Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul mencatat pada triwulan pertama tahun 2023, terdapat pemasukan tambahan sebesar 850 juta rupiah, khusus jam malam.
Pantai Parangtritis telah lama digadang-gadang sebagai andalan sektor pariwisata di Kabupaten Bantul. Bahkan, sejak Januari 2023, Parangtritis diberlakukan tarif retribusi pada kunjungan ketika malam hari.ÂAtas hal tersebut, dapat diprediksi pada sepanjang tahun 2023 ini, Pantai Parangtritis dengan didukung wisata bahari Pantai Depok dapat menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bantul mencapai tiga miliar rupiah.
Beberapa tahun terakhir, area wisata Pantai Parangtritis telah berkembang dari sekadar sajian pemandangan hamparan pantai. Berkat kreativitas dari masyarakat lokal, kini calon pengunjung Pantai Parangtritis memiliki pilihan variasi destinasi khas pesisir.
Tepian Samudera Hindia di bagian selatan Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut, telah terdapat ragam destinasi wisata. Gumuk pasir jenis Barchan tentu tak boleh terlewatkan oleh pengunjung. Dari sana pula, dikembangkan mangrove asosiasi jenis Cemara Udang yang tak dapat luput dari perhatian wisatawan.
Kecanggihan media digital tentu ikut andil dalam proses publikasi keelokan alam Pesisir Parangtritis. Lebih lanjut, dunia maya berhasil mengajak lebih banyak orang menguji adrenalin dengan menggunakan layanan wisata jeep dan motor trail untuk menyusuri hamparan gumuk pasir yang bergelombang.
Sementara itu, orang-orang yang menyukai ketenangan, akan berbondong-bondong menikmati momentum matahari terbenam. Sedangkan bagi sebagian umat penganut agama maupun keyakinan, pada Parangtritis pula mereka datang atas misi spiritual. Begitu beragamnya tujuan pengunjung Parangtritis bukan hanya mampu representasi ruang wisata yang inklusi, namun juga sebagai energi perputaran ekonomi.
Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) dan Jembatan Kretek II yang tujuan utamanya untuk menunjang distribusi kebutuhan bahan-bahan pokok di bagian pesisir selatan Pulau Jawa, justru telah menjelma sebagai pemantik gairah berwisata. Para kaum muda dan pasangan paruh baya bersama keluarga kecilnya berlalu-lalang mengisi waktu sore hari sembari berburu makanan ala street food. Terciptalah sumber perekonomian dari kelompok pedagang kaki lima.
Masyarakat Lokal dalam Fenomena Warung Dadakan
Sebagai Negara Kepulauan dengan karakter alamnya yang beragam, Indonesia tak perlu diragukan lagi perkembangan sektor pariwisatanya. Hampir setiap tempat di Indonesia, potensial untuk dikembangkan dengan konsep pariwisata. Desa Wisata menjadi potret bahwa kearifan lokal mampu dikemas dalam wajah pariwisata.
Begitu pula Parangtritis yang menyimpan mitos, sejarah, budaya, dan keunggulan karakteristik alam yang terus melaju beriringan dengan gelar primadona pariwisatanya.
Tumbuh dan berkembangnya pariwisata suatu daerah, tentu dampak baiknya bukan hanya bagi pendapatan pemerintah daerah. Masyarakat lokal dipastikan mampu bertahan hidup dari aktivitas wisata di lingkungannya.
Namun, sejauh perjalan Indonesia melakukan upaya pengembangan sektor pariwisata, warga negaranya berhenti pada kemampuan mendirikan warung dadakan. Hal yang seharusnya patut disayangkan oleh penyelenggara negara.
Hampir dapat dipastikan bahwa setiap kali terdapat destinasi wisata baru, saat itulah bermunculan warung dadakan. Alih-alih menampilkan produk ikonis, masyarakat lokal dengan keterbatasan modal hanya mampu menjual ulang produk-produk milik industri besar. Produk makanan yang kemasannya dengan ketiadaan jaminan ramah alam telah menjadi'komoditas unggulan' di dalam transaksi warung dadakan. Tidak ada yang mampu menjamin terkelolanya limbah kemasan karya perusahaan besar tersebut.
