Mohon tunggu...
Ardel Bayu Adityo
Ardel Bayu Adityo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Mercu Buana | Jurusan Ilmu Komunikasi | Prodi Digital Communication | NIM 44521010069

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kemampuan memimpin diri dan upaya pencegahan korupsi dan etik menurut Taoisme

22 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 22 Desember 2024   18:05 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan 

Berbicara tentang aliran Taoisme sesungguhnya
dihadapkan pada pemikiran beberapa tokohnya. Tokoh Taoisme yang seringkali disebut oleh para pakar biasanya diawali dengan Yang Chu sebagai pemula, kemudian tokoh yang paling populer yakni Lao Tzu, disusul dengan Chuang Tzu, dan disebut pula Lieh Tzu (Fung Yu-Lan, 1952; Fung Yu-Lan, 1990; Lasiyo, 1982/1983).

Nama para tokoh itu juga sekaligus menjadi judul berbagai kitab yang ditulis oleh para tokoh bersangkutan, meski pun harus dicatat bahwa terdapat dugaan yang kuat dari sementara ahli bahwa di dalam salah satu kitab dengan judul nama tokoh, belum tentu merupakan karya tokoh itu sendiri. Sebagai contoh, kitab Lao Tzu yang populer dengan nama Tao Te Ching diperkirakan bukan hanya memuat pikiran Lao Tzu saja, melainkan juga memuat pikiran tokoh-tokoh lain seperti Yang Chu umpamanya, atau bahkan merupakan hasil interpretasi para murid Lao Tzu yang menyusunnya (Tan Tjoe Som, 1962:7-13; Creel, 1989:103-105). Di samping itu, masih terdapat kontroversi tentang nama para tokoh itu, misalnya kapan persisnya mereka hidup, dan bahkan terdapat cukup banyak keraguan bahwa seorang tokoh, Lao Tzu umpamanya, sungguh-sungguh merupakan tokoh historis ataukah sekedar nama rekaan para penganutnya. Keadaan sedemikian itu memang menantang untuk
diadakan penelitian historis secara lebih cermat. Namun demikian, dalam kepentingan karangan ini, kontroversi seperti itu tidak menjadi fokus perhatian utama. Biarlah hal itu menjadi lahan penelitian para sejarawan, baik sejarawan sastra maupun filsafat. Karangan ini lebih memfokuskan diri ke arah ajaran pokok Taoisme sebagaimana sering dikutip oleh para pengarang, baik yang berasal dari Yang Chu, Lao Tzu, maupun Chuang Tzu. Namun agaknya di antara para tokoh itu, Lao Tze-lah yang akan lebih banyak diacu, mengingat kitabnya (Tao Te Ching) merupakan salah satu kitab terpenting dalam paham Taoisme.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

1. Salah satu konsep utama dalam Taoisme adalah Wu Wei, yang berarti "tanpa paksaan" atau "bertindak sesuai dengan alur alami". Dalam konteks kepemimpinan, Wu Wei mengajarkan bahwa pemimpin yang bijaksana tidak memaksakan kehendaknya, tetapi membiarkan segala sesuatu berjalan sesuai dengan jalannya yang alami. Kepemimpinan dalam Taoisme lebih menekankan pada usaha untuk memandu orang dengan lembut, bukan mengontrol atau mendikte.

2. Kepemimpinan yang Tidak Terlihat (Invisible Leadership)
Taoisme mengajarkan bahwa pemimpin yang baik tidak harus selalu menonjol atau mendominasi. Konsep ini tercermin dalam ajaran yang sering ditemukan dalam Tao Te Ching, sebuah teks penting dalam Taoisme, yang mengatakan bahwa seorang pemimpin yang sejati adalah mereka yang bisa memimpin tanpa terlihat jelas. Pemimpin yang tidak mencolok adalah mereka yang mampu menciptakan kondisi di mana orang-orang bekerja dengan sendirinya, tanpa harus diperintah atau dipaksa.

3. Kepemimpinan Berdasarkan Keberadaan (Being, bukan Doing)
Taoisme menekankan pada keberadaan dan kehadiran pemimpin, bukan pada tindakan yang terburu-buru atau keputusan yang terburu-buru. Pemimpin yang baik dalam Taoisme adalah seseorang yang berdiri teguh dan tenang, yang memancarkan ketenangan dan kebijaksanaan melalui cara hidupnya, bukan hanya melalui tindakan atau keputusan.

