Mohon tunggu...
Ardalena Romantika
Ardalena Romantika Mohon Tunggu... Penulis - Analyst

Vivamus moriendum est.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mempertanyakan Penggunaan Frasa "Potongan Tubuh" dalam Pemberitaan Korban Bencana

13 Januari 2021   15:32 Diperbarui: 13 Januari 2021   18:43 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Breaking News: Potongan Tubuh Korban Jatuhnya Pesawat XX Telah Ditemukan”

“Basarnas membawa 5 kantong potongan tubuh korban kecelakaan pesawat XX”

Judul-judul berita maupun deskripsi berita semacam itulah yang akhir-akhir ini menjadi “santapan” kita tiap kali membuka portal berita. Sebagian dari kita mungkin tak merasakan keanehan terhadap frasa “potongan tubuh” dalam berita yang menginformasikan mengenai kondisi korban bencana. Barangkali karena frasa ini sudah digunakan sejak dulu, dalam berbagai pemberitaan mengenai korban kecelakaan atau bencana. Sehingga kita mulai menganggap bahwa memang frasa inilah yang pas untuk ditulis dalam judul berita.

Masalahnya, apakah frasa "potongan tubuh" adalah frasa yang tepat untuk mendeskripsikan korban dalam berita?. Sedangkan frasa "potongan tubuh" sendiri menimbulkan bayangan di benak kita yang terkait dengan hal-hal bersifat gore, sadis, dan mengerikan seperti di film-film bergenre thriller dan horor yang menampilkan adegan pembunuhan dan mutilasi. 

Sadar atau tidak, penggunaan frasa “potongan tubuh” menimbulkan efek traumatis tersendiri bagi pembaca. Apabila kita peka, kita dapat merasakan suatu kengerian yang luar biasa. Apabila kita yang bukan keluarga korban merasakan demikian, bagaimana dengan perasaan para keluarga korban usai membaca berita yang beredar?. Meskipun sebenarnya frasa tersebut tidak salah untuk mendeskripsikan realita, namun apabila ada alternatif frasa lain yang lebih halus, bukankah lebih baik frasa tersebut diganti?.

Bisa dimengerti, bahwa media berlomba-lomba memberikan pemberitaan terbaru dengan judul yang “menggigit” untuk menarik pembaca. Kita perlu memberikan apreasiasi yang luar biasa kepada para jurnalis yang sudah bekerja keras demi mencari informasi terkini untuk dibagikan kepada masyarakat luas. Namun, terkadang ada oknum-oknum jurnalis yang kurang memperhatikan etika dalam jurnalistik. Setelah peristiwa banyaknya wartawan yang ngotot mewawancarai seorang bapak yang kehilangan istri dan 3 anaknya dalam kecelakaan pesawat Sriwijaya Air booming dan mendapat kecaman dari masyarakat, ada satu hal lagi yang kiranya dapat menjadi masukan bagi para jurnalis dalam menulis berita. Yakni pemilihan kata untuk judul pemberitaan korban bencana. 

Frasa “potongan tubuh” rasa-rasanya terlalu eksplisit dan mengarah ke hal-hal yang berbau gore. Para jurnalis sebaiknya mempertimbangkan bahwa frasa ini tidak ramah publik. Apalagi jika tujuan dari penggunaan frasa ini adalah untuk menggaet pembaca dan memberi efek bombastis saja. Pada peristiwa jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182, misalnya. Jatuhnya pesawat ini sendiri sudah merupakan suatu peristiwa yang mengejutkan dan menimbulkan trauma tersendiri baik bagi keluarga korban dan bagi masyarakat. Mereka yang belum pernah naik pesawat, menjadi semakin takut untuk naik pesawat. Mereka yang pernah mengalami kendala selama penerbangannya, menjadi teringat dan terguncang kembali. Apalagi jika tragedi ini dibumbui dengan judul berita yang sifatnya sangat eksplisit, seperti penyebutan “potongan tubuh korban”?.

Sebenarnya, penggunaan frasa “potongan tubuh” bukanlah sesuatu yang sangat salah, hanya saja konteksnya tidak tepat. Barangkali frasa ini digunakan untuk memberikan keterangan sejelas mungkin, sesuai dengan apa yang ditemukan di lapangan. Namun karena frasa ini diasosiakan terhadap korban dari suatu peristiwa yang sifatnya sangat traumatis, frasa ini jadi terlihat kurang tepat dan kurang pantas.

Nampaknya penggunaan kata “jenazah” lebih tepat dan pantas untuk peristiwa ini. Atas dasar kemanusiaan dan demi kondisi psikologis keluarga korban, bukankah lebih baik kondisi para korban tidak perlu dijelaskan secara detail kepada masyarakat luas?. Apakah kondisi fisik korban merupakan informasi krusial yang harus diketahui oleh selain anggota keluarganya?. Jika tidak, maka lebih baik mencari padanan kata lain yang lebih halus. Karena dari pemberitaan mengenai meledaknya pesawat dan penemuan bagian-bagian pesawat, masyarakat dapat menyimpulkan sendiri apa yang terjadi dengan para korban. Jadi nampaknya keadaan korban tak perlu diperjelas dengan frasa-frasa yang tidak ramah publik. Namun apabila memang ingin dan butuh untuk menunjukkan keterangan yang sangat spesifik, frasa “bagian tubuh” juga masih lebih nyaman dibaca daripada frasa “potongan tubuh”. Bukankah ketika kita mengajari anak-anak tentang pelajaran anatomi, kita menggunakan “bagian tubuh”?. Oleh karenanya, frasa “bagian tubuh” terasa lebih ramah dan nyaman karena tidak berkorelasi dengan hal-hal yang bersifat gore.

Press Release Aliansi Jurnalis Independen mengenai aspek etik dalam liputan dan pemberitaan kecelakaan Sriwijaya Air nampaknya perlu menjadi panduan bagi jurnalis tanah air dalam menulis pemberitaan mengenai korban tragedi bencana. Press release tersebut menyebutkan bahwa media sebaiknya lebih fokus menjalankan fungsi informatif dan kontrol sosial dengan menghindari hal-hal yang jauh relevansinya dari peristiwa tersebut, apalagi jika sampai memberi kesan tidak menghormati perasaan traumatik keluarga korban.

Kita semua tahu bahwa pemberitaan hasil jerih payah para jurnalis adalah sumber informasi yang paling mudah untuk membantu kita mengetahui perkembangan mengenai peristiwa ini.  Penggunaan kata-kata yang tidak ramah publik untuk memberitakan suatu bencana, jelas memberikan kesan tidak menghormati perasaan traumatik keluarga korban. Tak hanya informasi, ada rasa simpati, rasa sedih, rasa trauma, dan rasa takut yang bisa kita dapatkan setelah membaca atau menonton berita. Dalam peristiwa yang sudah sangat traumatis, meminimalkan trauma yang timbul tentu merupakan suatu kewajiban yang mulia, yang selayaknya menjadi prinsip para jurnalis dalam meramu suatu berita.

Mengutip kalimat seorang jurnalis Anne Godlasky dalam artikelnya yang berjudul “What Could Trauma-Informed Journalism Look Like?” barangkali dapat menjadi alasan mengapa pemilihan frasa yang ramah publik amat diperlukan dalam menulis suatu berita:

“Peristiwa traumatis secara inheren memiliki nilai jual sebagai berita, dan jurnalis tidak dapat membuat pembuat berita menjadi baik, dunia damai, atau publik bahagia. Tapi bisakah kita menutupi trauma, besar dan kecil, lebih baik? Bisakah orang tetap menjadi warga negara yang terinformasi tanpa merasa trauma atau mengalami kelelahan karena belas kasih? Saya belum tahu “bagaimana”, tapi jawabannya pasti 'Ya'.” 

Terlepas dari topik yang dibahas dalam tulisan ini, masyarakat amat berterima kasih atas jerih payah para jurnalis dalam menyajikan informasi-informasi aktual. Doa selalu kami panjatkan untuk para korban dan keluarga. Doa keselamatan juga selalu mengalir bagi segenap tim penyelamat, dokter, polri, dan semua pihak yang berpartisipasi dalam pencarian bagian pesawat dan korban tragedi ini. Semoga segalanya segera pulih. Semoga situasi negeri ini kembali membaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun