Mohon tunggu...
Andi Ramadhan
Andi Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis lepas di Kompasiana

Datang berlindung waktu susah dan senang. Tumpang berlindung waktu susah dan senang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tes Kerja: Gagal, Coba Lagi! Gagal, Coba Terus! Setelahnya, Alhamdulillah!

12 September 2016   22:57 Diperbarui: 14 September 2016   13:49 3134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini bukan kisah sukses, gemilang, apalagi bertuah. Ane bukan mau berbagi itu. Apakah Ane bangga? Tentu, karena Ane tidak putus asa. Ini adalah kisah kegagalan yang Ane alami. Murni pengalaman pribadi.

Pertama kali kisah ini bermula ketika Ane mengikuti tes psikologi di salah satu perusahaan perkebunan swasta tanah air, tepatnya sekitar tahun 2007. Cuma ada enam orang yang mengambil bidang keuangan saat itu. Besar harapan bagi lulusan D3 seperti Ane untuk dapat segera bekerja, karena mau melanjutkan S1 butuh biaya dan pastinya banyak waktu yang terbuang. 

Namun Ane gagal, sob. Tanpa berpuas diri, Ane ngadep tuh ke penguji,

"Apa yang kurang dari diri Saya, Bu?"

Ternyata Ane dinyatakan tidak cocok untuk ditugaskan pada bidang yang mereka inginkan.

Dalam hati,

"Masa iya mau ngelamar kamu, Bu yang cocok?"

Akhirnya karena kesulitan mendapatkan pekerjaan dan dukungan orang tua, Ane melanjutkan kuliah dan menyelesaikan S1 dalam waktu 2,5 tahun. (Padahal normalnya 2 tahun, loh untuk jalur ekstensi. Xixixixi...).

Pengalaman selanjutnya adalah ketika tes wawancara di salah satu perusahaan franchise friedchicken di Jogjakarta. Nama perusahaan itu agaknya tidak perlu Ane sebutkan disini. Dalam wawancara itu, pewawancara menanyakan tentang gaji, seperti ini:

"Anda mencari gaji atau pengalaman?". Sontak ditanya seperti itu Saya rada gelagapan. Saya menjawabnya, "pengalaman."

Pewawancara melanjutkan, "Kalau yang Anda cari adalah pengalaman, mengapa Anda tidak meminta setingkat UMR saja? Ini Anda meminta gaji yang begitu tinggi?"

Beliau terus mengoceh,"Kami tidak mencari lulusan S1, kami tidak butuh titel. Kami mencari orang yang dapat bekerja dan memberikan keuntungan bagi perusahaan."

Buset. Mendengarnya Ane agak-agak geli.

"Anda mau tidak menurunkan rentang gaji yang Anda minta?", beliau melanjutkan.

"Ya, Saya turunkan menjadi Rp1,3jt", dari sebelumnya Rp1,6jt. Untuk ukuran ini pada jaman itu udah lebih dari cukup sih ane kira.

 "Anda tidak mau menurunkan lagi? Sebab teman Anda tadi ada yang meminta hanya Rp1jt." Apaan nih? Ane pikir.

Tapi ya sudahlah, saya memilih bertahan diangka Rp1,3 juta. Rupanya pewawancara gak puas, dan sobat tentu sudah tau hasilnya. Ane ditolak mentah-mentah, dipandang layaknya orang yang kalah sebelum berperang,

"Set, dah... Kayaknya lebih mudah melamar anak orang dari pada mencari pekerjaan," Ane pikir.

Beberapa perusahaan Ane kirimkan lamaran. Beberapa menghubungi, tapi dengan halus mereka menolak. Apa lantas kerjaan ditolak, dukun bertindak? Gak, sob.

Dari Jogjakarta, Ane berangkat ke Jakarta Selatan. Di daerah Ragunan ada sebuah bank plat merah terbesar se-Indonesia Raya. Yup, Bank Rakyat Indonesia. Disitu ada ribuan pelamar, mengantri satu demi satu.

Di sini Ane jadi keinget pas masa-masa nyoba ikutan seleksi Extravaganza (angkatannya Omesh, Cs) di JEC Jogjakarta, di mana ribuan peserta mengantri untuk menggapai hal yang sama.

Panasnya naudzubillah, sungguh memilukan layaknya lagu Iwan Fals, Sarjana Muda.

Tapi emang udah nasib, Ane pikir, karena kurang tampan jadi gak diterima untuk mengikuti ujian. Saat ada peluang yang sama di Surabaya, pun begitu. Alangkah sulitnya mencari pekerjaan.

Berbagai media memang menyebutkan bahwa Indonesia mengalami surplus jumlah tenaga kerja. Setiap tahunnya ada ratusan ribu hingga satu jutaan orang Indonesia yang lulus kuliah atau menyelesaikan studinya. Tentu ini menambah jumlah angkatan kerja di Indonesia, dan berimbas pada ketatnya persaingan.

Ane pun memilih mengajar sebagai asisten dosen di kampus D3 Ane ketika ada tawaran. Tentu saja dengan bekerja sebagai asisten dosen, yang notabene hanya bekerja paruh waktu, tidak ada sisa gaji yang ditabung.

Nah, ini dia kisah suksesnya. Xixixi...

Pada 2012, sebuah angin sejuk menerpa halaman kos-kosan Ane, seiring dengan kabar baik dari dosen yang mata kuliahnya Ane ampu, bahwa ada sebuah BUMN perkebunan yang membuka lowongan. Tanpa menunggu lama, Ane coba masukkan lamaran pekerjaan, mengikuti tes dan Alhamdulillah. Ane di terima, sob!

Semua perjuangan mencari pekerjaan ternyata dapat mengasah keterampilan dan membantu kita memecahkan sebuah masalah. Pengalaman-pengalaman itu tidak dapat digantikan dan membantu kita menjawab setiap pertanyaan yang diajukan di tes pekerjaan pada perusahaan yang berbeda.

Bersabar dan berusaha ternyata menjadi kunci. Segala hal dapat diatur, namun Allah juga sebagai penentu.

Sebagai ganjarannya, gaji yang Ane terima kini berkali-kali lipat jauh lebih besar dari gaji yang tawar menawar di atas. Sudah lebih kurang 4 tahun Ane kerja di sini.

Semua ada hikmahnya, Alhamdulillah.

Catatan penulis: Tanpa bermaksud riya' atau sejenisnya, tulisan ini lebih kepada mengajak sobat untuk sentiasa semangat dan termotivasi untuk terus mencoba apapun dalam berbagai hal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun