Mohon tunggu...
Ardalena Romantika
Ardalena Romantika Mohon Tunggu... Penulis - Analyst

Vivamus moriendum est.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Sosok "Kita" di Dunia Maya Berbeda dengan Kita di Dunia Nyata

11 Januari 2021   18:59 Diperbarui: 12 Januari 2021   06:29 1575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah anda mengenal seseorang yang sangat sering berkata kasar dan melakukan cyberbully di media sosial ternyata adalah seseorang yang amat pendiam di kehidupan nyata?. Atau mungkin seseorang yang amat bijak di media sosial ternyata adalah seorang yang sering melakukan tindakan kriminal?. Pernahkah anda membayangkan jika orang yang begitu ramah dan memiliki banyak teman di facebook ternyata adalah seseorang yang dikucilkan oleh lingkungannya?.

Kebanyakan diantara kita pasti pernah bertemu dengan orang-orang dengan kepribadian bertolak belakang antara apa yang dia tunjukkan di dunia maya, dengan sikapnya di kehidupan nyata. Atau mungkin kita sendirilah yang memiliki kepribadian berbeda?. Fenomena ini telah lama diteliti oleh para ilmuwan psikologi dan dikenal dengan sebutan "Online Disinhibition Effect".

John Suller, dalam jurnalnya yang berjudul "The Online Disinhibition Effect" menjelaskan bahwa online disinhibition effect merupakan keadaan ketika seseorang melakukan hal-hal di dunia maya yang biasanya tidak mereka lakukan ketika berinteraksi secara tatap muka. Dunia maya menyebabkan mereka merasa lebih terbuka dalam mengekspresikan dirinya sehingga seseorang menjadi kurang terkendali dan mencurahkan emosinya dengan mudah melalui media sosial.

Menurut Suller, ada 2 jenis online disinhibition effect, yakni benign disinhibition dan toxic disinhibition. Seseorang di media sosial bisa membagikan hal-hal yang sangat personal tentang dirinya. Selain itu, dia juga membagikan perasaan, emosi, dan harapan-harapannya. Seseorang bisa menjadi sangat baik dengan peduli kepada teman-teman medsosnya, padahal di kehidupan nyata dia bukanlah orang yang seperti itu. Inilah yang disebut benign disinhibition.

Namun seseorang juga bisa menjadi kasar, suka memberikan komentar kebencian, menyebarkan ancaman, bahkan mengakses situs-situs pornografi dan kejahatan yang tidak akan pernah mereka tunjukkan di dunia nyata. Fenomena ini disebut toxic disinhibition.

Berdasarkan teori tersebut, berikut ini beberapa uraian mengenai hal-hal yang menyebabkan kita mengalami online disinhibition effect :

1. Media Sosial Memungkinkan Kita Menjadi Sosok Lain

Tak banyak media sosial yang membutuhkan verifikasi data untuk memastikan bahwa akun yang kita buat benar-benar merepresentasikan diri kita. Media sosial seperti facebook, Instagram, dan twitter masih memungkinkan kita untuk membuat akun palsu atau berpura-pura menjadi orang lain. Bahkan muncul situs bernama secreto, sarahah, dan tellonym yang memungkinkan kita untuk memberikan komentar secara anonymous kepada seseorang. 

Seperti yang kita ketahui, ada banyak penyebab mengapa seseorang membuat akun alter (akun dengan identitas yang berbeda dari pemiliknya) atau berpura-pura menjadi orang lain. Misalnya saja, trend second account untuk stalking gebetan dan kebutuhan untuk membuat akun khusus guna berinteraksi dengan teman-teman terdekat atau mengarsipkan sesuatu yang ingin diketahui seorang diri.

Sebagian orang juga membuat akun alter sebagai bentuk pelarian dari realita kehidupannya atau sebagai sarana menuangkan minat dan hobi. Misalnya seseorang yang pemalu dan menutup diri dari kehidupan sosialnya karena suatu hal, menjadi memiliki banyak teman dengan berlindung di bawah nama "anonim". Selain itu, hobi dan minat dapat mendorong seseorang untuk membuat akun dengan menggunakan foto dan nama idolanya dengan tujuan untuk mendukung idolanya, misalnya dengan adanya akun-akun fanspage pribadi dan roleplayer.

Beberapa orang bahkan menjalani kehidupan yang menyakitkan karena dikucilkan oleh lingkungannya, sehingga hanya dengan akun alter di media sosial ia dapat berinteraksi dengan "teman". Contohnya dalam webtoon berjudul "Stalker", seseorang yang dikucilkan karena penampilannya, sehingga mencari teman dan bersosialisasi melalui media sosial. 

Meskipun webtoon ini bercerita dalam konteks tindakan stalking yang membuat merinding, tetapi dapat kita lihat, bagaimana fitur anonymous dapat membuat orang yang awalnya dikucilkan dari pergaulan menjadi punya beberapa teman mengobrol di dunia maya. Hal ini tentu bisa menjadi support system tersendiri bagi orang tersebut dalam menjalani hidup.

Menggunakan identitas alter atau embel-embel anonymous tentunya masih merupakan hal yang positif apabila konten-konten yang disajikan masih dapat dipertanggungjawabkan, dan dengan adanya identitas tersebut, seseorang yang belum mampu bersosialisasi dengan baik di dunia nyata bisa memiliki teman mengobrol di media sosial. Namun sayangnya, banyak yang menggunakan identitas alternya untuk melancarkan aksi-aksi negatif seperti cyberbullying.

Menjamurnya komentar buruk yang ditinggalkan oleh akun alter menjadi keluhan tersendiri bagi para public figure atau tokoh penting yang setiap harinya dibanjiri komentar, baik di kolom komentar Instagram, twitter, maupun facebook. 

Bahkan ketika seseorang memberikan konten positif, selalu saja ada orang yang memandang sebagai sesuatu yang kurang menyenangkan sehingga memicu adanya komentar kebencian atau cyberbullying. Itu artinya, tidak perlu memberikan suatu konten negatif untuk mendapatkan reaksi negatif dari warganet, karena fitur anonymous maupun peluang-peluang adanya akun palsu selalu memfasilitasi orang lain untuk memberikan komentar buruk dengan jalan menjadi "sosok" berbeda.

2. Media Sosial Menjadi Sarana Mengeluarkan Uneg-Uneg dan Unjuk Diri

Pernahkah anda memendam sesuatu yang tidak ingin diketahui orang rumah namun anda dengan mudah dapat mengungkapkan melalui status facebook?. Bila anda adalah orang yang tertutup di dunia nyata, biasanya anda akan menjadi lebih terbuka di dunia maya. Hal ini karena ada banyak sisi lain dari diri kita yang tidak ingin kita tunjukkan pada orang-orang terdekat. Akhirnya setelah kisah kita dipoles sana-sini, kita mempercayakan orang-orang asing untuk membaca cerita kita.

Media sosial juga memberikan kenyamanan berupa kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk mengutarakan pendapatnya. Di dunia nyata, banyak faktor eksternal yang membuat seseorang tidak bisa mengutarakan pendapatnya, misalnya saja, karena gender dan perbedaan status sosial. 

Akibatnya kita selalu ingin menunjukkan pada orang-orang di dunia maya seperti apa diri kita melalui argumen-argumen yang kita berikan. Selain itu, tidak semua orang memiliki kemampuan berbicara dan berargumen yang baik di dunia nyata, sehingga media sosial menjadi tempat yang pas untuk berbagi pemikiran dan menuangkan argumen tanpa tergagap-gagap karena canggung atau grogi.

Di media sosial, tanpa kita sadari, kita menafsirkan karakter seseorang melalui susunan kata-kata dalam postingan, komentar, maupun chatnya. Seseorang yang membalas komentar dengan singkat seringkali dipandang sebagai orang yang cuek. Sedangkan mereka yang sering bertanya tentang kabar, keadaan, dan memberikan perhatian mengenai banyak hal tentu akan dipandang sebagai orang yang ramah dan baik hati. 

Dengan adanya suatu imajinasi mengenai karakter orang inilah kita sering menulis banyak hal di media sosial untuk menunjukkan "Ini lho saya, saya orangnya ramah dan perhatian", "saya orangnya cuek tapi baik kok", dan sebagainya.

Selain itu, kita seringkali tidak melakukan atau mengungkapkan sesuatu karena takut akan reaksi yang ditunjukkan orang-orang. Ekspresi seperti mengerutkan dahi, ekspresi bosan, marah, kesal, bahkan nada kemarahan terkadang membuat kita jadi menutup rapat-rapat apa yang seharusnya kita tunjukkan atau katakan. Melalui media sosial, kekhawatiran itu lenyap, karena kita tidak bertemu secara fisik dengan mereka. Oleh karena itu, kita bisa sekadar mengeluarkan uneg-uneg atau bahkan menunjukkan siapa kita sebenarnya, -yang mungkin tidak akan kita lakukan di dunia nyata-.

3. Mudahnya "Melarikan Diri" Usai Menulis Sesuatu

Salah satu isu yang menunjukkan betapa toxicnya iklim media sosial saat ini adalah komentar-komentar jahat yang menjamur. Banyak orang mengetik apapun yang ingin mereka ketik karena merasa bahwa tidak ada norma atau hukum yang akan menjeratnya. 

Memang, sudah ada UU ITE yang mengontrol jari kita dalam bermedsos ria, tetapi UU tersebut hanya menjerat hal-hal yang sifatnya serius, seperti pencemaran nama baik, maupun ujaran kebencian dan hasutan, yang biasanya hanya menyangkut seorang tokoh terkenal. Sedangkan untuk masyarakat biasa, komentar-komentar yang menyakiti hati, seperti "Jelek", "Gendut", "Tolol", akan dianggap sekadar angin lalu.

Hampir semua dari kita mengenal Kekeyi, gadis yang viral karena kemampuan make up nya yang sangat bagus itu sering mendapat komentar buruk dari netizen. Banyak dijumpai akun-akun alter yang memberikan komentar-komentar bersifat body shaming. Hal ini menunjukkan adanya online disinhibition effect, karena orang-orang tersebut belum tentu akan memberikan komentar negatif secara langsung.

Meskipun ada pepatah modern yang mengatakan "Sosial mediamu mencerminkan siapa kamu", namun hal itu tidak berlaku bagi akun alter. Beberapa orang yang berlindung di dalam akun alter merasa bebas mengejek penampilan orang lain melalui kolom komentar karena mereka merasa aman dan mudah untuk melarikan diri, baik dari jerat moralitas maupun hukum. 

Jika berhadapan langsung di dunia nyata, belum tentu mereka berani memberikan komentar buruk, karena khawatir akan mendapat penghakiman moral dan dicecar oleh orang lain. Sedangkan di media sosial, apalagi akun alter, kita tidak perlu pusing-pusing memikirkan persoalan moral dan cecaran orang, karena dengan sekali klik "log out" semuanya dianggap selesai. Itu artinya, mereka menyadari adanya norma dan hukum, namun mereka tidak dapat mengontrol perilaku mereka ketika mendapat suatu keleluasaan.

Kita seringkali lupa, bahwa apa yang kita tulis akan memberikan kesan bagi orang lain, entah itu baik atau buruk. Meskipun kita sudah menghapusnya, suatu komentar atau postingan negatif yang kita tulis, akan terus diingat oleh orang yang merasa tersakiti. Bahkan pada tahap serius, apapun yang kita posting di media sosial akan bisa dikenai jerat hukum. Kita bisa menggambarkan hal ini dengan meminjam kutipan dari seorang artis Korea yang sering mendapatkan komentar buruk karena adanya fenomena toxic masculinity di masyarakat kita

"Kata-kata setiap orang, baik online maupun offline, memiliki bobot. Sebelum anda memposting sesuatu, sadarilah bahwa anda harus bertanggung jawab atas apa yang anda tulis. Jangan pernah berpikir "Oh apa yang saya katakan tidak berarti apa-apa", karena kata-kata anda akan memberikan efek dan anda akan bertanggung jawab atas itu" -Park Jaehyung Day6 (dengan terjemahan)

Oleh karenanya, mari kita tumbuhkan kesadaran untuk selalu meninggalkan postingan dan komentar positif di sosial media. Karena semua yang kita tulis mengandung konsekuensi, baik berupa jejak digital maupun konsekuensi hukum. Pastikan untuk selalu mengingat bahwa norma-norma sosial seperti menghormati orang lain, menghindari kata-kata kasar, dan tidak menghina orang lain juga ada di lingkungan media sosial, ya!.

Nah itu dia beberapa faktor yang membuat kita menjadi sosok yang berbeda ketika berada di media sosial. Semoga kita dapat memanfaatkan media sosial dan segala kebebasannya secara baik dan bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun