Ini kisah Masako Owada, Permaisuri Jepang.
Kehidupan istana selalu menarik perhatian masyarakat, tetapi tak ada kisah yang lebih memikat daripada Permaisuri Jepang Masako dan 21 tahun tanpa senyuman.Â
Dilahirkan dalam keluarga diplomat, Masako Owada tumbuh dengan pendidikan terbaik dan berkesempatan menjelajahi dunia.Â
Namun, saat ia memutuskan untuk menikahi Pangeran Naruhito, masa depannya sebagai calon permaisuri memaksanya untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai diplomat dan masuk ke dalam kehidupan istana yang kaku dan tradisional.Â
Beban sebagai calon permaisuri Jepang bukanlah hal yang mudah. Dari tuntutan untuk melahirkan pewaris laki-laki hingga kritik media dan masyarakat, Masako mendapati dirinya terperangkap dalam tekanan yang luar biasa.
Bagi kebanyakan orang, tertawa adalah respon alami terhadap kebahagiaan, kenyamanan, atau sekadar hiburan.Â
Namun, untuk Permaisuri Masako, tertawa menjadi sesuatu yang asing. Meski tak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa Masako benar-benar tidak pernah tertawa selama 21 tahun, banyak laporan yang menggambarkan ia tampak murung dan tertekan di kebanyakan acara publik.Â
Tertawa Lepas Setelah 21 Tahun
Di tengah kabar yang menggambarkan Permaisuri Jepang Masako sebagai sosok yang jarang menunjukkan ekspresi kebahagiaan, Juni 2023 memberikan momen mengejutkan dan hangat bagi banyak orang.Â
Saat berkunjung ke Indonesia, sebuah negara yang dikenal dengan keramahan dan kehangatannya, Permaisuri Masako tampak berbeda.
Dalam acara kenegaraan, ia tertangkap kamera tertawa lepas, sebuah pemandangan langka yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Bahkan, Badan Rumah Tangga Kekaisaran Jepang kaget dengan hal ini. Â "Kami kaget sekali melihat dia tertawa lepas setelah 21 tahun dalam keprihatinan kami," sebagaimana dilansir dari Tribunnews.com.
Momen ini tidak hanya menjadi bukti bahwa di balik setiap beban dan tanggung jawab yang dikenakan oleh kedudukannya, Masako tetaplah manusia biasa dengan rasa dan emosi.
Mengapa Orang Bisa Tidak Tertawa?
Tertawa adalah respons alami yang menunjukkan kebahagiaan, kesenangan, atau reaksi terhadap humor. Namun, ada berbagai alasan yang mungkin membuat seseorang menahan diri dari ekspresi ini.Â
Kondisi kesehatan tertentu, seperti depresi atau efek samping dari beberapa obat, dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosi, termasuk tertawa.Â
Selain itu, tekanan sosial dan budaya mungkin mempengaruhi bagaimana seseorang mengekspresikan diri di depan umum.Â
Dalam beberapa budaya, misalnya, tertawa di hadapan orang lain mungkin dianggap tidak sopan atau tidak sesuai, terutama dalam situasi yang lebih formal.
Pengalaman traumatik di masa lalu, seperti trauma atau kejadian buruk, juga dapat menyebabkan seseorang enggan untuk menunjukkan emosi mereka secara terbuka.Â
Ketakutan akan dihakimi atau dilihat dengan cara negatif oleh orang lain bisa menjadi alasan lain mengapa seseorang mungkin menahan tawanya.Â
Sementara itu, tumbuh dalam lingkungan yang represif, di mana ekspresi emosi ditekan, dapat mengakibatkan seseorang kehilangan kemampuannya untuk mengekspresikan diri dengan bebas.Â
Ada juga kondisi psikologis, seperti anhedonia, yang membuat seseorang kesulitan merasakan kesenangan, termasuk kesenangan dari tertawa. Selain itu, stres berkepanjangan dan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dapat mengurangi respons seseorang terhadap situasi yang biasanya memicu tawa.
Akhirnya, mengalami kehilangan orang yang dicintai atau masa berduka bisa membuat seseorang merasa sulit untuk menemukan momen-momen kebahagiaan atau humor dalam hidup mereka untuk periode waktu tertentu.
Kemampuan seseorang untuk tertawa dan mengekspresikan kebahagiaan bukan hanya hasil dari sifat inheren mereka, tetapi seringkali merupakan refleksi dari pengalaman hidup, latar belakang budaya, kondisi kesehatan, dan berbagai faktor lainnya.Â
Penting bagi kita untuk memahami dan empati terhadap alasan yang mungkin mendasari ekspresi (atau ketiadaan ekspresi) tertentu dari individu, dan tidak cepat menilai atau membuat asumsi.Â
Setiap orang memiliki ceritanya sendiri, dan seringkali, apa yang kita lihat di permukaan hanyalah puncak gunung es dari realitas kompleks yang mereka hadapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H