4. Kepemimpinan yang Mengutamakan Keharmonisan
Keharmonisan adalah nilai inti dalam Taoisme, baik dalam hubungan antara manusia dengan alam maupun antar sesama. Dalam kepemimpinan Taoisme, pemimpin diharapkan untuk menciptakan keseimbangan dan harmoni dalam lingkungan mereka, baik di tingkat sosial, politik, maupun emosional. Mereka harus bisa mendengarkan, memahami, dan menghargai berbagai pendapat serta memperhatikan kebutuhan orang-orang yang mereka pimpin.

5. Kepemimpinan yang Sederhana dan Rendah Hati
Dalam Taoisme, seorang pemimpin yang baik seharusnya sederhana dan rendah hati. Pemimpin yang terperangkap dalam ambisi pribadi atau keinginan untuk memperoleh status atau pengakuan akan kehilangan hubungan mereka dengan Tao dan kehilangan kebijaksanaan sejati. Kepemimpinan yang baik bukanlah soal kemegahan atau kekayaan, tetapi tentang keheningan dalam tindakan, kejujuran dalam hati, dan keterbukaan dalam pikiran.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Dalam sistem Taoisme, konsep Te sebenarnya bukan hanya ontologik/metafisik sebagaimana telah digelar depan, melainkan sekaligus juga merupakan terminologi etis. Oleh karena itu, sebagaimana kutipan dari Fung Yu-Lan di depan tadi, di samping Te diartikan sebagai "daya", ia juga diartikan sebagai "kebajikan". Akan tetapi hendaklah dipahami, bahwa arti kebajikan di sini bukanlah merupakan lawan dari "keburukan". Kebajikan di sini lebih mengacu pada makna "kesederhanaan", "kewajaran",
"kepolosan", "kemurnian", "kealamiahan". Hidup yang bijak ialah Dengan demikian, hendaknya menempatkan kesederhanaan
prinsip hidupnya. Kesederhanan (p'u) merupakan gagasan penting dalam Taoisme.
Tao sendiri, oleh Lao Tzu, digambarkasn sebagai "Balok Yang Belum Terukir" (p'u): polos, lugu, sederhana. Tiada sesuatu pun yang lebih sederhana dibanding Tao. Te adalah sesuatu yang paling sederhana berikutnya, dan orang yang mengikuti Te-nya haruslah menjalani hidup sesederhana mungkin (Fung Yu-Lan, 1990:133).

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Lao Tzu juga menekankan agar manusia mempunyai sedikit pengetahuan saja. Pengetahuan itu sendiri merupakan objek keinginan. Dari lain pihak, pengetahuan itu juga memungkinkan manusia mengetahui lebih banyak tentang objek keinginan dan sekaligus menjadi sarana untuk mendapatkan objek keinginan itu.
Dengan demikian, pengetahuan merupakan majikan dan sekaligus budak keinginan. Bagaikan lingkaran setan, semakin banyak pengetahuan, semakin banyak keinginan; begitu pula, semakin banyak keinginan, kian banyak pula pengusahaan pengetahuan, sehingga orang tidak tahu lagi kapan merasa puas, dan di mana harus berhenti. (Fung Yu-Lan, 1990:134; Fung Yu-Lan, 1952:189).
"When intelligence and knowledge appeared, the Great Artifice (ta wei) began",
", demikian tulis Lao Tzu dalam Tao Te Ching bab 18.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Agar kehidupan tidak disesaki oleh ta wei, maka manusia hendaklah memahami dan menghayati wu wei. Istilah wu wei dapat diterjemahkan sebagai "tanpa bertindak" (Tan Tjoe Som,1962:27) atau "jangan berbuat apa pun" (Creel, 1989:112) atau "tidak mempunyai kegiatan", "tidak berbuat" (Fung Yu-Lan, 1990:132), juga diartikan "jangan mencampuri" (Yosef Umarhadi, 1993:79). Meski pun para penulis yang dikutip itu mengekspresikan nuansa kata yang bervariasi untuk memaknai wu wei, namun agaknya semua sepakat bahwa hendaknya dipahami bahwa dalam pengertiannya yang tepat wu wei bukanlah seruan untuk sama sekali pasif.
Wu wei sebenarnya menganjurkan manusia agar berbuat sesuai dengan kodratnya, secara wajar, alamiah, tanpa dibuat-buat, tanpa rekayasa, dan tanpa tujuan pemuasan keinginan. Konsekuensinya, kewajaran satu tindakan
ialah tidak melakukan "agresi" terhadap apa pun (Yosef Umarhadi, 1993:79). Segala-galanya dibiarkan "berlangsung" menurut apa
adanya; jangan "dicampuri"', jangan direkayasa, jangan dibuat-buat, jangan disiasati. Jadi, secara paradoksal dapat dikatakan: bertindak dengan tanpa tindakan. Kebijaksanaan wu wei sering ditamsilkan dengan contoh seperti air, kayu yang belum terukir, wanita, dan jabang bayi.
Dalam Tao Te Ching bab 78 dikatakan: "Tiada benda yang lebih lemah dari air. Tetapi tidak satu pun yang lebih kuat dari padanya dalam mengalahkan kekerasan. Untuk ini tidak ada yang bisa menggantikan. Bahwa kelemahan mengalahkan kekerasan. Dan kelembutan mengalahkan kekakuan. Semua orang tahu itu, tetapi tidak ada yang dapat melaksanakannya.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Kesimpulan dari pepatah tersebut adalah kontrol diri. Pengendalian diri adalah konsep yang sangat penting dalam filosofi Taoisme. Dalam Taoisme, pengendalian diri bukan hanya tentang menahan keinginan atau emosi, tetapi lebih kepada harmonisasi diri dengan aliran alami kehidupan, dan memahami kedamaian batin melalui kesadaran penuh terhadap diri sendiri dan dunia sekitar. Berikut adalah beberapa prinsip pengendalian diri menurut Taoisme:

1. Wu Wei (Tidak Bertindak Secara Berlebihan)
Salah satu ajaran kunci dalam Taoisme adalah Wu Wei, yang sering diterjemahkan sebagai "bertindak tanpa paksaan" atau "bertindak sesuai dengan alur alami". Wu Wei bukan berarti tidak melakukan apa-apa, tetapi lebih kepada menghindari tindakan yang terburu-buru atau berlebihan. Dalam pengendalian diri, ini berarti bahwa kita harus mengikuti jalannya kehidupan dengan tenang dan tidak memaksakan kehendak kita sendiri. Dengan demikian, kita bisa mengendalikan emosi dan reaksi kita terhadap situasi tanpa terjebak dalam stres atau ketegangan yang tidak perlu.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

2. Menjadi Saksi dari Pikiran dan Emosi (Kesadaran Diri)
Taoisme menekankan pentingnya kesadaran diri sebagai bagian dari pengendalian diri. Salah satu cara untuk mengendalikan diri adalah dengan menjadi saksi bagi pikiran dan emosi kita tanpa terlarut di dalamnya. Taoisme mengajarkan untuk mengamati pikiran dan perasaan yang muncul tanpa terlibat atau menilai mereka, sehingga kita tidak terbawa oleh reaksi impulsif. Dengan menjadi lebih sadar dan objektif terhadap keadaan internal kita, kita dapat mengelola perasaan dan keinginan dengan lebih baik.

3. Menghindari Ketergantungan pada Keinginan Duniawi
Taoisme mengajarkan untuk tidak terlalu terikat pada keinginan duniawi atau materi. Salah satu bentuk pengendalian diri adalah dengan mengurangi keinginan berlebihan terhadap hal-hal eksternal seperti kekayaan, status sosial, atau kekuasaan. Taoisme menganggap bahwa kebahagiaan sejati datang dari kedamaian batin dan kesederhanaan, bukan dari pencapaian materi atau kesenangan sesaat. Dengan mengendalikan keinginan kita, kita bisa lebih fokus pada apa yang benar-benar penting dalam hidup dan tidak terjebak dalam keinginan yang dapat menyebabkan penderitaan.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Dengan kelembutannya, air mengalahkan kekerasan; tetapi dengan kelembutannya pula, air memberi kehidupan. Simaklah Tao Te Ching bab 8 berikut ini: "Kecerdikan tertinggi adalah seperti air; air itu cerdik memberikan faedah kepada segala benda tanpa berebutan dengannya, berdiam pada tempat yang tak disukai orang, maka dengan demikian mendekati Tao. Cerdik memilih kediaman yang rendah, cerdik menenangkan hatinya, cerdik menjalankan peri kemanusiaan, cerdik berkata dengan
kejujuran, cerdik memerintah dengan aturan, cerdik menggunakan kemampuan dalam
cerdik menunggu waktu dalam gerakannya. Justru tidak berebutan, maka tidak membuat kesalahan" (Tan Tjoe Som, 1962:46). Watak air yang lemah-lembut dan menyukai tempat rendah ternyata memberi faedah dan tanpa meminta imbalan; tidak berebut, tidak saling bertabrakan kepentingan, senantiasa harmonis dengan irama kehidupan. Ia tidak berbuat atas satu target tertentu, pun pula tidak berkeinginan, tidak bertujuan, tidak berpamrih, ia hanya "mengalir" sesuai dengan watak alamiahnya, sesuai kodratnya. Dengan meneladani air, manusia diharapkan jauh dari pamrih kepentingan, keserakahan, keangkaramurkaan. Keserakahan dan keangkaramurkaan adalah bentuk kekerasan yang harus dihindari.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Kesimpulan 

Pemikiran Taoisme, yang berfokus pada pengendalian diri, keharmonisan dengan alam, dan kesadaran diri, dapat memberikan kontribusi penting dalam pencegahan korupsi, baik di Indonesia maupun di mana saja. Meskipun Taoisme bukanlah panduan langsung untuk kebijakan politik atau sistem hukum, prinsip-prinsipnya dapat diadaptasi untuk memperkuat moralitas individu dan kolektif dalam masyarakat. Berikut adalah beberapa alasan mengapa prinsip Taoisme bisa efektif dalam mencegah korupsi di Indonesia: 

1. Pengendalian Diri yang Kuat.
Taoisme menekankan pada pengendalian diri dan pengelolaan keinginan pribadi. Dalam konteks korupsi, pengendalian diri berarti menahan godaan untuk menyalahgunakan jabatan atau kekuasaan demi keuntungan pribadi. Pemimpin atau pejabat yang dapat mengelola keinginan untuk mengumpulkan kekayaan melalui cara-cara yang tidak sah akan lebih mampu bertindak dengan integritas. Jika pemimpin dan pejabat publik mampu mengendalikan diri dari godaan materi atau kekuasaan, mereka akan lebih mungkin untuk bekerja demi kepentingan rakyat dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

2. Mengurangi Ketergantungan pada Keinginan Duniawi .

Taoisme mengajarkan untuk tidak terikat pada kekayaan dan kekuasaan duniawi. Korupsi sering kali disebabkan oleh ambisi berlebihan untuk mendapatkan kekayaan atau status. Dengan memahami dan mempraktikkan prinsip kesederhanaan ini, seseorang akan lebih sedikit terpengaruh oleh dorongan untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain.

Implementasinya kita bisa mengedukasi masyarakat dan pejabat publik untuk lebih menghargai kesederhanaan dan fokus pada nilai-nilai moral dapat membantu menciptakan budaya yang lebih mengutamakan kejujuran dan integritas, daripada mengejar kekayaan pribadi melalui cara yang salah.

3.Kepemimpinan yang Tidak Memaksakan Kehendak (Wu Wei).
Prinsip Wu Wei mengajarkan agar pemimpin tidak memaksakan kehendaknya, melainkan membimbing orang dengan cara yang lembut dan bijaksana. Pemimpin yang mengadopsi prinsip ini akan lebih cenderung untuk mendengarkan rakyat dan tidak bertindak secara otoriter atau manipulatif. Dalam konteks pemerintahan, ini berarti menghindari penggunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, dan lebih mementingkan kesejahteraan umum.

4.Penerimaan dan Kesabaran
Taoisme mengajarkan untuk menerima kenyataan dan bersabar. Korupsi sering kali terjadi karena ketidaksabaran untuk memperoleh hasil secara cepat atau merasa tidak puas dengan posisi yang ada. Dengan mengadopsi kesabaran dan penerimaan dalam bekerja, individu atau pejabat akan lebih cenderung untuk menghindari tindakan yang terburu-buru dan merugikan orang lain.

Daftar Pustaka

Lasiyo, 1994, Filsafat Lao Tzu, Yayasan Pembina Fakultas
Filsafat UGM, Yogyakarta.

Pitoyo, Djoko. (2006). Manusia Bijaksana Menurut Taoisme. Jurnal Filsafat 16 (3), Pp. 251-276.

Riyani, Nidya Ulfa. (2022). Konsep Sikap Bijaksana Sebagai Bentuk Pengendalian Emosi Dalam Perspektif Taoisme, Jurnal Riset Agama 2 (3), Pp.122-137.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun