Lebaran usai, saatnya kembali ke aktifitas biasa. Bagi keluarga yang menggunakan jasa asisten rumah tangga (ART), satu kekhawatiran biasanya, apakah ART mereka akan kembali. Ya, lebaran seakan menjadi ujian seberapa harmonis hubungan antara majikan dan ART nya. Bagi keluarga yang tidak cocok dengan ARTnya, lebaran bisa menjadi ajang terminasi. Ucapan, “nanti gak usah balik dulu ya”, cukup sebagai tanda bahwa sang ART sudah diberhentikan. Tidak adanya kontrak tertulis antara majikan dan ART membuat ikatan kerja lebih banyak ditentukan oleh ikatan emosional. Masih cocok dilanjutkan, kalau tidak diakhiri.
Banyak tulisan sudah membahas alasan ART tidak betah bekerja pada satu keluarga. Dan umumnya alasan alasan yang dikemukan sudah common. Bahkan satu acara kuis televisi sampai mempunyai pertanyaan tentang ini yaitu, “apa alasan ART tidak betah bekerja?”.
Dari 100 orang yang disurvey, jawaban yang muncul diantaranya; majikan galak, gaji kurang, pekerjaan yang terlalu banyak dan tidak ada waktu libur. Selain tentu saja ada faktor dari ART sendiri, yaitu menikah atau merawat orang tua.
Nah, saya pun melakukan survey kecil kecilan untuk mengetahui pandangan keluarga pengguna jasa ART. Hasilnya, saya menemukan banyak salah kaprah mengenai keberadaan ART.
Berikut 10 salah kaprah yang sering terjadi terkait pandangan majikan tentang ART.
1. ART bisa menerima perlakukan apa saja
Zaman sudah berubah, ART bukanlah budak atau pun tahanan. Mereka adalah orang yang memberikan pelayanan jasa. Untuk itu perlu mendapatkan perlakuan yang layak. Pemukulan, kata kata kasar dan segala bentuk kekerasan fisik maupun verbal tidak pantas diberikan kepada orang yang sudah komitmen untuk membantu kelancaran urusan rumah tangga.
2. ART harus bisa melakukan semua pekerjaan
Harus disadari oleh keluarga pengguna jasa, bahwa ART bukanlah manusia super. Ada diantara mereka yang pandai berkomunikasi dengan anak, namun tidak lincah untuk urusan pekerjaan rumah tangga lainnya. Sebaliknya, ada yang sigap, rajin, namun sering salah dalam berhubungan dengan anak.
Untuk itu, ada baiknya keluarga calon pengguna ART sudah tahu prioritas pekerjaan yang akan mereka percayakan kepada ART. Apakah untuk mengasuh anak karena orang tua bekerja, atau kah untuk membantu menyelesaikan pekerjaan sehari hari di rumah.
3. ART harusnya punya inisiatif
Pekerjaan ART sudah sangat banyak, jangan bebankan lagi mereka untuk memikirkan menu yang harus disiapkan, atau memperbaiki sesuatu yang rusak di rumah. Banyak majikan meninggalkan uang belanja dan selanjutnya membiarkan ART untuk berfikir sendiri menu yang harus disiapkan untuk makan malam. Tak jarang, majikan marah marah karena air minum galon atas gas habis, tetapi ART tidak membelinya.
Perlu diingat bahwa tidak semua ART mempunyai “keberanian” untuk meminta uang kepada majikannya untuk membeli kebutuhan rumah. Mungkin ia pernah punya pengalaman sebelumnya ketika ia minta uang untuk membeli kebutuhan rumah, ia balik dimarahi.
Karenanya penting bagi majikan untuk memastikan kapan harus membeli kebutuhan rumah tangga, atau pun menyediakan peralatan kerja yang mendukung.
4. ART harus bisa memasak enak
Siapa yang menentukan standar makanan enak di rumah?. Apakah ART sudah tahu seperti apa makanan yang dirasa enak oleh majikannya. Ya, masing masing orang punya selera. Apa yang dianggap enak oleh ART belum tentu enak di lidah majikan. Karenanya penting untuk memberi tahu ART seperti apa rasanya makanan enak. Kalau perlu, ART diajak mencicipi sebuah masakan ke restoran, kemudian belikan buku menunya.
Prinsipnya kalau ingin ART bisa memasak enak, latih dia. Kenalkan dengan rasa, dan kalau perlu kirim ke rumah orang tua untuk magang di dapurnya.
5. ART telah mendapatkan gaji yang standar
Banyak keluarga menganggap bahwa upah yang diberikan kepada ART sudah “melebihi” standar yang berlaku. Namun harus diingat, apakah upah itu gross atau net. Apakah ART masih harus membeli sendiri kebutuhan pribadinya, atau kah majikan membantunya dengan “bonus” seperti pembalut, sabun mandi, pulsa.
Tentu akan sangat membantu apabila pengeluaran pengeluaran ART selama ia berada di rumah majikan bisa minimal, sehingga ia mendapatkan dana yang lumayan untuk diberikan kepada keluarganya di kampung. Ingat, kebanyakan ART adalah tulang punggung keluarga. Mudah bagi mereka untuk tergoda dengan tawaran lain yang lebih besar. Dan biasanya sesama ART saling bercerita.
Tetapi dengan adanya bonus bonus kecil, dapat menjaga mereka godaan upah lebih besar, karena mereka tahu berapa besarnya uang yang bisa mereka kumpulkan diakhir bulan.
