Namun, sejauh perjalan Indonesia melakukan upaya pengembangan sektor pariwisata, warga negaranya berhenti pada kemampuan mendirikan warung dadakan. Hal yang seharusnya patut disayangkan oleh penyelenggara negara.
Hampir dapat dipastikan bahwa setiap kali terdapat destinasi wisata baru, saat itulah bermunculan warung dadakan. Alih-alih menampilkan produk ikonis, masyarakat lokal dengan keterbatasan modal hanya mampu menjual ulang produk-produk milik industri besar. Produk makanan yang kemasannya dengan ketiadaan jaminan ramah alam telah menjadi'komoditas unggulan' di dalam transaksi warung dadakan. Tidak ada yang mampu menjamin terkelolanya limbah kemasan karya perusahaan besar tersebut.
Alam Parangtritis tentu tidak dapat terhindar dari dampak fenomena tidak terkelolanya sampah pariwisata. Benar bahwa tempat sampah telah cukup tersedia, namun pengelolaan keberlanjutan keasrian wisata alam tidak pernah cukup dengan cara menampung dan memindahkan sampah ke landfil. Demi keasrian alam destinasi wisata dan kelestarian alam secara menyeluruh, para pemangku kebijakan harus memulai langkah yang lebih segar.
Pelaku Wisata Terlibat Gerakan Ekonomi Sirkular
Fenomena warung dadakan barangkali termasuk dalam daftar keunikan Indonesia, sehingga potensial untuk digunakan sebagai sarana mendorong agenda yang jauh lebih besar. Sebagai penduduk setempat, masyarakat tentu berhak memperoleh pendapatan dari aktivitas wisata di lingkungannya, salah satunya melalui penyediaan barang dan jasa pariwisata.
Namun tidak terbatas pada transaksi jual-beli, para pelaku wisata tersebut juga harus difasilitasi untuk berkontribusi dalam menjaga keseimbangan alam. Pelaku wisata di Indonesia harus memahami pentingnya keseimbangan ekosistem alam terhadap keberlangsungan dan keberlanjutan profesinya.
Atas pemahaman tersebut, pelaku wisata mampu mempraktikkan gerakan ekonomi sirkular. Masyarakat lokal yang hidup di kawasan pariwisata berkolaborasi dengan pemangku kebijakan setempat perlu mengupayakan produk barang dan jasanya memiliki usia yang lebih panjang.
Gerakan ekonomi sirkular bahkan dapat dilakukan oleh para pelaku wisata yang menjalin hubungan langsung dengan pengguna terakhir suatu produk dan jasa. Pelaku wisata sebaiknya diberi fasilitas oleh pemimpin publiknya untuk turut terlibat aktif dalam mewujudkan ekonomi sirkular di suatu daerah. Hal paling mudah dalam memulai aksi nyata tersebut dapat dilakukan dengan memastikan ketersediaan ruang pengelolaan limbah produk dan jasa pariwisata.
Investasi pada Sistem Pengelolaan Sampah Pariwisata
Para pelaku wisata di Pantai Parangtritis telah memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan sekitarnya tetap nampak asri dan bersih. Namun, keterbatasan fasilitas publik yang ada, gagasan tersebut hanya mampu direalisasikan sebatas memindahkan sampah wisata ke landfil.
Permasalahan juga muncul dari kondisi bank sampah di Desa Parangtritis yang belum mampu mengolah sampah residu. Sehingga, pengelolaan sampah terbatas pada jenis sampah yang diminati oleh pengepul.