Dalam penerapan sistim bagi hasil model musyarakah ini, secara teknik perbankan ada empat hal yang perlu diperhatikan. Keempat hal itu, seperti ditulis Heri Sudarsono (2003: 53) menyangkut: Pertama, bentuk umum dari usaha bagi hasil musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama.
Kedua, termasuk dalam golongan musyarakah adalah bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
Ketiga, secara spesifikasi bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepemilikan (property), peralatan (equipment) atau intangible asset, seperti hak paten atau goodwill, kepercayaan reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Keempat, dengan merangkum seluruh kombinasi dan bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.
Yang jelas, secara umum sistim musyarakah ini semua modal dijadikan satu menjadi modal proyek dan dikelola secara bersama-sama. Artinya setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
Berkait dengan pemilik modal yang menjalankan proyek musyarakah, Heri Sudarsono berpesan ia tidak boleh melakukan tindakan, seperti: (1) Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi. (2) Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal. (3) Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaannya atau digantikan oleh pihak lain.
(4) Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila; menarik diri dari perserikatan, meninggal dunia dan menjadi tidak cakap hukum. (5) Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama, keuntungan dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal. (6) Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
Adapun penerapan model musyarakah ini dapat dicontohkan seperti berikut. Pak Ali, seorang pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek. Untuk merealisasikan usaha itu dibutuhkan modal Rp 150 juta. Ternyata, setelah dihitung, Pak Ali hanya memiliki Rp 75 juta atau 50 persen dari modal yang diperlukan. Dan Pak Ali kemudian datang ke sebuah bank syariah untuk mengajukan pembiayaan dengan model musyarakah.
Dengan demikian, kebutuhan modal sejumlah Rp 150 juta dipenuhi 50 persen dari nasabah dan 50 persen dari bank. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati bank.
Apabila keuntungan yang diperoleh dari proyek bersangkutan adalah Rp 25 juta dan nisbah atau porsi bagi hasil yang disepakati ialah 50:50, maka pada akhir proyek Pak Ali harus mengembalikan dana sebesar Rp 75 juta (dana pinjaman modal) ditambah Rp 12,5 juta (50 persen dari keuntungan untuk bank).
Penerapan seperti di atas, tentu sesuai dengan syariah. Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa [4]: 12, yang artinya: “….Maka mereka berserikat pada sepertiga….” Dalam ayat lain disebutkan: “….Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh…..” (QS. Shaad [38]: 24).
Sementara itu, dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya’”. (HR. Abu Dawud).