Secara teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Menurut Nejatullah Siddiqi (1996: 15-18), keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Dalam penerapan sistim bagi hasil model mudharabah ini, secara teknik perbankan ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Setidaknya menurut Heri Sudarsono (2003: 55), ada lima teknik perbankan yaitu: Pertama, jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.
Kedua, hasil pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara: perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
Ketiga, hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang telah disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpanan pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan, dan penyalagunaan dana.
Keempat, bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Kelima, jika nasabah cidera janji dengan sengaja, misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban dapat dikenakan sanksi administrasi.
Sementara itu, penerapan model mudharabah ini dapat dicontohkan sebagai berikut: seorang pedagang yang memerlukan modal berdagang dapat mengajukan permohonan pembiayaan bagi hasil seperti mudharabah. Bank bertindak sebagai shahibul maal dan nasabah selaku mudharib. Caranya, dihitung dahulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan. Misalnya, dari modal Rp 20 juta diperoleh pendapatan Rp 5 juta per bulan. Dari pendapatan ini harus disisihkan dahulu untuk tabungan pengembalian modal, misalnya Rp 2 juta. Selebihnya, dibagi antara bank dan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60 persen untuk nasabah dan 40 persen untuk bank.
Penerapan demikian, tentu sesuai syariah. Hal ini seperti diamanatkan Allah dalam QS. Al-Muzzamil [73]: 20, “….Dan jika dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT…..” atau QS. Al-Jumuah [62]: 10, “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT…..”
Sementara itu, dalam hadis riwayat Thabrani disebutkan diriwayatkan dari Abbas bahwa Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw dan Rasulullah pun membolehkannya.
Dari Shalih bin Suaib ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur adukan dengan tepung untuk keperluan rumah bukan dijual.” (HR. Ibnu Majah).
Adapun musyarakah adalah kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan (Saad Al-Harran: 1995). Musyarakah ini dikenal juga dengan istilah sharikah atau syirkah.
Dalam catatan Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI (2001), musyarakah ada dua jenis, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan atau kondisi lainnya yang berakibat pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Sedangkan musyarakah akad tercipta dengan kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah dan berbagi keuntungan maupun kerugian.