Internet.
The internet.
I was addicted to the internet since like.. ever. Ketika pertama kali tahun 1998 mengenal internet, well ketika itu zaman mIRC, saya sering main ke rumah teman yang punya koneksi internet untuk chatting ga jelas di mIRC. Sebelum sampai pada akhirnya tahun 2005 saya berlangganan paket internet starone dari indosat, saya sering menghabiskan waktu di warnet / lab komputer kampus untuk sekedar ber-internet ria, mulai mIRC, yahoo messenger, cek email yang ga pernah ada yang ngirimin (selain spam), ikutan milis2 untuk menambah kenalan dan bersosialisasi dengan 'teman se-hobi', dan yang terakhir hits ketika itu, friendster, social media pertama yang saya punya. Internet seems like fun back then.Â
Then comes facebook.Â
Account facebook yang saya punya adalah akibat paksaan seorang mantan, haha. The early life of facebook also was fun, ketika itu tahun 2007 saya menetap di kampus yang punya koneksi internet 24 jam, dan hampir setiap hari selama 2 tahun saya kuliah disana, lebih dari 12 jam saya habiskan di depan laptop. Some says saya autis atau introvert, atau ga punya kehidupan, but well, I'm not. Web-surfing, blogging, chatting, dan apa saja yang saya lakukan ketika ber-internet merupakan sebuah hobi. Saya punya kehidupan lain selain menghabiskan waktu untuk hobi tersebut, saya main futsal, hang out bersama teman2, jalan2 ga jelas ke mall atau karaoke klo bosen di asrama, nobar bola di warung mamak, dsb. Ah iya, kembali ke facebook, ketika itu facebook ramai dengan saling nulis di wall, balas2an komen biar terlihat exist, main game seperti pet society, farmville, dll. Sampai tahap ini, ketika itu mulai merasa annoyed dengan undangan2 game2 di fb. But on the bright side, pada era ini orang2 masih menganggap internet sebagai stranger, sehingga belum membagi rahasia pribadi ke ruang publik.
Then comes twitter.Â
Media sosial yang paling saya ga suka, entah kenapa, hahaha. Mungkin karena status fb saya rata2 merupakan quote atau tulisan lebih dari 160 karakter, jadi saya ga suka dengan twitter ini. Ini kira2 bersamaan dengan era awal smartphone tahun 2009. Blackberry yang di endorse artis2 mewabah di Jakarta dan lanjut ke kota2 besar lain. iPhone masih sangat exclusive karena well, kebanyakan orang2 masih rasional untuk tidak membeli barang overpriced, sementara android masih jadi anak bawang yang julukannya 'poor man's iphone'. Smartphone ini yang pada akhirnya mengubah perilaku orang2 dengan sangat drastis, orang2 mulai suka kepo/stalk account orang, dan orang2 mulai nyaman curhat/menulis hal2 pribadi di social media, entah mengapa orang2 sepertinya mulai tidak bisa membedakan space publik dan space pribadi.Â
Social media dipakai tempat nulis segala apa pun kegiatan yang dilakukan, segala perasaan apa pun yang sedang dirasakan saat itu. That was fine actually, lalu twitter berubah fungsi sebagai tempat mendapatkan berita ter-update karena semua orang menulis apa pun disana, ada bom di sebuah tempat, ga sampe 5 menit udah jadi trending topic, jadi seluruh dunia pasti tau soal itu, dan untuk hal sekecil apa pun di update, lagi nonton bola, ketika seorang pemain menjebol gawang lawan, langsung tweet "goool..", tanpa sadar diantara followernya banyak wanita yang ga tau dia lagi ngomongin siapa dan pertandingan apa. Hal2 seperti ini yang akhirnya membuat orang yang ga ngerti jadi kepo, "nih orang lagi ngomongin apa sih", lalu karena di timeline-nya banyak berseliweran update yang mirip2 "oh, ternyata pertandingan ini".Â
Dari awalnya ga ngerti bola sama sekali, akhirnya kepo, akhirnya berusaha ikut nimbrung, googling sana-sini, akhirnya ikut komen. Hal2 semacam ini cikal bakal terjadinya civil war di hampir semua pop culture saat ini. Semua orang berlomba2 untuk paling cepat update peristiwa yang kekinian, dapat berita apa langsung share, urusan hoax atau bukan ga peduli, yang penting share dulu biar jadi yang paling pertama. Mendapatkan kepuasan pribadi klo menjadi orang yang pertama share, dan kemudian orang2 me-retweet info dari dia. Thus, twitter evolved from being a peer-to-peer messaging system to more of a global broadcasting medium. Sometimes they know that not every statement is for everybody, but the retweet button allows them to (reach) people well beyond their own crowd or audience.
Skip.. skip.. skip..
Sampai pilpres 2014. Pada era ini, hampir semua orang modern punya smartphone dengan akses internet, membuat pemilik smartphone ini merasa pintar, feels like the world is in their hand. Ada yang nanya sesuatu, ga ngerti pertanyaannya, googling dikit, jawab dengan pede biar keliatan pintar. Ada yang bahas sesuatu, ga ngerti topiknya, googling dikit, ikut nimbrung kasih komentar biar terlihat tau semua hal kekinian. Sama halnya seperti contoh diatas, wanita yang awalnya ga ngerti apa2 soal bola (atau f1 atau motogp atau apa pun lah yang tadinya topik mainstream pria) jadi 'melek' soal olahraga tersebut, ikut nonton ke senayan, begitu pun soal politik, di zaman ini semua orang tiba2 jadi melek politik. Well, pada pemilu sebelumnya tahun 2009 memang sudah terjadi pro-kontra antara masing2 calon, tapi hanya kalangan terbatas karena smartphone masih belum terlalu booming, para calon presiden belum menjadikan social media sebagai tempat kampanye, jadi belum ada buzzer2 bayaran, dan account2 yang mengangkat/menjatuhkan suatu pihak, semua murni pendapat socmed user sendiri.Â
Namun tidak demikian pada 2014. Orang2 yang tadinya ga peduli apa2 sama politik, karena setiap hari dijejali oleh berita2 politik, baik di koran, tv, dan socmed oleh buzzer2 bayaran, semuanya baik ibu2, anak nongkrong MTV, eh salah era, anak nongkrong 7eleven maksudnya, mahasiswa, bapak2, pria-wanita-tua-muda, semua punya preferensi/pilihan masing2, which is all good, kalau saja mereka memakai prinsip seperti di cover profile saya 'promote what you love instead of bashing what you hate', namun kenyataannya tidak demikian, semua orang mengatakan kalau mereka objektif, though their definition of it always means ‘my opinion,’  they believe they’re coming from the sole rational spot on earth and anyone who disagrees with them is inherently irrational.
Disini lah mulai tren fanboy dan hater, sebenarnya istilah tersebut sudah lama beredar di internet, namun sebelum era smarthone, ketika akses internet masih harus dilakukan dengan PC / laptop, istilah tersebut kebanyakan hanya beredar di forum sepakbola. Kala itu saya heran, mengapa orang yang mendukung atau fanboy suatu klub sepak bola menjelek2kan klub lain, terutama saingannya? Apakah klo jadi fans suatu klub tertentu berarti harus membenci klub saingan? Apa gunanya? Senang jika tim saingan kalah, langsung mengejek dan mengolok2 di forum. Dulu saya kira itu hanya fenomena gejolak kawula muda yang masih labil aja, eh ternyata semakin berkembangnya zaman, bukannya makin menghilang tren tersebut, justru malah menjalar kemana2.Â
The biggest civil war of all time was supposed to be Captain America vs Iron Man facing off in a superhero comic book and movie. But in the past few years, battle lines have been drawn all over pop culture, with tempers flaring, cooler heads not prevailing and hate spewing everywhere. Luckily those things are mostly just on the internet -yet-, belum sampai ke tahapan perang di dunia nyata. Awalnya menjalar ke fanboy iphone vs android vs bb, lanjut ke fanboy Jokowi vs Prabowo, dan civil war antara fanboy dan hater ini menjalar ke seluruh pelosok pop culture yang memungkinkan untuk diperdebatkan; termasuk didalamnya hal remeh-temeh semacam working mom vs stay-at-home-mom, asi vs sufor, natural birth vs c-section (eh, kok contohnya cewe semua ya, hahaha, mohon dimaafkan, kebiasaan mengingatkan istri untuk ga ikut2an civil war semacam itu).Â
Selain menjadi fanboy/hater, social media juga menjadi ajang komentar segala tren kekinian, by eveything i mean eeeeeeeverything. Segala hal super ga penting untuk diperdebatkan, apakah Jessica bersalah atau tidak, komentar soal Mario Teguh dan tes DNA, dll. Mungkin saya satu2nya orang yang ga tahu-menahu soal kasus2 ini, siapa sih Mirna itu sampai kasusnya setiap hari muncul di tivi nasional lebih dari 10 kali sehari, artis kah? anak pejabat kah? Kenapa semua orang merasa harus komentar, tiba2 semua orang jadi detektif?Â
Dan banyak lagi kasus lainnya yang heboh jadi trending topic padahal klo mereka yang sibuk membahas hal2 itu sedikit aja berpikir lebih dalam, deep down mereka tau, they are just wasting their time, buat apa ngurusin masalah orang lain? Apa dengan membahas masalah orang lain jadi merasa superior karena sadar di luar sana banyak orang lain yang lebih screwed up dari pada dirinya? Apakah komen2 untuk hal2 seperti itu untuk membuat distraction dari masalahnya sendiri? Buat apa?
Puncaknya aksi damai 411 kemarin, yang membuat saya menulis artikel ini, karena terlalu banyak bola liar yang melebar dari konteks aksi tersebut.Â
Okay, lets stop here for a minute. Untuk part tulisan dibawah ini, sebelum melanjutkan membaca, I'm begging you please to open up your mind. Klo kata The Ancient One di film Dr. Strange, "Forget everything that you think you know." Tenangkan hati, duduk santai sambil minum kopi dan ngemil pisang goreng, just relax. Ah, satu lagi saya merasa harus menulis disclaimer, bahwa saya bukan pendukung Pak Basuki, apalagi fans beliau. Percaya lah, jika nanti ketika pilkada, saya berada di Jakarta dan menggunakan hak pilih saya, bisa dipastikan saya tidak memilih Pak Basuki. Â
Kembali ke aksi damai 411. Biasanya saya tidak pernah mengomentari kejadian, hanya mengambil hikmahnya. Namun demi mendamaikan civil war yang sedang beredar di timeline facebook saya (sampai saling un-friend, mudah2an hanya di fb, bukan memutus silaturahim di dunia nyata), bismillahirrahmanirrahim, rabbi-'shrah li sadri wa yassirli amri wa-hlul 'uqdatan min lisani yafqahu qawli, semoga Allah merahmati kita semua.Â
Saya salah satu orang yang tidak mendukung aksi damai 411 kemarin. Kenapa? Karena menurut saya, it's a bit overkill. Saya salut dengan orang2 yang ikut aksi damai kemarin, para ulama, simpatisan dari seluruh negeri yang bersatu menjalin ukhuwah islamiyah, karena benar, tidak ada kemenangan tanpa kekuatan, tidak ada kekuatan tanpa kebersamaan, tidak ada kebersamaan tanpa persaudaraan ukhuwah islamiyah ini. Semoga hal ini terus berlanjut sampai terwujud sila ketiga Pancasila, "Persatuan Indonesia". Saya yakin seyakin2nya bahwa hampir seluruh peserta aksi damai kemarin berniat mulia, murni membela agama, yang mana saya salut. Namun demikian, kita ga boleh menampik bahwa ada segelintir pihak yang punya hidden agenda, memanfaatkan aksi tersebut untuk kepentingan diri sendiri atau golongannya, whatever that is. Becoz the real politician could flip everything and make any moment all about them. Semua orang kemarin mengatakan ini bukan soal pilkada, bukan soal politik, tapi ini murni soal penistaan agama. Beliau (Pak Basuki) telah menistakan Islam, menghina Al-Qur'an, bla bla. Betul, saya setuju dengan hal itu. Tapi betul kah aksi tersebut murni soal penistaan agama? Yakin kah jika aksi tersebut bukan soal sosok pribadi Pak Basuki, melainkan tentang perkataan Beliau yang menistakan Islam?Â
Allah telah mengingatkan kita dalam Al-Qur'an dalam surat yang sama dinistakan Pak Basuki, yaitu surat Al-Maa'idah, ayat 8, sepotong ayatnya berbunyi, "janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil." Â Lawan kata dari adil adalah zalim. Betul kah kita sudah berlaku adil kepada Pak Basuki, tidak berlaku zalim? Betul, Pak Basuki sendiri telah berlaku zalim, tapi tidak kah terjadi double standard dalam aksi damai ini? Saya bisa memaklumi mengapa Pak Basuki menistakan Islam, karena apa? Karena Beliau non-muslim, tidak mengerti apa2 soal Islam. Seperti saya memaklumi anak saya (balita) yang tiba2 memukul saya tanpa sebab, atau ketika dulu ia merobek halaman al-qur'an, karena ia belum mengerti. Betul, kasus tersebut berbeda dengan Pak Basuki, yang sudah dewasa, terlebih jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, tentu tidak pantas dan perlu mendapatkan consequence atas action-nya tersebut.Â
Double standard diatas yang saya maksud diatas adalah, mengapa hanya Beliau yang dapat perilaku spesial aksi damai 411, sementara penista agama lainnya tidak? Jadi yakin kah kita semua jika aksi tersebut murni tentang penistaan agama, ga ada kaitannya dengan pilkada atau politik? As I am saying before,the real politician could flip everything and make any moment all about them. Yakin ga ada pihak yang memanfaatkan situasi ini? Ada kah orang yang gembira jika Pak Basuki di proses hukum dan dicabut statusnya sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2017? Tentu banyak, pihak2 lawan politiknya. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa saya yakin seyakin2nya kebanyakan dari peserta aksi tersebut bukan termasuk golongan ini, melainkan murni berniat mulia. Baiknya biar imbang, seluruh pihak yang menistakan agama di proses hukum juga. Seperti contoh kasus ormas / kepala daerah tanjung balai yang menurunkan patung Buddha. Bukan kah hal tersebut juga termasuk penistaan agama Buddha?
