Ayah yang sangat menyayangi anaknya harus merelakannya untuk sebuah kepatuhan kepada Allah SWT. Meskipun pada akhirnya Allah SWT menunjukan kuasanya dengan mengganti Ismail dengan seekor kibas (domba). Artinya Nabi Ismail tetaplah hidup dan Ibrahim pun berhasil menunaikan perintah Allah SWT.Â
Terkadang dalam hidup kita sudah mengetahui janji-janji Allah dalam Al-Qur'an, hadits qudsi atau hadits nabawi, janji akan surga, pahala, dan ganjaran-ganjaran lainnya dari sebuah amal, tapi keyakinan kita saat menunaikan sebuah perintah-Nya jauh dari predikat sempurna. Sehingga keyakinan yang kita implementasikan hanya sebatas menggugurkan kewajiban atau karena keterpaksaan, bukan karena sebuah kepatuhan.
2. Â Menjadi Contoh Yang Relevan
Sampai di sini yang perlu kita pahami bahwa syariat kurban memiliki syarat makna dan faedah. Yaitu manusia tidak membeli hewan kurban, kemudian diserahkan kepada panitia kurban kemudian disembelih dan dibagikan kepada masyarakat luas.Â
Tidak sesempit itu. Tapi, bagaimana manusia itu bisa menata jiwanya, merawat keimananya, sehingga jika sudah baik jiwanya dengan keimanan yang mantap, maka terpola kepatuhan di dalam jiwa tersebut yang kemudian terwujud dalam perilakunya sehari-hari.Â
Jadi harta yang ia belanjakan untuk membeli hewan kurban diiringi dengan keikhlasan, daging kurban yang dibagikan kepada yang membutuhkan diberikan dengan keikhlasan dan hanya mengharap predikat takwa. Sehingga apa yang dikurbankan adalah sebuah bentuk kepatuhan pada Tuhan. Bukan atas dasar pujian manusia (riya' ), ingin diceritakan oleh orang banyak (sum'ah) dan merasa diri paling dermawan ('ujub). Dan kedua Nabi ini telah memberikan contoh yang amat relevan untuk kita tentang cara menjewantahkan makna sebuah keimanan dengan realisasi kepatuhan yang hakiki.
E. Psikis Habil  dan Kabil saat berkurban
Berbeda dengan Ibrahim dan Ismail yang bersinergi dalam kepatuhan. Kedua anak Adam Qabil dan Habil justru tidak sejalan dalam menunaikan perintah Allah SWT. Qabil yang memiliki ladang pertanian berkurban dengan kualitas sayurannya yang buruk-buruk dan Habil yang memilikiÂ
Peternakan, berkurban dengan hewan ternaknya yang bagus, sehat dan layak. Perasaan Qabil yang hasad (dengki) terhadap Habil membuat kurban yang Qabil persembahkan adalah barang dengan kualitas rendah. Adapun perasaan Habil yang tidak bercampur dengan iri dan dengki dengan rela mengorbankan yang terbaik dari apa yang ia miliki.
Penting kita pahami, bahwa dalam berkurban yang Allah SWT Â nilai pertama kali adalah niat. Apakah niat seseorang itu karena dunia atau karena Tuhannya. Psikis Qabil saat berkurban lebih kuat dimotivasi oleh dorongan duniawi. Yaitu keengganan menikah dengan Labuda dan lebih memilih Iqlima saudara sekandungnya.Â
Padahal Allah SWT memerintahkan agar Adam menikahkan silang anaknya Qabil dengan Labuda dan Habil dengan Iqlima. Namun karena Qabil tidak mau patuh kepada perintah Allah SWT, maka Allah SWT memerintahkan agar keduanya Qabil dan Habil mempersembahkan  kurban terbaiknya kepada Allah SWT. Siapa yang kurbannya diterima oleh Allah SWT, maka ia berhak menikahi Iqlima, yang tentu secara paras jauh lebih cantik dari Labuda. Dan karena alasan Kurban yang dipersembahkan Habil jauh lebih baik dari kurban Qabil, maka Allah SWT memilih persembahan kurban Habil.