Mohon tunggu...
ArdeliaMeita K
ArdeliaMeita K Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Media Sosial Sumber Berita Masa Kini

5 Oktober 2017   11:46 Diperbarui: 5 Oktober 2017   12:08 6259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tidak bisa dipungkiri lagi jika saat ini masyarakat mengalami pergeseran dalam mengonsumsi berita. Dahulu, masyarakat masih mengandalkan media mainstream untuk mendapatkan suatu informasi. Media konvensional pun menjadi tempat tujuan dalam memperoleh berita. Masyarakat masih menjadi konsumen pasif yang harus menunggu koran selesai dicetak dan diedarkan ataupun menunggu tayangan berita di televisi dimulai. Sampai akhirnya, muncullah internet dan segala perkembangan teknologi lainnya.

Internet memang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat modern saat ini. Internet hadir memberikan berbagai kemudahan bagi penggunanya, terutama mengenai kebutuhan informasi. Masyarakat dapat saling terhubung dan bertukar informasi. Media-media baru muncul untuk membantu terjadinya pertukaran informasi ini. Lebih dari itu, pengguna internet tidak lagi bertindak hanya sebagai penerima apa yang diberitakan, melainkan sebagai produsen atau penyebar  informasi yang relevan (Bungin, 2008: 135)

Akibat dari munculnya internet, muncul berbagai platform media baru yang menyajikan segala informasi tanpa batas. Platform yang paling sering diandalkan masyarakat dalam mencari berita adalah media sosial. Media sosial merupakan media online dimana para penggunanya dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum, dan dunia virtual. (Watie, 2011) Instagram, Twitter, Facebook dan media sosial menjadi sarana pertukaran informasi antar para pengguna.

Keberadaan media sosial tidak terbatas ruang dan waktu sehingga penggunanya dapat menggunakan dimanapun dan kapanpun yang mereka kehendaki. Tanpa adanya gatekeeper yang membatasi pengguna, maka segala informasi dan opini dapat tersedia di media-media sosial ini. Berhubungan dengan ini, banyak sekali kasus dimana media sosial menjadi media yang paling sering menyebarkan berita hoaks. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam mengakses media sosial diperlukan kehati-hatian agar tidak tertipu berita palsu.

Hampir semua orang memiliki media sosial, dari masyarakat biasa, artis, bahkan presiden pun memiliki akun media sosial. Bahkan setiap orang bisa memiliki lebih dari satu akun di media yang berbeda-beda. Hampir semua pengguna media sosial ini menuliskan suatu konten di akun mereka, entah konten yang penting atau sekedar keseharian mereka.

Hal ini memicu munculnya konsep Web 2.0 dan Web 1.0. Dimana Web 2.0 merupakan layanan berbasis Web yang menekankan pada kolaborasi online antara beberapa pengguna. Web 2.0 menuntut adanya keterbukaan, organisasi, dan komunitas. Web publishers tidaklah menciptakan konten melainkan menciptakan platform, sedangkan penggunalah menciptakan konten itu. Dengan adanya Web 2.0 ini masyarakat bukan lagi konsumen, melainkan pengguna. Misalnya saja Facebook, Youtube dan kompasiana dimana pengguna dapat menyebarluaskan konten-konten yang mereka ciptakan sendiri dan dapat dikonsumsi secara massal. (Briggs, 2007)

Bidang jurnalisme pun tak luput dari pengaruh kehadiran teknologi internet ini. Media mainstream berlomba untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat di era globalisasi ini. Dari yang awalnya hanya media konvensional, seperti televisi, koran, ataupun radio, berubah menjadi media online. Misalnya, kompas.com, detik.com, atau tempo.co. Berbeda dari media-media kovensional, salah satu unsur terpenting dalam media online adalah kecepatan memberitakan suatu informasi.

Salah satu cara untuk mendapatkan informasi dengan cepat adalah melalui media sosial. Mengingat bahwa masyarakat sering mencurahkan segala opini ataupun kejadian yang ada disekitarnya membuat jurnalis dengan mudah mendapatkan konten berita. Jurnalis tidak perlu turun lapangan untuk mendapatkan informasi-informasi tersebut. Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh jurnalis, tidak perlu turun lapangan tapi mendapatkan informasi dengan cepat.

Menurut riset yang dilakukan oleh Reuters Institute, jumlah jurnalis yang menggunakan media sosial meningkat drastis. Di Indonesia sendiri, sering kali jurnalis hanya bermodal konten yang viral di media sosial untuk dijadikan berita. Entah itu sebuah tulisan pribadi ataupun komentar dari warganet.

Misalnya saja, BBC Indonesia pada tahun 2016 lalu menulis sebuah berita yang berjudul "Mendebat dugaan dana reklamasi Rp30 milyar, Tempo, dan teman-teman Ahok", yang mana isi dari berita tersebut bersumber dari argumen-argumen yang diberikan warganet dari akun media sosial pribadi mereka. Bahkan, seringkali jurnalis membuat berita dari post sebuah akun di Instagram. Seperti yang diambil dari bali.tribbunnews.com, dengan judul berita "Masih Ingat Kasus Kopi Sianida Jessica? Pria Pengantar Kopi Di Kafe Olivier Nasibnya Jadi Begini". Isi berita itu bersumber dari sebuah postingan akun dramaojol.id.

Konten berita yang hanya mengambil dari postingan viral tentu masih dipertanyakan kebenarannya. Mengingat bahwa tidak semua konten yang ada di media sosial telah melalui proses verifikasi. Apalagi jurnalis cenderung langsung mengutip postingan tersebut tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut ataupun wawancara dengan pihak bersangkutan.

Tuntutan media sekarang memang mengharuskan jurnalis untuk bekerja cepat dalam mencari berita. Namun, keakuratan dari berita tersebut tetap harus diutamakan. Hal ini berhubungan dengan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat pada media tersebut. Jurnalis harus memiliki kehati-hatian yang tinggi dalam mencari berita. Hal ini dikarenakan berita yang ditulis memberikan dampak yang luas kepada para pembaca (Kusumaningrat, 2016).

Dalam buku Jurnalistik: Teori dan Praktik (2016), disebutkan bahwa unsur layak berita antara lau adalah cermat dan tepat atau dalam bahasa jurnalistik harus akurat. Selain itu, berita juga harus lengkap, berimbang dan adil. Kemudian berita tidak boleh mencampurkan fakta dan opini sendiri atau dalam bahasa akademis disebut objektif. Terakhir, yang merupakan syarat praktis tentang penulisan berita harus ringkat, jelas, dan hangat.

Jika kita analisis berita yang bersumber dari media sosial, ada beberapa kekurangan mengenai unsur layak berita tersebut. Unsur pertama adalah keakuratan. Jurnalis cenderung tidak pernah melakukan verifikasi jika hanya mengambil dari media sosial. Tentu saja, akurasi dari berita tersebut selalu dipertanyakan. Contohnya saja, pada awal tahun lalu, masyarakat dibuat heboh dengan berita pembangunan wahana Disneyland di Indonesia.

Berita ini mulai muncul akibat akun Facebook atas nama Presiden Indonesia, Jokowi, menyebutkan tentang rencana pembangunan wahana hiburan ini. Berbagai media ramai memberitakan hal ini. Antara lain adalah liputan6.com dan media. Ternyata setelah digali lebih dalam lagi, berita tersebut merupakan berita palsu atau hoax. Bahkan akun atas nama Jokowi di Facebook pun merupakan akun palsu. Hal ini mungkin tidak akan terjadi jika jurnalis mau melakukan pencarian lebih lanjut dan melakukan verifikasi ke istana.

Sumber: solopos.com
Sumber: solopos.com
Kemudian mengenai kepentingan berita tersebut. Beberapa kasus berita yang bersumber dari media sosial, jurnalis terkesan hanya memberitakan ulang hal apa yang ada di media sosial. Sebagai contoh, bali.tribbunnews.com memposting sebuah berita dengan judul berita "Masih Ingat Kasus Kopi Sianida Jessica? Pria Pengantar Kopi Di Kafe Olivier Nasibnya Jadi Begini". Jurnalis mendapatkan berita dari sebuah akun Instagram dramaojol.id yang memposting sebuah percakapan antara penumpang ojek online dengan pengendara.

Ternyata pengendara tersebut merupakan mantan pegawai di cafe tempat kejadian kasus Jessica Wongo. Jika dilihat dari konten berita, sebenarnya berita ini tidak memiliki kepentingan yang urgen untuk diketahui oleh masyarakat luas. Dari berita tersebut, jurnalis terkesan tidak memiliki materi berita ataupun malas untuk mencari berita.

Sumber: bali.tribunnews.com
Sumber: bali.tribunnews.com
Selain itu, kurang lengkapnya data juga merupakan kekurangan dari media online saat ini, terutama yang bersumber pada media sosial. Akibat dari tidak adanya wawancara, maka isi berita hanya tergantung dari apa yang di media sosial tersebut. Padahal belum tentu apa yang ada di media sosial tersebut merupakan cerita yang utuh. Sebuah berita harus memiliki unsur adil dan berimbang, seperti yang dijelaskan sebelumnya, jurnalis harus bisa menyajikan fakta dari pihak-pihak yang bersangkutan.

Dengan hanya mencatumkan salah satu pihak saja, jurnalis bisa saja merugikan pihak lainnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat hanya mengatahui cerita dari satu sisi saja. Jika jurnalis berhasil memaparkan sebuah berita dari sisi-sisi yang berbeda maka masyarakat tidak akan terjerumus dan dapat mengetahui kisah secara keseluruhan.

Jurnalis harus senantiasa berusaha untuk menempatkan setiap fakta menurut proporsinya yang wajar, untuk membangun segi pentingnya dengan berita secara keseluruhan. (Kusumaningrat, 2016). Biasanya apa yang ada di media sosial berasal dari satu sudut pandang saja, tergantung dari siapa yang menulis konten tersebut. Hal ini dapat menggiring para pembaca pada satu opini saja. Padahal jurnalis memiliki kewajiban untuk menulis berita covers both side atau mengambil sudut pandang dari semua pihak yang bersangkutan.

Memang dalam hal ini bukan sepenuhnya kesalahan oleh jurnalis. Perkembangan kebutuhan masyarakat yang menginginkan mendapatkan berita dengan cepat membuat jurnalis tidak sempat untuk melakukan wawancara guna memastikan kebenaran dari informasi tersebut. Persaingan antar media juga memaksa jurnalis mencari berita apa saja yang dapat menarik perhatian banyak orang. Persaingan untuk menjadi media yang pertama kali memberitakan berita mendorong sering terjadinya kurang akurasi dari media online, bahkan media besar sekalipun.

Mengutip dari remotivi.co.id, dua orang peneliti dari University of Amsterdam, Sanne Kruikemeier dan Sophie Lecheler melakukan sebuah penelitian berjudul "News Consumer Perceptions of News Journaslistic Sourcing Techniques" (2016). Keduanya mewawancari 422 responden terkait bagaimana jurnalis mengakses narasumber dalam berita-beritanya. Salah satu hasilnya, sebagian besar beranggapan berita yang bersumber dari narasumber lebih kredibel jikan dibandingkan dengan  berita yang bersumber dari media sosial.

Sumber: tandfonline.com
Sumber: tandfonline.com
Kruikemeier dan Lecherer menggunakan nilai 1-7 untuk mengukur tingkat persepsi pembaca atas kredibilitas berita yang diukur dari beberapa faktor, seperti objektivitas, akurasi, keberimbangan dan sebagainya. Semakin tinggi nilainya, semakin masyarakat percaya atas berita tersebut. Hasilnya, media sosial menempati urutan paling bawah, yakni Facebook (2,55) dan Twitter (2,56). Peringkat tertinggi diraih oleh wawancara (4,7), konferensi pers (4,33), dan surel (4,25).

Kepercayaan audiens adalah salah satu faktor yang menghidupi sebuah media. Untuk mendapatkan kepercayaan audiens adalah dengan memberikan berita yang akurat dan berkualitas. Penelitian yang dilakukan oleh Kruikemeier dan Lecherer menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat menginginkan berita yang melalui proses verifikasi sehingga bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Padahal apa yang terjadi sekarang adalah kebalikannya, dimana media sosial yang masih dipertanyakan kebenarannya menjadi sasaran para jurnalis dalam mencari materi berita. Segala informasi yang didapat pun perlu dikonfirmasi lagi kebenarannya. Jangan sampai berita yang sampai ditangan pembaca hoax atau tidak seluruhnya benar dan merugikan masyarakat luas.

Daftar Pustaka

Alejandro, Jennifer. 2010. Journalism In The Age of Social Media. Reuteurs Institute  University of Oxford

Diakses            http://reutersinstitute.politics.ox.ac.uk/sites/default/files/research/files/Journalism-in- the-age-ofSocial-Media.pdf (4 Oktober 2017, 20:23)

Bungin, M Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi, Jakarta: Kencana

Kusumaningrat, Hikmat dan Kusumaningrat, Purnama. 2016. Jurnalistik: Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya

M. Briggs. 2007. "Journalism 2.0: How to survive and thrive: A digital literacy guide for the information age". J-Lab: University of Maryland,     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun