Juga tentunya telah banyak diketahui pula bagaimana kisah Negeri Saba' diabadikan oleh Al-Quran dalam ayatnya mengenai negeri yang baik dengan Tuhan yang Maha Pengampun.Â
Konon, untuk memenuhi kriteria negeri impian tersebut, langkahnya tak pernah mudah. Sebab, kita tengah memperbincangkan suatu sistem negara. Salah satunya, mengenai tata kelola negara dalam memperlakukan alam.
Wabah jelas tercatat akan hadir sebagai dampak krisis iklim yang melanda bumi. Kini lajunya telah semakin cepat, berkat aktivitas tujuh miliar penduduknya dalam meningkatkan suhu permukaan bumi.Â
Penumpukan gas rumah kaca dan kerusakan atmosfer urgen untuk dihentikan, sebab beragam 'bibit' penyakit yang lama terpendam di kutub bumi akan mudah tersebar seiring berjalannya pemanasan global.Â
Negeri tanpa nyamuk--yang telah tersirat dalam kitab ajaran agama Islam--mendesak untuk kita upayakan bersama-sama. Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pesisir terpanjang kedua di dunia, yang berarti tak sedikit persoalan atas dampak krisis iklim yang akan kita hadapi di negeri ini.
Negeri Saba' dikisahkan oleh Al-Quran sebagai negeri ideal dan negeri impian. Selain wajah alamnya yang indah, bumi Saba' begitu subur hingga menjamin ketersediaan pangan bagi penduduknya. Tidak ada kriminalitas berkat terpenuhinya kebutuhan utama. Damai dan tentram terbingkai dalam kehidupan Negeri Saba'.Â
Namun sayang, pada suatu titik, para penduduk menjadi lalai, bahasa mudahnya; tidak bersyukur. Tersurat pada ayat ke 16 Surah Saba' mengenai situasi banjir besar yang menjadikan tanah Saba' hanya mampu menumbuhkan pohon-pohon yang rasanya pahit. Tidak bersyukur yang berujung tidak ada sumber pangan.
"Apakah kehancuran Saba' sebatas kaumnya menolak mengakui peran Gusti Allah?", saya melayangkan pesan elektronik kepada seorang kawan, selepas menyantap sajian--lebaran--lontong opor di rumah simbah.
Tidak pernah menyangka bahwa akhirnya menemukan tema khotbah di majelis keagamaan yang menarik untuk 'dibawa pulang'. Dua bulan berlalu, saya masih terpukau dengan keberanian khotib dalam mengambil tema asing namun urgen untuk dikabarkan kepada lebih banyak umat. Sekalipun respon publik belum nampak antusias, rasanya tetap ada optimisme untuk memperbaiki kerusakan alam dari jalur keagamaan.
"Penolakan itu kan mencakup lebih banyak hal. Enggak mengakui kekuasaan Allah, sampai akhirnya menjadi enggak bersyukur, itu bisa jadi berjalan dengan misalnya praktik deforestasi, illegal logging, illegal fishing, dan kegiatan apapun yang sifatnya merusak alam." Saya menerima pendapat dari Pesisir Utara Jawa.
Tinggal di wilayah pesisir sewajarnya memang gelisah dalam merespon kondisi bumi saat ini. Di Negara Maritim sekalipun--dalam kondisi bumi yang semakin panas--pesisir terancam semakin jauh dari kesejahteraan.Â