Mohon tunggu...
Hamdi Arcobaleno
Hamdi Arcobaleno Mohon Tunggu... -

I don't label myself, coz labels are for jars, not people. I'm not a label, just a human being.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Civil War: How did Pop Culture Get So Negative?

7 November 2016   09:30 Diperbarui: 7 November 2016   09:44 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun tidak demikian pada 2014. Orang2 yang tadinya ga peduli apa2 sama politik, karena setiap hari dijejali oleh berita2 politik, baik di koran, tv, dan socmed oleh buzzer2 bayaran, semuanya baik ibu2, anak nongkrong MTV, eh salah era, anak nongkrong 7eleven maksudnya, mahasiswa, bapak2, pria-wanita-tua-muda, semua punya preferensi/pilihan masing2, which is all good, kalau saja mereka memakai prinsip seperti di cover profile saya 'promote what you love instead of bashing what you hate', namun kenyataannya tidak demikian, semua orang mengatakan kalau mereka objektif, though their definition of it always means ‘my opinion,’  they believe they’re coming from the sole rational spot on earth and anyone who disagrees with them is inherently irrational.

Disini lah mulai tren fanboy dan hater, sebenarnya istilah tersebut sudah lama beredar di internet, namun sebelum era smarthone, ketika akses internet masih harus dilakukan dengan PC / laptop, istilah tersebut kebanyakan hanya beredar di forum sepakbola. Kala itu saya heran, mengapa orang yang mendukung atau fanboy suatu klub sepak bola menjelek2kan klub lain, terutama saingannya? Apakah klo jadi fans suatu klub tertentu berarti harus membenci klub saingan? Apa gunanya? Senang jika tim saingan kalah, langsung mengejek dan mengolok2 di forum. Dulu saya kira itu hanya fenomena gejolak kawula muda yang masih labil aja, eh ternyata semakin berkembangnya zaman, bukannya makin menghilang tren tersebut, justru malah menjalar kemana2. 

The biggest civil war of all time was supposed to be Captain America vs Iron Man facing off in a superhero comic book and movie. But in the past few years, battle lines have been drawn all over pop culture, with tempers flaring, cooler heads not prevailing and hate spewing everywhere. Luckily those things are mostly just on the internet -yet-, belum sampai ke tahapan perang di dunia nyata. Awalnya menjalar ke fanboy iphone vs android vs bb, lanjut ke fanboy Jokowi vs Prabowo, dan civil war antara fanboy dan hater ini menjalar ke seluruh pelosok pop culture yang memungkinkan untuk diperdebatkan; termasuk didalamnya hal remeh-temeh semacam working mom vs stay-at-home-mom, asi vs sufor, natural birth vs c-section (eh, kok contohnya cewe semua ya, hahaha, mohon dimaafkan, kebiasaan mengingatkan istri untuk ga ikut2an civil war semacam itu). 

Selain menjadi fanboy/hater, social media juga menjadi ajang komentar segala tren kekinian, by eveything i mean eeeeeeeverything. Segala hal super ga penting untuk diperdebatkan, apakah Jessica bersalah atau tidak, komentar soal Mario Teguh dan tes DNA, dll. Mungkin saya satu2nya orang yang ga tahu-menahu soal kasus2 ini, siapa sih Mirna itu sampai kasusnya setiap hari muncul di tivi nasional lebih dari 10 kali sehari, artis kah? anak pejabat kah? Kenapa semua orang merasa harus komentar, tiba2 semua orang jadi detektif? 

Dan banyak lagi kasus lainnya yang heboh jadi trending topic padahal klo mereka yang sibuk membahas hal2 itu sedikit aja berpikir lebih dalam, deep down mereka tau, they are just wasting their time, buat apa ngurusin masalah orang lain? Apa dengan membahas masalah orang lain jadi merasa superior karena sadar di luar sana banyak orang lain yang lebih screwed up dari pada dirinya? Apakah komen2 untuk hal2 seperti itu untuk membuat distraction dari masalahnya sendiri? Buat apa?

