Sosok lentik dengan gaya yang gemulai, tidak bisa kulupakan. Ya, dia seorang waria. Entah bagaimana aku memandangnya. Harus kasihan atau jijik padanya. Tapi dia juga manusia. Dia makhluk ciptaan Tuhan sama seperti aku. Dia juga taat beribadah, sama seperti yang lainnya. Bahkan dia mendirikan sebuah pondok pesantren khusus waria. Bagaimana mungkin ini terjadi. Mencampurkan yang hak dengan yang batil.
Lebih terkesima lagi saat kulihat ia disalami oleh dua gadis cilik yang masih duduk di sekolah dasar. Dengan penuh rasa hormat, mereka menegurnya dengan panggilan "Bunda". Ia mengadopsinya lebih dari lima tahun. Saat ayah dan ibu mereka bercerai entah ke mana. Mereka mengais rejeki dengan mengamen di jalanan.Â
Terkadang dari hasil mengamen itu pun tidak mencukupi makan mereka sampai petang hari. Belum lagi mereka harus menyetor kepada kepala preman yang ada di lingkungan tempat mengamen. Sebab itulah Bunda Teresa, begitu sering dipanggil, mengangkat mereka menjadi anaknya.
Tak terbayangkan olehku jika itu terjadi pada adik-adikku tercinta.
"Ayah, Ibu, maafkan aku telah berpikir seperti itu. Amanah kalian tidak akan aku sia-siakan begitu saja," ucapku membatin, menjawab rasa iba dalam hati. Lamunanku buyar mendengar suara sms masuk.
'dhika, jgn lp bsk mengisi pengajian d ponpes mawar.' Dari Ustad Anshori
Aku harus mempersiapkan materi untuk besok. Kira-kira apa ya yang cocok? Aku teringat saat kemarin Ustad Anshori memperkenalkanku di hadapan para waria. Ada yang memakai jilbab, kerudung, songkok atau hanya dibalutkan saja dengan selendang. Namun ada juga yang memakai baju koko dan sarung. Rambutnya lurus terurai seperti baru disalon, pakai kopiah hitam atau lobe dengan aksesoris kemilau yang ditambahi.
"Dia adalah da'i yang dikirim dari Medan kesini untuk membagikan ilmunya yang bermanfaat bagi kita..."Â
Itulah penggalan kalimat yang diucapkan Ustad Anshori saat memperkenalkanku. Tatapan mata mereka aneh. Seperti merasa senang, namun bukan karena mendapat pengajar baru. Mereka memandangku agak lama. Entah mengapa. Tapi tidak semua. Ada sebagian santri juga yang cuek dan menyimak isi pengajian Ustad Anshori.
Runut dan tegas beliau memaparkan pengertian hak dan batil. Bahwasannya yang benar tetaplah benar dengan syarat sesuai dengan aturan-aturan Allah, dan yang salah juga demikian. Kedua poin itu tidak bisa dicampuradukkan.
Semua menyimak. Setelah pengajian, mereka shalat berjamaah lalu tadarusan. Yang sudah mengerti membaca Al-Quran mengajari yang belum bisa. Begitulah rutinitas mereka seterusnya.Â