Pada sisi lain, prinsip dasar bank syariah, dalam segala aktivitasnya (baca: produk-produk yang dikeluarkan) harus mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas Syariah. Hal ini, tidak kita temukan dalam konsep bank konvensional. Batasan lainnya, pada bank syariah, pembiayaan yang diberikan kepada nasabah juga hanya pendapatan yang diperoleh dari pembiayaan yang disalurkan kepada nasabah debitur.
Berkait dengan kebutuhan permodalan dan memenuhi kebutuhan pembiayaan, bank syariah ini memiliki tiga produk yang dapat menyuplai kebutuhannya tersebut, yaitu produk penyaluran dana, produk penghimpunan dana, dan produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya. Adapun dalam hal penyaluran dana, bank syariah menggunakan prinsip berupa jual beli, bagi hasil, pembiayaan, pinjaman dan investasi khusus.
Dalam penyaluran dana pada nasabah, seperti ditulis Heri Sudarsono yang mengutip dari Biro Perbankan Syariah (2001:1), secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi kedalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu: Pertama, transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
Kedua, transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan prinsip sewa. Dan ketiga, transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan banyak ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk prinsip jual beli ini meliputi murabahah, salam, dan istishna. Adapun produk prinsip sewa adalah ijarah.
Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditetapkan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. Produk bagi hasil ini meliputi musyarakah dan mudharabah.
Penerapan bagi hasil
Dalam usaha penerapan pola bagi hasil yang sesuai syariah, tentu kita tidak terlepas dari fungsi dan prinsip operasional bank syariah itu sendiri. Ada tujuh hal yang termasuk dalam fungsi dan prinsip operasional bank syariah, yaitu intermediary unit, konsep bagi hasil (omset/penjualan, keuntungan), produk syariah, uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas, transaksi harus transparan (lalu keikhlasan dan kejujuran), etik bisnis syariah dilarang melakukan kegiatan penipuan (lalu kecurangan, mark-up, suap, maisir, gharar, haram dan riba), perilaku sumber daya manusia wajib menteladani sifat nabi (amanah, tabligh, fatonah,dan sidiq) [Kodar S; 2003].
Dengan demikian, penerapan bagi hasil ini sangat berbeda dengan sistem bunga pada bank konvensional. Perbedaan itu terlihat dari beberapa aspek. Pada sistem bagi hasil, penghasilannya dihitung dari margin (keuntungan); nisbah tetap sesuai akad; jumlah nominal berubah sesuai kondisi usaha; dan tidak ada keraguan dalam pelaksanaannya.
Sedangkan pada sistem bunga, penghasilan dihitung dari pinjaman modal (pokok); prosentase bunga berubah sesuai kondisi pasar; jumlah nominal tetap sesuai bunga; dan diragukan oleh seluruh agama dalam pelaksanaannya. Adapun pola pembiayaan bank syariah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil terdiri dari al-Mudharabah dan al-Musyarakah.
Menurut Sayyid Sabiq (1987: 31), mudharabah berasal dari kata adhdharbu fil ardhi, yaitu berpergian untuk urusan dagang. Firman Allah dalam surat 73 ayat 20, “…. mereka berpergian di muka bumi mencari karunia Allah….” Disebut juga qiradh yang berasal dari kata al qardhu yang berarti al qath’u (potongan), karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan.