Mohon tunggu...
Hamdi Arcobaleno
Hamdi Arcobaleno Mohon Tunggu... -

I don't label myself, coz labels are for jars, not people. I'm not a label, just a human being.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Civil War: How did Pop Culture Get So Negative?

7 November 2016   09:30 Diperbarui: 7 November 2016   09:44 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya mengutip arti kata menistakan dari KBBI :

me·nis·ta·kan v menjadikan (menganggap) nista; menghinakan; merendahkan (derajat dsb)

Atau lebih parahnya lagi, orang Islam yang menistakan agama sendiri. Ketika dulu bulan ramadhan beberapa tahun silam saya tinggal di rumah mertua, mau ga mau saya menyaksikan tayangan sinetron ramadhan ketika menjelang dan selepas magrib, saya baru tau klo nonton sinetron2 semacam itu berpahala, karena sepanjang episode harus banyak istigfar, hehe. Terlihat oleh saya ketika itu, ada adegan ustadz dengan baju koko lengkap dengan pecinya (sepertinya tokoh utama), selepas pulang dari mesjid bertemu dengan wanita yang saya perkirakan adalah pacarnya, karena mereka ngobrol sambil pegang2an tangan di taman. 

Ada lagi adegan seorang muslimah berjilbab yang bertabrakan dengan lelaki yang sedang membawa kue, kuenya jatuh, dan ia mengelap lantai menggunakan jilbabnya. Apakah hal2 tersebut tidak termasuk menistakan, menghinakan dan merendahkan derajat ustadz atau jilbab? Belum lagi ada sinetron yang merendahkan derajat Pak Haji, karena Pak Haji dalam sinetron tersebut merupakan tokoh antagonis yang kerjaannya iri, dengki, dan segala sifat negatif yang harusnya tidak dimiliki oleh seorang yang berpredikat Pak Haji. Betul, itu hanya karya fiktif belaka, tetapi apa sutradara, produser atau siapa pun yang bertanggung jawab atas sinetron2 tersebut melakukan penistaan agama? 

Oops, mohon maaf jadi melebar, tadi hanya ingin menjelaskan double standard jadi kemana2 bahasannya, hahaha. Intinya adalah, niat baik saja tidak cukup untuk melakukan kebaikan / menegakkan keadilan, dan kepada fanboy dan hater dari masing2 kubu (pendukung dan bukan pendukung aksi damai tersebut), sudah lah, berhenti lah kalian memanas2i suasana dengan men-share berita2 dan berkomentar negatif atas kubu yang berseberangan, coz the sign of maturity is the ability to disagree with someone while still being respectful. Luruskan lah niat masing2 untuk membela apa yang kalian yakini benar tanpa perlu mengomentari, mengoreksi apa lagi mencela orang lain yang berbeda pendapat dengan kalian.

Terakhir, pesan terkait pilkada, dan pemilu kedepanya, ga perlu lah kalian membela / membenci satu calon sampai segitunya, selain karena (kemungkinan besar) mereka tidak peduli dengan kalian, but most of all, becoz not everything is as it seems. This is politis : Perception is reality. The truth won't matter. Dan percaya lah, klo gubernur dan presiden itu jabatan politik, orang baik dengan niat baik tulus ikhlas pun tidak akan bisa apa2 jika tidak punya kekuatan/dukungan ukhuwah islamiyah (dan juga agama lain tentunya). Belajar lah tentang sejarah dunia, bahwa ada golongan2 di balik layar yang mengendalikan negara. Ini bukan teori konspirasi, melainkan a bitter pill to swallow. Jika tidak malas, saya akan menulis soal ini, but don't count on it, karena saya super pemalas. 

Sorry for the long post, and there's no potato for you.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun