tersebut tampak nyata saat para pemain baru yang didatangkan musim ini belum bisa menunjukkan performa terbaik musim ini di Liga Inggris. #
Itulah beberapa penyebab mengapa Leicester layak terdegradasi musim ini. Semoga Leicester dapat menujukkan performa terbaiknya musim depan di Championship dan kembali ke Liga Inggris musim selanjutnya.Â
#SalamLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H