Saya mengutip arti kata menistakan dari KBBI :
me·nis·ta·kan v menjadikan (menganggap) nista; menghinakan; merendahkan (derajat dsb)
Atau lebih parahnya lagi, orang Islam yang menistakan agama sendiri. Ketika dulu bulan ramadhan beberapa tahun silam saya tinggal di rumah mertua, mau ga mau saya menyaksikan tayangan sinetron ramadhan ketika menjelang dan selepas magrib, saya baru tau klo nonton sinetron2 semacam itu berpahala, karena sepanjang episode harus banyak istigfar, hehe. Terlihat oleh saya ketika itu, ada adegan ustadz dengan baju koko lengkap dengan pecinya (sepertinya tokoh utama), selepas pulang dari mesjid bertemu dengan wanita yang saya perkirakan adalah pacarnya, karena mereka ngobrol sambil pegang2an tangan di taman.Â
Ada lagi adegan seorang muslimah berjilbab yang bertabrakan dengan lelaki yang sedang membawa kue, kuenya jatuh, dan ia mengelap lantai menggunakan jilbabnya. Apakah hal2 tersebut tidak termasuk menistakan, menghinakan dan merendahkan derajat ustadz atau jilbab? Belum lagi ada sinetron yang merendahkan derajat Pak Haji, karena Pak Haji dalam sinetron tersebut merupakan tokoh antagonis yang kerjaannya iri, dengki, dan segala sifat negatif yang harusnya tidak dimiliki oleh seorang yang berpredikat Pak Haji. Betul, itu hanya karya fiktif belaka, tetapi apa sutradara, produser atau siapa pun yang bertanggung jawab atas sinetron2 tersebut melakukan penistaan agama?Â
Oops, mohon maaf jadi melebar, tadi hanya ingin menjelaskan double standard jadi kemana2 bahasannya, hahaha. Intinya adalah, niat baik saja tidak cukup untuk melakukan kebaikan / menegakkan keadilan, dan kepada fanboy dan hater dari masing2 kubu (pendukung dan bukan pendukung aksi damai tersebut), sudah lah, berhenti lah kalian memanas2i suasana dengan men-share berita2 dan berkomentar negatif atas kubu yang berseberangan, coz the sign of maturity is the ability to disagree with someone while still being respectful. Luruskan lah niat masing2 untuk membela apa yang kalian yakini benar tanpa perlu mengomentari, mengoreksi apa lagi mencela orang lain yang berbeda pendapat dengan kalian.
Terakhir, pesan terkait pilkada, dan pemilu kedepanya, ga perlu lah kalian membela / membenci satu calon sampai segitunya, selain karena (kemungkinan besar) mereka tidak peduli dengan kalian, but most of all, becoz not everything is as it seems. This is politis : Perception is reality. The truth won't matter. Dan percaya lah, klo gubernur dan presiden itu jabatan politik, orang baik dengan niat baik tulus ikhlas pun tidak akan bisa apa2 jika tidak punya kekuatan/dukungan ukhuwah islamiyah (dan juga agama lain tentunya). Belajar lah tentang sejarah dunia, bahwa ada golongan2 di balik layar yang mengendalikan negara. Ini bukan teori konspirasi, melainkan a bitter pill to swallow. Jika tidak malas, saya akan menulis soal ini, but don't count on it, karena saya super pemalas.Â
Sorry for the long post, and there's no potato for you.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H