Pada kesempatan diskusi mengenai etika politik, seorang panelis menyebutkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur untuk memantik sesi.Â
Kemasyhuran suatu negeri memang memerlukan kepastian etika politik hadir di dalamnya. Menjamin para aktor politik dan penyelenggara negara berpegang teguh pada moral, yang dalam hal ini untuk berperilaku dan melakukan hal-hal baik.Â
Etika politik mutlak dijadikan pedoman oleh mereka yang bersentuhan secara langsung dalam pembentukan suatu kebijakan. Sehingga, tercipta kebijakan publik yang mampu mendorong kesejahteraan masyarakat, alih-alih regulasi untuk kepentingan pribadi.
Negara yang masyhur membutuhkan kerja-kerja politik yang berpihak pada kepentingan publik. Mengawal hal tersebut, masyarakat pun memiliki peranan dalam proses pemilihan pemimpin hingga memastikan mereka yang terpilih benar-benar bekerja untuk kepentingan kesejahteraan secara menyeluruh.
Pendidikan politik akan membuka kesadaran publik mengenai peran penting dirinya dalam menentukan berjalannya suatu negara. Kini, pendidikan politik telah mendesak dilakukan di ruang-ruang publik, sekalipun bukan organisasi politik, seperti sekolahan dan tempat ibadah.
Publik harus memahami bahwa perkara nyamuk adalah juga perkara negara, misalnya.
Tahun 2023, saya mendapatkan kesempatan mengikuti momentum Salat Idul Fitri di Gumuk Pasir Pesisir Parangkusumo, Yogyakarta yang menyajikan Surah Saba' untuk menu khotbah. Dr. H. Hamim Ilyas, M. Ag menyampaikan satu kriteria 'negeri tanpa nyamuk' yang ternyata hanya mampu disambut sebagai bahan guyonan oleh sebagian besar jamaah.Â
Terlampau sering pengajian dengan kisi-kisi meraup pahala, tentu rasanya aneh ketika dakwah keagamaan membahas negara yang disandingkan dengan nyamuk.Â
Wajar ketika menjadi ada kesulitan untuk memahami bahwa ketiadaan nyamuk merupakan rangkaian panjang proses politik dalam menghadirkan kebijakan publik ramah ekosistem.
Ada pendapat dari ahli tafsir, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur bisa diartikan sebagai negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan para penduduknya.Â
Juga tentunya telah banyak diketahui pula bagaimana kisah Negeri Saba' diabadikan oleh Al-Quran dalam ayatnya mengenai negeri yang baik dengan Tuhan yang Maha Pengampun.Â
Konon, untuk memenuhi kriteria negeri impian tersebut, langkahnya tak pernah mudah. Sebab, kita tengah memperbincangkan suatu sistem negara. Salah satunya, mengenai tata kelola negara dalam memperlakukan alam.
Wabah jelas tercatat akan hadir sebagai dampak krisis iklim yang melanda bumi. Kini lajunya telah semakin cepat, berkat aktivitas tujuh miliar penduduknya dalam meningkatkan suhu permukaan bumi.Â
Penumpukan gas rumah kaca dan kerusakan atmosfer urgen untuk dihentikan, sebab beragam 'bibit' penyakit yang lama terpendam di kutub bumi akan mudah tersebar seiring berjalannya pemanasan global.Â
Negeri tanpa nyamuk--yang telah tersirat dalam kitab ajaran agama Islam--mendesak untuk kita upayakan bersama-sama. Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pesisir terpanjang kedua di dunia, yang berarti tak sedikit persoalan atas dampak krisis iklim yang akan kita hadapi di negeri ini.
Negeri Saba' dikisahkan oleh Al-Quran sebagai negeri ideal dan negeri impian. Selain wajah alamnya yang indah, bumi Saba' begitu subur hingga menjamin ketersediaan pangan bagi penduduknya. Tidak ada kriminalitas berkat terpenuhinya kebutuhan utama. Damai dan tentram terbingkai dalam kehidupan Negeri Saba'.Â
Namun sayang, pada suatu titik, para penduduk menjadi lalai, bahasa mudahnya; tidak bersyukur. Tersurat pada ayat ke 16 Surah Saba' mengenai situasi banjir besar yang menjadikan tanah Saba' hanya mampu menumbuhkan pohon-pohon yang rasanya pahit. Tidak bersyukur yang berujung tidak ada sumber pangan.
"Apakah kehancuran Saba' sebatas kaumnya menolak mengakui peran Gusti Allah?", saya melayangkan pesan elektronik kepada seorang kawan, selepas menyantap sajian--lebaran--lontong opor di rumah simbah.
Tidak pernah menyangka bahwa akhirnya menemukan tema khotbah di majelis keagamaan yang menarik untuk 'dibawa pulang'. Dua bulan berlalu, saya masih terpukau dengan keberanian khotib dalam mengambil tema asing namun urgen untuk dikabarkan kepada lebih banyak umat. Sekalipun respon publik belum nampak antusias, rasanya tetap ada optimisme untuk memperbaiki kerusakan alam dari jalur keagamaan.
"Penolakan itu kan mencakup lebih banyak hal. Enggak mengakui kekuasaan Allah, sampai akhirnya menjadi enggak bersyukur, itu bisa jadi berjalan dengan misalnya praktik deforestasi, illegal logging, illegal fishing, dan kegiatan apapun yang sifatnya merusak alam." Saya menerima pendapat dari Pesisir Utara Jawa.
Tinggal di wilayah pesisir sewajarnya memang gelisah dalam merespon kondisi bumi saat ini. Di Negara Maritim sekalipun--dalam kondisi bumi yang semakin panas--pesisir terancam semakin jauh dari kesejahteraan.Â
Problematikanya yang kompleks akan semakin rumit ketika tiba pada puncak krisis alam. Penduduk pesisir dan wakilnya di parlemen harus segera memprioritaskan pemulihan alam daripada perluasan area wisata dalam usaha peningkatan sektor ekonomi. Harus sama-sama dipahami bahwa ekonomi tidak akan tumbuh dari lahan yang tandus.
Bumi Indonesia yang gemah ripah loh jinawi juga harus diwaspadai kerusakannya. Negeri Saba' pada akhirnya hancur karena sikap yang tidak menghargai Allah dan karyanya, alam semesta.Â
Pemanfaatan bumi gemah ripah loh jinawi sedang tidak bijaksana. Sawah-sawah di Jawa ditimbun bangunan bisnis perumahan dan pabrik. Hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan digunduli demi sawit. Pulau-pulau di Indonesia Timur rusak berkat tambang sumber baterai listrik, yang katanya ramah lingkungan. Bumi Nusantara darurat bencana.
Bencana bukan soal banjir atau longsor, namun terletak pada ketidakadilan yang dialami oleh alam. Semakin sulit menjangkau titik menjadi negeri yang indah dengan Tuhan yang Maha Pengampun, jika tanpa kesadaran untuk melawan.Â
Saya mengingat betul pesan Tuhan melalui khatib di Hari Raya Idul Fitri tahun ini, bahwa Indonesia perlu pemimpin publik dan penyelenggara negara yang tidak melakukan korupsi, mereka yang tanpa niat melanggengkan otokrasi, dan mereka yang hanya bersungguh-sungguh untuk membangun kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.Â
Sistem negara dijalankan oleh pemimpin yang tidak serakah,tidak mengeruk sumber daya alam demi kepentingan pribadinya. Semuanya, dimulai dari kesadaran masyarakat dalam memastikan dirinya menjaga proses demokrasi.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H