Mohon tunggu...
Ardian Saputra
Ardian Saputra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Anggota Dewan Salah Jalan, Indonesia Kehilangan Aset Negara

16 November 2018   08:49 Diperbarui: 16 November 2018   09:11 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemimpin itu diibaratkan sopir yang mana ditangan pemimpinlah negara ini akan mengarah ke mana, dari membawa kemajuan sampai mengalami kemunduran itu semua tergantung dari sosok pemimpin yang mengarahkan tujuannya.

Miris ketika melihat pemimpin yang menggunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingan pribadi apalagi hanya ingin memanfaatkan masa jabatanya untuk mengembangkan usaha-usahanya. Menjelang pemilihan umum tahun 2019 banyak sekali caleg dari DPRD, DPD hingga DPR gencar sekali melakukan kampanye namun semua itu sangat wajar.

Cerita pilu ini berasal dari provinsi di ujung pulau Sumatera, orang orang menjuluki provinsi itu adalah serambi Sumatera. Penasaran nama provinsinya? Provinsi yang terdiri dari 15 Kabupaten ini adalah Provinsi Lampung.

Selain Terkenal akan begal, Lampung juga sangat dikenal akan pesona alam dan hasil kebunya. Bahkan banyak sekali hasil perkebunan di Lampung yang dikirim ke Jakarta dan sekitarnya. Namun miris ketika Lampung sendiri memiliki anggota dewan yang gagal paham akan aturan hukum yang berlaku di Indonesia ini.

Anggota Dewan yang berinisial AS ini adalah anggota DPD dari Lampung yang mana dia juga pendiri kampus UMITRA. Banyak hal yang bisa dia lakukan untuk memperbaiki perekonomian masyarakat Lampung, namun apa daya jika seorang senator tersebut memanfaatkan aset negara untuk dimanfaatkan dalam pemilihan DPD RI 2019 kelak.

Selaku anggota Dewan yang masih aktif, tidak selayaknya menggunakan isu aset negara untuk dijual kepada masyarakat Lampung. Dengan dijanjikan bisa memiliki lahan tersebut tanpa perlu membelinya.

Senjata yang selalu digunakan oleh senator asal Lampung ini adalah memelesetkan aturan yang ada. Salah satunya adalah dengan modal UUPA No 5 Tahun 1960, UU Perkeretaapian No 23 Tahun 2007, serta PP  No. 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian. Padahal jika kita mengkaji lebih jauh semua aturan tersebut tidak ada hubungannya dengan aset-aset negara yang ada diseluruh Indonesia.

Seperti halnya UU Perkeretaapian No 23 Tahun 2007 dan PP  No. 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian ini tidak ada hubunganya dengan hak pengelolaan yang dimiiliki oleh PT. Kereta Api Indonesia (KAI), karena pada Undang-undang dan Peraturan Presiden yang selalu dibanga-bangakan oleh AS ini adalah aturan yang mengatur tentang sarana dan prasarana perkeretaapian yang mana semua peraturan tersebut digunakan untuk keselamatan perjalanan kereta api.

PP No. 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian
PP No. 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian
Dalam Profil pribadinya, AS mengupload sebuah foto tentang PP  No. 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian, padalam penafsirannya dalam pasal 58 menunjukan tanah kereta api hanya 6 meter kiri dan kanan rel.  Tanpa mengkaji lebih dalam aturan tersebut langsung digunakan untuk mengumpulkan masa dengan melakukan provokasi bahwa tanah PT. KAI selaku perusahaan BUMN itu hanya 6 meter saja.

Padahal aturan yang disampaikan oleh AS tersebut adalah tentang sarana dan prasarana perkeretaapian, yang mana dalam menjaga keselamatan perkeretaapian. 6 meter kiri dan kanan rel tersebut digunakan untuk Rumaja (Ruang Manfaat Jalan) dan juga Rumija (Ruang Milik Jalan) sehingga tidak boleh ada banggunan di dalamnya. Dalam PP tersebut Rumija dan Rumaja tersebut memiliki lebar paling sedikit 6 meter tentunya bisa lebih dong.

Jika berbicara tentang hak kepemilikan kai tentunya tidak bisa menggunakan UU Perkeretaapian dan PP  No. 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian, karena dalam peraturan tersebut tidak ada sama sekali kata yang menyebutkan Hak Pengelolaan melainkan semua itu adalah untuk operasional kereta api yang sama semua itu untuk keselamatan kereta api.

