Buset. Mendengarnya Ane agak-agak geli.
"Anda mau tidak menurunkan rentang gaji yang Anda minta?", beliau melanjutkan."Ya, Saya turunkan menjadi Rp1,3jt", dari sebelumnya Rp1,6jt. Untuk ukuran ini pada jaman itu udah lebih dari cukup sih ane kira.
 "Anda tidak mau menurunkan lagi? Sebab teman Anda tadi ada yang meminta hanya Rp1jt." Apaan nih? Ane pikir.
Tapi ya sudahlah, saya memilih bertahan diangka Rp1,3 juta. Rupanya pewawancara gak puas, dan sobat tentu sudah tau hasilnya. Ane ditolak mentah-mentah, dipandang layaknya orang yang kalah sebelum berperang,
"Set, dah... Kayaknya lebih mudah melamar anak orang dari pada mencari pekerjaan," Ane pikir.
Beberapa perusahaan Ane kirimkan lamaran. Beberapa menghubungi, tapi dengan halus mereka menolak. Apa lantas kerjaan ditolak, dukun bertindak? Gak, sob.
Dari Jogjakarta, Ane berangkat ke Jakarta Selatan. Di daerah Ragunan ada sebuah bank plat merah terbesar se-Indonesia Raya. Yup, Bank Rakyat Indonesia. Disitu ada ribuan pelamar, mengantri satu demi satu.
Di sini Ane jadi keinget pas masa-masa nyoba ikutan seleksi Extravaganza (angkatannya Omesh, Cs) di JEC Jogjakarta, di mana ribuan peserta mengantri untuk menggapai hal yang sama.
Panasnya naudzubillah, sungguh memilukan layaknya lagu Iwan Fals, Sarjana Muda.
Tapi emang udah nasib, Ane pikir, karena kurang tampan jadi gak diterima untuk mengikuti ujian. Saat ada peluang yang sama di Surabaya, pun begitu. Alangkah sulitnya mencari pekerjaan.
Berbagai media memang menyebutkan bahwa Indonesia mengalami surplus jumlah tenaga kerja. Setiap tahunnya ada ratusan ribu hingga satu jutaan orang Indonesia yang lulus kuliah atau menyelesaikan studinya. Tentu ini menambah jumlah angkatan kerja di Indonesia, dan berimbas pada ketatnya persaingan.