6. ART tidak mau nurut, dan selalu telat bila disuruh
Harus diperjelas sebenarnya dalam hal apa ART tidak mengikuti suruhan majikannya. Kalau sekedar jawaban, “nanti saya kerjakan”, atau “tunggu sebentar”, tidak lantas harus disebut suka melawan atau membantah. Pekerjaan ART itu tidak ada habisnya, kalau semua perintah harus SEGERA dan SEKARANG, tentu sulit bagi ART untuk melaksanakannya. ART selalu terlambat menyelesaikan pekerjaan
Hampir mirip dengan yang no 2, banyak majikan tidak bisa membuatkan prioritas untuk ART nya. Misal, pagi pagi ketika semua sibuk, majikan sebaiknya tidak memberikan pekerjaan yang mendadak untuk dikerjakan misalnya menyetrika baju yang akan digunakan ke kantor. Tentu saja pekerjaan ini akan bentrok, bilamana ada anggota keluarga lain yang minta dibuatkan sarapan.
Solusinya, aturlah sedemikian rupa jenis pekerjaan di rumah dalam kategori; rutin dan insidentil. Pekerjaan rumah tangga biasanya berulang. Satu selesai, yang lain akan menunggu. Maka memberikan sedikit keleluasaan kepada ART untuk melakukan pekerjaan dengan “cara mereka”, mungkin dapat mengurangi tekanan pekerjaan. Misal, pagi pagi, ART akan mengumpulkan semua pakaian kotor semua anggota keluarga, dan memasukkannya ke mesin cuci. Sambil menunggu anggota keluarga bersiap dengan jadwal masing-masing, ia menyiapkan sarapan.
Usai sarapan, semua peralatan makan ditumpuk di tempat cuci piring. Setelah semua anggota keluarga keluar rumah, ia bereskan kamar dan mengumpulkan semua yang harus dicuci hari itu. Kemudian, sambil membiarkan mesin cuci bekerja, ia membersihkan rumah, dan menyelesaikan mencuci piring.
Banyak ART yang nyaman bekerja dengan caranya sendiri. Ada baiknya majikan belajar memiliki prinsip, “yang penting pekerjaan beres”.
Cara lain adalah, anggota keluarga saling membantu “meringankan” kerja ART. Tidak ada salahnya setiap anggota keluarga belajar mencuci sendiri piring makannya setelah makan. Tidak butuh waktu lama. Juga pekerjaan membeli sayur, bisa dilakukan majikan sembari jalan pagi.
7. ART sering meninggalkan rumah
Bayangkan ART yang live in, tentulah waktunya 24 di rumah majikannya. Wajar kalau ia membutuhkan waktu untuk bersosialisasi. Daripada selalu meributkan ART yang keluar rumah mungkin lebih baik memberinya kesempatan untuk rehat sejenak dari urusan rumah. Mungkin libur diakhir pekan dapat memberi penyegaran pada ART. Ada keluarga yang malah membebaskan ART setelah ia pulang ke rumah, karena sang majikan ingin punya banyak waktu dengan anak setelah ditinggal seharian.
8. ART sering menonton TV
ART juga sama dengan kita, mereka membutuhkan hiburan. Kalau sepanjang hari di depan TV tentu tidak benar. Tapi kalau majikan mendapati ART nya menonton acara acara TV pada jam jam keluarga tidak ada salahnya. Toh semua orang sedang bersantai. Penting juga memberikan “kehangatan” keluarga kepada ART, karena mereka hidup di rumah yang sama. Bahkan kalau perlu ajaklah ART makan bersama, dengan menu yang sama.
9. Supaya tidak pergi, ART harus selalu diikat dengan hutang
Tidak mau kehilangan ART, beberapa keluarga ada yang menyiasatinya dengan membuat agar ART selalu mempunyai hutang pada majikan. Yang lain, malah menahan nahan upah. Tentu saja cara ini kurang bijak. ART yang sudah tidak betah bekerja, tentu saja bukan mitra yang ideal untuk membantu pekerjaan pekerjaan di rumah.
Sebagaimana halnya karyawan di suatu tempat kerja, godaan untuk keluar selalu ada. Namun lingkungan pekerjaan yang nyaman, kebebasan untuk berkreasi, biasanya mampu mengalahkan godaan semisal upah yang lebih besar.
10. ART tidak tahu berterima kasih
Sebagai ungkapan kecewa ditinggal pergi oleh ART, ada keluarga yang keceplosan mengatakan bahwa ART mereka “tidak tahu terima kasih”. Pandangan ini terlalu berlebihan. Untuk semua yang telah kita berikan kepada ART, bukankah sudah mereka “lunasi” dengan memberikan pengabdian selama ini. Ketika mereka memutuskan untuk tidak lagi bersama majikan, seharusnya disikapi sebagai sesuatu yang biasa dan wajar. Orang berubah pikiran dan masing masing punya rencana dengan hidupnya.
Lalu apa yang hendak disampaikan sebenarnya dengan tulisan ini?
Saya hanya ingin menegaskan bahwa tempatkanlah ART pada porsinya. Bahwa kehadiran mereka sifatnya hanya “membantu”. Hal hal yang bersifat pribadi dan merupakan sarana keintiman anggota keluarga, seperti masakan kesenangan, penyiapan pakaian kerja, tetaplah harus menjadi prioritas anggota keluarga.
Kewajiban kita sebagai majikan adalah memberikan lingkungan pekerjaan yang menyenangkan, ikatan persaudaraan dan perhatian. Selebihnya, biarkan ia bekerja.
Dan selalu siap dengan rencana cadangan bila ART tidak kembali ke rumah.
Arde Wisben.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H