Seperti halnya yang disampaikan AS di media Lampung, bahwa bantaran kereta api merupakan lahan negara dan bebas yang bisa dimiliki siapa saja sesuai Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. Padahal jika kita mengkaji UUPA No. 5 Tahun 1960 tersebut tidak ada peraturan yang menyebutkan bahwa bantaran rel bebas dimiliki siapa saja.

Berbicara tentang PT. KAI tentunya kita harus kembali berfikir ke masa lalu karena adanya kereta api di negara ini jauh sebelum indonesia merdeka. 

Kebanyakan aset-aset milik kereta api sekarang adalah milik Pemerintah Belanda, namun setelah Indonesia merdeka dari Jepang semua aset-aset milik pemerintahan Belanda dilakukan pembayaran ganti rugi (nasionalisasi) yang mana semua aset-aset milik pemerintahan Belanda beralih menjadi milik negara Indonesia salah satunya dalah PT. KAI. 

Untuk membedakan aset milik negara yang telah di nasionalisasi dengan milik masyarakat tentunya dapat dibedakan dari alat buktinya yakni Grondkaart. Karena batas-batas tanah, hingga pembebasan lahan tersebut  tercantum di dalam Grondkaart.

Dalam FGD yang diselenggarakan di Grand Elty Krakatoa, Lampung Selatan, M. Noor Marzuki selaku eks Sekjen BPN menyampaikan dengan tegas bahwa Grondkaart sudah final dan menjadi salah satu bukti kepemilikan aset negara. Yang mana pengelolaannya sudah diserahkan kepada masing-masing perusahaan BUMN Seperti PT. KAI.

Menanggapi berita yang beredar di masyarakat mengenai masyarakat yang menempati lahan selama kurun waktu tertentu dapat mengajukan permohonan penerbitan sertipikat, eks Sekjen BPN tersebut menyatakan bahwa permohonan pengajuan sertifikat harus memenuhi dua aspek yakni fisik dan aspek yurudis. Pengajuan sertifikat tidak boleh dilakukan terhadap lahan yang sudah ada pemiliknya atau lahan tersebut milik negara.

Dalam Kampanye untuk pencalonan dirinya menjadi anggota DPD RI, AS menemui warga yang menepati lahan milik PT. KAI di sekitaran rel kereta api Desa Haduyang, Kecamatan Natar, Lampung Selatan. 

Perbuatan tidak pantas dilakukan oleh senator yang masih aktif ini adalah melakukan provokasi terhadap masyarakat agar mengusir dan menolak pendataan yang dilakukan oleh PT. KAI. Padahal bedasarkan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-13/MBU/09/2014 Tahun 2014 tentang Pedoman Pendayagunaan Aset Tetap Badan Usaha Milik Negara PT. KAI berhak memanfaatkan aset-aset miliknya untuk komersial.

Dengan perbuatan provokasinya tersebut tentunya akan membawa kerugian bagi perusahaan BUMN tersebut yang mana akan berdampak pada pendapatan negara. Sehingga Indonesia butuh pemimpin yang mampu membawa perekonomian Indonesia lebih maju dari pada hanya menjual isu aset negara untuk kepentingan politiknya.

Hingga dalam sidang Paripurna DPD RI ke-6, AS mencoba mempengaruhi semua anggota DPD RI dengan peraturan-peraturan yang tidak mendasar tersebut. Semoga semua anggota DPD RI tidak mudah terprovokasi oleh akal bulusnya, padahal selain yang disebutkan oleh AS banyak sekali aturan lain yang mendasar tentang aset perusahaan BUMN. 

Salah satunya adalah putusan Rakernas BPN tahun 1991 di Bandung sehingga dapat dijadikan sebagai yurisprudensi untuk melengkapi aspek yuridis kekuatan hukum Grondkaart bahwa tanah-tanah yang terurai dalam Grondkaart merupakan aktiva tetap Perumka (PT. KAI). 

Diperkuat lagi dengan adanya surat Menteri Keuangan Kepada Kepala BPN No. S-11/MK.16/1994 tanggal 24 Januari 1995 yang menyebutkan bahwa Grondkaart merupakan alas bukti kepemilikan aset oleh Perumka yang mana saat ini telah berubah namanya menjadi PT. KAI (Persero).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun