Beberapa orang bahkan menjalani kehidupan yang menyakitkan karena dikucilkan oleh lingkungannya, sehingga hanya dengan akun alter di media sosial ia dapat berinteraksi dengan "teman". Contohnya dalam webtoon berjudul "Stalker", seseorang yang dikucilkan karena penampilannya, sehingga mencari teman dan bersosialisasi melalui media sosial.Â
Meskipun webtoon ini bercerita dalam konteks tindakan stalking yang membuat merinding, tetapi dapat kita lihat, bagaimana fitur anonymous dapat membuat orang yang awalnya dikucilkan dari pergaulan menjadi punya beberapa teman mengobrol di dunia maya. Hal ini tentu bisa menjadi support system tersendiri bagi orang tersebut dalam menjalani hidup.
Menggunakan identitas alter atau embel-embel anonymous tentunya masih merupakan hal yang positif apabila konten-konten yang disajikan masih dapat dipertanggungjawabkan, dan dengan adanya identitas tersebut, seseorang yang belum mampu bersosialisasi dengan baik di dunia nyata bisa memiliki teman mengobrol di media sosial. Namun sayangnya, banyak yang menggunakan identitas alternya untuk melancarkan aksi-aksi negatif seperti cyberbullying.
Menjamurnya komentar buruk yang ditinggalkan oleh akun alter menjadi keluhan tersendiri bagi para public figure atau tokoh penting yang setiap harinya dibanjiri komentar, baik di kolom komentar Instagram, twitter, maupun facebook.Â
Bahkan ketika seseorang memberikan konten positif, selalu saja ada orang yang memandang sebagai sesuatu yang kurang menyenangkan sehingga memicu adanya komentar kebencian atau cyberbullying. Itu artinya, tidak perlu memberikan suatu konten negatif untuk mendapatkan reaksi negatif dari warganet, karena fitur anonymous maupun peluang-peluang adanya akun palsu selalu memfasilitasi orang lain untuk memberikan komentar buruk dengan jalan menjadi "sosok" berbeda.
2. Media Sosial Menjadi Sarana Mengeluarkan Uneg-Uneg dan Unjuk Diri
Pernahkah anda memendam sesuatu yang tidak ingin diketahui orang rumah namun anda dengan mudah dapat mengungkapkan melalui status facebook?. Bila anda adalah orang yang tertutup di dunia nyata, biasanya anda akan menjadi lebih terbuka di dunia maya. Hal ini karena ada banyak sisi lain dari diri kita yang tidak ingin kita tunjukkan pada orang-orang terdekat. Akhirnya setelah kisah kita dipoles sana-sini, kita mempercayakan orang-orang asing untuk membaca cerita kita.
Media sosial juga memberikan kenyamanan berupa kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk mengutarakan pendapatnya. Di dunia nyata, banyak faktor eksternal yang membuat seseorang tidak bisa mengutarakan pendapatnya, misalnya saja, karena gender dan perbedaan status sosial.Â
Akibatnya kita selalu ingin menunjukkan pada orang-orang di dunia maya seperti apa diri kita melalui argumen-argumen yang kita berikan. Selain itu, tidak semua orang memiliki kemampuan berbicara dan berargumen yang baik di dunia nyata, sehingga media sosial menjadi tempat yang pas untuk berbagi pemikiran dan menuangkan argumen tanpa tergagap-gagap karena canggung atau grogi.
Di media sosial, tanpa kita sadari, kita menafsirkan karakter seseorang melalui susunan kata-kata dalam postingan, komentar, maupun chatnya. Seseorang yang membalas komentar dengan singkat seringkali dipandang sebagai orang yang cuek. Sedangkan mereka yang sering bertanya tentang kabar, keadaan, dan memberikan perhatian mengenai banyak hal tentu akan dipandang sebagai orang yang ramah dan baik hati.Â
Dengan adanya suatu imajinasi mengenai karakter orang inilah kita sering menulis banyak hal di media sosial untuk menunjukkan "Ini lho saya, saya orangnya ramah dan perhatian", "saya orangnya cuek tapi baik kok", dan sebagainya.