Mohon tunggu...
Ardian Nugroho
Ardian Nugroho Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis dan memotret menjadi cara saya untuk berbagi kesenangan dan keindahan alam dan budaya negeri.

Blog: www.ardiannugroho.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mengunjungi Museum Ullen Sentalu yang Penuh Misteri

31 Januari 2021   09:46 Diperbarui: 2 Februari 2021   11:45 3149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolam air yang dipenuhi dengan tanaman teratai putih yang sedang mekar. Dua patung wanita membawa sesaji menjadi gerbangnya. (Foto: dok.pri.)

"Ullen Sentalu adalah kependekan dari Ulating Blencong Sajatine Tataraning Lumaku (geliat cahaya yang menyinari setiap langkah kehidupan)," ujar Mbak Juni setelah memberikan penjelasan tentang Pelataran Tawang Turgo. "Diharapkan setiap pengunjung bisa mendapatkan nilai positif dari museum ini," lanjutnya.

Esther Huis adalah tujuan pertama kami. Untuk ke sana, kami melewati sebuah gerbang dengan pagar besi bercat hitam. Di dalamnya terdapat sebuah kolam persegi panjang dengan patung wanita dan anak-anak di tengahnya. Tanaman lebat menjulur di atas kepala memayungi jalan kami. Kemudian kami mendaki tangga di mana kanan kiri ditumbuhi tanaman lebat.

Keadaan ini membuat saya merasa sedang berada di sebuah taman labirin. Sayangnya, kami tidak diperbolehkan untuk memotret area dalam Museum Ullen Sentalu sama sekali. Hal ini dilakukan untuk menjaga privasi karena sebagian besar merupakan koleksi pribadi.

Replika relief candi Borobudur yang ada pada satu sisi Pelataran Tawang Turgo. (Foto: dok.pri.)
Replika relief candi Borobudur yang ada pada satu sisi Pelataran Tawang Turgo. (Foto: dok.pri.)

Esther Huis

Di depan saya berdiri sebuah bangunan kecil bercat putih bersih. Gaya arsitektur Belanda sangat kental dalam setiap sudutnya. Dinding dan atap yang tinggi serta jendela kayu berlapis kaca. Di atasnya terdapat loteng. Mbak Juni menjelaskan jika dulu loteng digunakan sebagai tempat para pekerja menginap. Inilah Esther Huis, pemberhentian pertama kami.

Mbak Juni mengawal kami memasuki Esther Huis. Di dalam, kami disambut dengan dua kotak kaca yang berdiri disusul dua kotak kaca lain memanjang di kanan kiri pintu. Kotak-kotak kaca tersebut memajang koleksi kebaya dan kain batik yang sudah berasimilasi dengan budaya Tionghoa-Jawa-Eropa.

Di atasnya lukisan wanita remaja dan tua Eropa mengenakan kebaya dan batik. Sementara di ujung ruangan terdapat lemari jati dan piano klasik yang masih terlihat kokoh walaupun saya yakin sudah berusia puluhan tahun.

Mbak Juni mulai bercerita tentang makna pada setiap benda yang ada di dalam Esther Huis. Ia juga berkelakar jika wanita-wanita sejak dulu memang suka memberi kode. Kode-kode tersebut disematkan pada warna dan tata cara berpakaian. Warna cerah pada kain batik menunjukkan gadis tersebut masih lajang. Begitu juga jika mereka mengenakan kain tumpal yang motifnya berbentuk belah ketupat membujur di tengah depan.

Sebaliknya, kain batik berwarna gelap hanya dipakai oleh wanita yang sudah atau pernah menikah. Jika motif kain batik tumpal berada di belakang, maka wanita tersebut sudah menikah. Namun, jika motifnya berada di depan agak samping, itu artinya dia adalah seorang janda.

Aturan-aturan dalam berpakaian tersebut membuat kita bisa mengetahui status wanita tanpa harus bertanya. Mungkin hal yang sama perlu diadaptasi agar tidak lagi bertebaran pertanyaan "Kapan nikah?" dalam acara reuni atau kumpul keluarga. Sayangnya, Mbak Juni tidak menjelaskan "kode-kode" serupa pada pakaian laki-laki.

Bukan hanya orang Indonesia yang tertarik untuk berbusana kebarat-baratan. Orang Eropa pun juga tertarik untuk menggunakan busana Jawa. Dugaan saya ketertarikan mereka karena eksklusivitas kain batik, selain motifnya yang indah. Terlebih kain batik hanya boleh dikenakan oleh keluarga keraton saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun