“Heh! Jaga omonganmu ya. Dasar keluarga maling. Memang buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Bapaknya maling, anaknya juga ikutan jadi maling!”
“Hei, Kasno. Sampeyan jangan seenaknya saja ngomong ya. Saya memang maling, tapi jangan bawa-bawa anak-anak saya. Kubunuh sampean nanti!!” ancam Kardi.
“Berani Kau bunuh Aku? Silahkan. Sini kalau berani, sekalian kupatahkan tanganmu!!” tantang lek Kasno.
Adu mulut itu pun semakin memanas. Keributan itu memancing perhatian orang-orang yang lewat di depan rumah Kardi dan para tetangga dekat. Anak-anak Kardi menangis. Tidak mengerti dengan apa yang terjadi dengan orangtua mereka dan Lek Kasno. Kardi masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian dia keluar dengan sebilah parang di tangannya.
“Ayo, Lek. Nek sampean memang jago, patahkan tanganku. Sebelum kubunuh sampean!” teriak Kardi memulai pertempuran.
“Ayo, siapa takut!!” sambut lek Kasno.
Pertempuran pun dimulai. Kardi yang emosi karena kata-kata lek Kasno menjadi kalap. Ia menyerang lek Kasno terus menerus membabi buta. Kesadarannya telah hilang. Jiwanya telah kosong dari kebenaran. Lek Kasno yang terus-menerus mendapat serangan dari Kardi hanya bisa menangkis dengan parang yang telah diasahnya tadi pagi untuk memotong tangan orang yang maling rambutannya. Sesekali Lek Kasno menyerang dengan sisa-sisa kemampuannya dulu.
Orang-orang mulai berkerumun di rumah Kardi untuk menyaksikan kejadian itu. Tetapi, mereka hanya bisa menonton saja, tidak ada yang berani melerai karena keduanya saling menyerang membabi buta dengan menggunakan parang. Anak-anak Kardi masih terus menangis. Perasaaan bersalah itu kini bertambah menjadi perasaan khawatir jika terjadi sesuatu kepada bapaknya.
Pertempuran memanas. Kardi semakin kalap, begitu juga dengan lek Kasno. Keduanya tampak kelelahan, namun tidak ada satupun yang ingin menyerah dan kalah. Mereka berdua bertarung layaknya sebuah pertempuran antar kesatria. Orang-orang yang berkerumun hanya bisa berteriak meminta mereka mengakhiri perkelahian mereka. Lebih baik mereka tidak ikut campur perseteruan kedua orang tersebut daripada harus jadi korban.
Perang pun diakhiri dengan darah.
Saat Lek Kasno terlihat kelelahan, Kardi dengan cepat mengambil kesempatan tersebut untuk meraih kemenangannya. Dengan sigap, Kardi menusukkan parangnya ke perut Lek Kasno, menembus tepat di ulu hatinya. Sesaat setelah itu, dengan sisa-sia kekuatan yang ada, Lek Kasno mendorongkan parangnya ke perut Kardi. Darah memuncrat deras dari tubuh Lek Kasno dan Kardi. Keduanya roboh bersimbah darah.
Orang-orang yang melihat kejadian itu kaget bukan kepalang. Mereka tidak mengira akan seperti ini jadinya. Anak-anak Kardi berlari ingin menolong bapak mereka yang roboh berlumuran darah. Namun, usaha mereka ditahan oleh Misno. Keduanya menangis sejadi-jadinya. Perasaan bersalah itu menohok mereka. Ini semua gara-gara mereka. Gara-gara ulah mereka mencuri rambutan lek Kasno. Dan, pohon rambutan hanya berdiri diam dengan kawat duri melilit erat.