Masyarakat desa terkenal akan solidaritasnya yang tinggi. Hal ini disebabkan rasa persaudaraan mereka yang masih sangat erat. Mereka beranggapan bahwa tetangga di sekitarnya adalah saudara yang harus selalu dibantu ketika membutuhkan uluran tangan.Â
Kesadaran ini mendasari lahirnya tradisi rewang dan sinoman yang senantiasa lestari sejak zaman nenek moyang, ketika segalanya masih serba homogen, hingga saat ini ketika desa sudah bergerak menuju heterogenitas.Â
Rewang diartikan sebagai pengerahan bantuan baik berupa tenaga maupun materiil untuk membantu kerabat atau tetangga yang sedang punya gawe (pekerjaan), dalam konteks ini dimaknai sebagai hajatan.Â
Sedangkan sinoman berasal dari kata "nom" yang berarti muda, yang kemudian dalam praktiknya dimaknai sebagai sekelompok muda-mudi yang berperan sebagai pelayan tamu dalam sebuah hajatan.Â
Istilah lain sinoman adalah pramuladi, yang memiliki tugas pokok melayani dan menghidangkan minuman untuk para tamu. Dalam tradisi masyarakat desa di suku Jawa, kedua kegiatan ini paling sering ditemui secara bersamaan dalam acara pernikahan dan pesta supitan (sunatan).
Ungkapan "Ora srawung mantenanmu suwung" memiliki makna apabila anda tidak mau bersosialisasi atau berinteraksi, maka siap-siap saja pernikahan anda akan sepi.Â
Sosialisasi dalam ungkapan ini diartikan sebagai turut sertanya seseorang dalam kegiatan bermasyarakat, seperti rewang dan sinoman. Sedangkan "sepi" disini bukan berarti tidak ada tamu yang datang, namun tidak ada tetangga yang akan membantu dalam menyiapkan segala ubarampe (keperluan), termasuk sajian untuk hajatan.Â
"Mantenan", atau dalam bahasa Jawa disebut juga dengan istilah "manten" dan  "rabi" yang berarti pernikahan, juga bisa dipandang dalam arti luas, meliputi pesta hajatan lain. Jika tidak bersosialisasi, siap-siap saja, tidak hanya manten, namun hajatan anda yang lain juga akan sepi.
Dalam masyarakat desa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, meskipun seseorang berasal dari keluarga yang kaya raya maupun terpandang, jarang dijumpai penggunaan jasa wedding organizer untuk pesta pernikahan yang diselenggarakannya. Si penyelenggara hajat mantenan (pernikahan) biasanya akan membentuk panitia khusus yang terdiri dari tetangga dan muda-mudi sekitar.Â
Mereka akan bekerja menurut bagiannya masing-masing dalam rentang waktu tertentu sampai hajatan terselenggara. Namun apabila tidak ingin membentuk panitia, pemilik hajat bisa meminta tolong kepada tetangga-tetangganya untuk membantunya dalam menyiapkan hajatan.Â
Selain itu, biasanya pemuda pemudi karang taruna akan berinisiatif sendiri untuk nyinom di hajatan tetangga mereka sebagai bagian dari agenda organisasi. Kegiatan sinoman dilakukan secara sukarela, namun pemilik hajat biasanya akan memberikan imbalan berupa rokok atau uang transport.
Dengan adanya tradisi rewang dan sinoman ini, meskipun tanpa wedding organizer, suatu acara pernikahan dapat terselenggara dengan lancar dan meriah. Selain itu, banyak biaya yang dapat ditekan, karena kegiatan ini dilakukan secara sukarela. Keuntungan pernikahan yang diselenggarakan dengan tradisi rewang dibanding dengan menggunakan wedding organizer adalah pemilik hajat dapat menyajikan hidangan sesuai dengan kebutuhan para tamu.Â
Hal ini karena dalam pernikahan di desa, sering terjadi perubahan jumlah tamu yang tentunya tidak efektif apabila mengandalkan sistem paket dalam wedding organizer. Tradisi rewang dapat meringankan beban biaya dan tenaga karena para perewang akan memasak secara sukarela, dan beberapa diantaranya bahkan membawakan bahan makanan berupa beras, mie, ayam, dan telur untuk meringankan pengeluaran si penyelenggara hajatan.Â
Tak hanya itu, para perewang juga bisa membantu menyiapkan kebutuhan-kebutuhan khusus lainnya, seperti sesajen untuk tanda penghormatan leluhur, peralatan dapur, hingga menyiapkan berbagai macam seserahan. Semua itu dilakukan secara sukarela dengan didasari kesadaran bahwa orang berkerabat dan bertetangga harus saling tolong-menolong.
Jika masyarakat desa berpandangan bahwa mereka harus membantu kerabat yang sedang memiliki hajat, lantas mengapa ungkapan "Ora srawung mantenanmu suwung" ini bisa muncul?. Apabila diteliti dengan perspektif antropologi, fenomena ini erat kaitannya dengan teori resiprositas, yang oleh Sjafri Sairin dimaknai sebagai pertukaran timbal balik antara individu atau antarkelompok.Â
Dalton (dalam Sairin, 2002: 42-43) menjabarkan bahwa resiprositas merupakan suatu pola pertukaran sosial ekonomi, yang mana dalam pertukaran tersebut, individu memberikan dan menerima pemberian barang atau jasa karena adanya kewajiban sosial. Dalam tradisi hajatan di masyarakat desa, objek pertukaran yang dimaksud oleh teori tersebut bisa berupa tenaga yang diberikan dalam kegiatan rewang, sumbangan berupa uang dan bahan-bahan pokok, maupun keikutsertaan dalam kegiatan sinoman.
Sebenarnya, seseorang melakukan rewang dan sinoman tidak sekadar didasari niat membantu, namun secara laten mereka mengharapkan akan adanya suatu timbal balik dari bantuannya itu. Sederhananya, seseorang akan rajin rewang di setiap hajatan tetangga karena berharap mendapatkan banyak perewang untuk membantunya ketika ia memiliki hajat.Â
Meskipun sebenarnya tidak ada hukum khusus yang mengatur mengenai timbal balik ini, dalam artian anda bisa saja tidak ikut rewang ke tempat hajatan orang yang pernah rewang di hajatan anda, namun moralitas dan tradisi masyarakat membebankan timbal balik ini seolah menjadi suatu kewajiban.
Itulah sebabnya ungkapan "Ora srawung mantenanmu suwung" menjadi momok tersendiri. Ungkapan yang bisa saja dilontarkan sebagai candaan itu membuat individu di desa berusaha meluangkan waktunya untuk turut serta dalam kegiatan rewang dan sinoman agar hajatannya nanti tidak sepi. Sangat unik, bukan?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H