Konten berita yang hanya mengambil dari postingan viral tentu masih dipertanyakan kebenarannya. Mengingat bahwa tidak semua konten yang ada di media sosial telah melalui proses verifikasi. Apalagi jurnalis cenderung langsung mengutip postingan tersebut tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut ataupun wawancara dengan pihak bersangkutan.
Tuntutan media sekarang memang mengharuskan jurnalis untuk bekerja cepat dalam mencari berita. Namun, keakuratan dari berita tersebut tetap harus diutamakan. Hal ini berhubungan dengan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat pada media tersebut. Jurnalis harus memiliki kehati-hatian yang tinggi dalam mencari berita. Hal ini dikarenakan berita yang ditulis memberikan dampak yang luas kepada para pembaca (Kusumaningrat, 2016).
Dalam buku Jurnalistik: Teori dan Praktik (2016), disebutkan bahwa unsur layak berita antara lau adalah cermat dan tepat atau dalam bahasa jurnalistik harus akurat. Selain itu, berita juga harus lengkap, berimbang dan adil. Kemudian berita tidak boleh mencampurkan fakta dan opini sendiri atau dalam bahasa akademis disebut objektif. Terakhir, yang merupakan syarat praktis tentang penulisan berita harus ringkat, jelas, dan hangat.
Jika kita analisis berita yang bersumber dari media sosial, ada beberapa kekurangan mengenai unsur layak berita tersebut. Unsur pertama adalah keakuratan. Jurnalis cenderung tidak pernah melakukan verifikasi jika hanya mengambil dari media sosial. Tentu saja, akurasi dari berita tersebut selalu dipertanyakan. Contohnya saja, pada awal tahun lalu, masyarakat dibuat heboh dengan berita pembangunan wahana Disneyland di Indonesia.
Berita ini mulai muncul akibat akun Facebook atas nama Presiden Indonesia, Jokowi, menyebutkan tentang rencana pembangunan wahana hiburan ini. Berbagai media ramai memberitakan hal ini. Antara lain adalah liputan6.com dan media. Ternyata setelah digali lebih dalam lagi, berita tersebut merupakan berita palsu atau hoax. Bahkan akun atas nama Jokowi di Facebook pun merupakan akun palsu. Hal ini mungkin tidak akan terjadi jika jurnalis mau melakukan pencarian lebih lanjut dan melakukan verifikasi ke istana.
Ternyata pengendara tersebut merupakan mantan pegawai di cafe tempat kejadian kasus Jessica Wongo. Jika dilihat dari konten berita, sebenarnya berita ini tidak memiliki kepentingan yang urgen untuk diketahui oleh masyarakat luas. Dari berita tersebut, jurnalis terkesan tidak memiliki materi berita ataupun malas untuk mencari berita.
Dengan hanya mencatumkan salah satu pihak saja, jurnalis bisa saja merugikan pihak lainnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat hanya mengatahui cerita dari satu sisi saja. Jika jurnalis berhasil memaparkan sebuah berita dari sisi-sisi yang berbeda maka masyarakat tidak akan terjerumus dan dapat mengetahui kisah secara keseluruhan.
Jurnalis harus senantiasa berusaha untuk menempatkan setiap fakta menurut proporsinya yang wajar, untuk membangun segi pentingnya dengan berita secara keseluruhan. (Kusumaningrat, 2016). Biasanya apa yang ada di media sosial berasal dari satu sudut pandang saja, tergantung dari siapa yang menulis konten tersebut. Hal ini dapat menggiring para pembaca pada satu opini saja. Padahal jurnalis memiliki kewajiban untuk menulis berita covers both side atau mengambil sudut pandang dari semua pihak yang bersangkutan.
Memang dalam hal ini bukan sepenuhnya kesalahan oleh jurnalis. Perkembangan kebutuhan masyarakat yang menginginkan mendapatkan berita dengan cepat membuat jurnalis tidak sempat untuk melakukan wawancara guna memastikan kebenaran dari informasi tersebut. Persaingan antar media juga memaksa jurnalis mencari berita apa saja yang dapat menarik perhatian banyak orang. Persaingan untuk menjadi media yang pertama kali memberitakan berita mendorong sering terjadinya kurang akurasi dari media online, bahkan media besar sekalipun.