Alam Parangtritis tentu tidak dapat terhindar dari dampak fenomena tidak terkelolanya sampah pariwisata. Benar bahwa tempat sampah telah cukup tersedia, namun pengelolaan keberlanjutan keasrian wisata alam tidak pernah cukup dengan cara menampung dan memindahkan sampah ke landfil. Demi keasrian alam destinasi wisata dan kelestarian alam secara menyeluruh, para pemangku kebijakan harus memulai langkah yang lebih segar.
Pelaku Wisata Terlibat Gerakan Ekonomi Sirkular
Fenomena warung dadakan barangkali termasuk dalam daftar keunikan Indonesia, sehingga potensial untuk digunakan sebagai sarana mendorong agenda yang jauh lebih besar. Sebagai penduduk setempat, masyarakat tentu berhak memperoleh pendapatan dari aktivitas wisata di lingkungannya, salah satunya melalui penyediaan barang dan jasa pariwisata.
Namun tidak terbatas pada transaksi jual-beli, para pelaku wisata tersebut juga harus difasilitasi untuk berkontribusi dalam menjaga keseimbangan alam. Pelaku wisata di Indonesia harus memahami pentingnya keseimbangan ekosistem alam terhadap keberlangsungan dan keberlanjutan profesinya.
Atas pemahaman tersebut, pelaku wisata mampu mempraktikkan gerakan ekonomi sirkular. Masyarakat lokal yang hidup di kawasan pariwisata berkolaborasi dengan pemangku kebijakan setempat perlu mengupayakan produk barang dan jasanya memiliki usia yang lebih panjang.
Gerakan ekonomi sirkular bahkan dapat dilakukan oleh para pelaku wisata yang menjalin hubungan langsung dengan pengguna terakhir suatu produk dan jasa. Pelaku wisata sebaiknya diberi fasilitas oleh pemimpin publiknya untuk turut terlibat aktif dalam mewujudkan ekonomi sirkular di suatu daerah. Hal paling mudah dalam memulai aksi nyata tersebut dapat dilakukan dengan memastikan ketersediaan ruang pengelolaan limbah produk dan jasa pariwisata.
Investasi pada Sistem Pengelolaan Sampah Pariwisata
Para pelaku wisata di Pantai Parangtritis telah memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan sekitarnya tetap nampak asri dan bersih. Namun, keterbatasan fasilitas publik yang ada, gagasan tersebut hanya mampu direalisasikan sebatas memindahkan sampah wisata ke landfil.
Permasalahan juga muncul dari kondisi bank sampah di Desa Parangtritis yang belum mampu mengolah sampah residu. Sehingga, pengelolaan sampah terbatas pada jenis sampah yang diminati oleh pengepul.
Sementara itu, tidak sedikit jumlah sampah residu yang dihasilkan oleh aktivitas pariwisata di Pesisir Parangtritis. Sampah-sampah tersebut seharusnya mampu dikelola secara mandiri di kawasan Parangtritis, alih-alih menumpuknya di landfil. Gerakan pelestarian alam yang dilakukan oleh para pelaku wisata telah saatnya didukung oleh pemerintah daerah dengan membentuk sistem pengelolaan sampah yang inovatif.
Melalui program bersih sampah 2025, perlu ditargetkan investasi mesin dan sumber daya pengelolaan sampah di Parangtritis. Sampah residu dari hasil aktivitas pariwisata di Parangtritis dapat dikelola langsung oleh masyarakat setempat, sehingga tidak perlu bergantung pada kebutuhan tempat pembuangan sampah. Adanya hasil pengelolaan sampah dapat menjadi ciri khas baru Parangtritis sebagai pariwisata yang mengedepankan konsep berkelanjutan.
Bagaimanapun juga, menjaga kelestarian alam Bantul dalam program Bantul Bersama tidak pernah cukup dilakukan dengan cara memungut dan menumpuk sampah bersama-sama. Perlu sistem pengelolaan sampah inovatif untuk tujuan Bantul Bersama yang dapat dimulai dari Pesisir Parangtritis sebagai bagian dari halaman utama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H