Puncaknya aksi damai 411 kemarin, yang membuat saya menulis artikel ini, karena terlalu banyak bola liar yang melebar dari konteks aksi tersebut. 

Okay, lets stop here for a minute. Untuk part tulisan dibawah ini, sebelum melanjutkan membaca, I'm begging you please to open up your mind. Klo kata The Ancient One di film Dr. Strange, "Forget everything that you think you know." Tenangkan hati, duduk santai sambil minum kopi dan ngemil pisang goreng, just relax. Ah, satu lagi saya merasa harus menulis disclaimer, bahwa saya bukan pendukung Pak Basuki, apalagi fans beliau. Percaya lah, jika nanti ketika pilkada, saya berada di Jakarta dan menggunakan hak pilih saya, bisa dipastikan saya tidak memilih Pak Basuki.  

Kembali ke aksi damai 411. Biasanya saya tidak pernah mengomentari kejadian, hanya mengambil hikmahnya. Namun demi mendamaikan civil war yang sedang beredar di timeline facebook saya (sampai saling un-friend, mudah2an hanya di fb, bukan memutus silaturahim di dunia nyata), bismillahirrahmanirrahim, rabbi-'shrah li sadri wa yassirli amri wa-hlul 'uqdatan min lisani yafqahu qawli, semoga Allah merahmati kita semua. 

Saya salah satu orang yang tidak mendukung aksi damai 411 kemarin. Kenapa? Karena menurut saya, it's a bit overkill. Saya salut dengan orang2 yang ikut aksi damai kemarin, para ulama, simpatisan dari seluruh negeri yang bersatu menjalin ukhuwah islamiyah, karena benar, tidak ada kemenangan tanpa kekuatan, tidak ada kekuatan tanpa kebersamaan, tidak ada kebersamaan tanpa persaudaraan ukhuwah islamiyah ini. Semoga hal ini terus berlanjut sampai terwujud sila ketiga Pancasila, "Persatuan Indonesia". Saya yakin seyakin2nya bahwa hampir seluruh peserta aksi damai kemarin berniat mulia, murni membela agama, yang mana saya salut. Namun demikian, kita ga boleh menampik bahwa ada segelintir pihak yang punya hidden agenda, memanfaatkan aksi tersebut untuk kepentingan diri sendiri atau golongannya, whatever that is. Becoz the real politician could flip everything and make any moment all about them. Semua orang kemarin mengatakan ini bukan soal pilkada, bukan soal politik, tapi ini murni soal penistaan agama. Beliau (Pak Basuki) telah menistakan Islam, menghina Al-Qur'an, bla bla. Betul, saya setuju dengan hal itu. Tapi betul kah aksi tersebut murni soal penistaan agama? Yakin kah jika aksi tersebut bukan soal sosok pribadi Pak Basuki, melainkan tentang perkataan Beliau yang menistakan Islam? 

Allah telah mengingatkan kita dalam Al-Qur'an dalam surat yang sama dinistakan Pak Basuki, yaitu surat Al-Maa'idah, ayat 8, sepotong ayatnya berbunyi, "janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil."  Lawan kata dari adil adalah zalim. Betul kah kita sudah berlaku adil kepada Pak Basuki, tidak berlaku zalim? Betul, Pak Basuki sendiri telah berlaku zalim, tapi tidak kah terjadi double standard dalam aksi damai ini? Saya bisa memaklumi mengapa Pak Basuki menistakan Islam, karena apa? Karena Beliau non-muslim, tidak mengerti apa2 soal Islam. Seperti saya memaklumi anak saya (balita) yang tiba2 memukul saya tanpa sebab, atau ketika dulu ia merobek halaman al-qur'an, karena ia belum mengerti. Betul, kasus tersebut berbeda dengan Pak Basuki, yang sudah dewasa, terlebih jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, tentu tidak pantas dan perlu mendapatkan consequence atas action-nya tersebut. 

Double standard diatas yang saya maksud diatas adalah, mengapa hanya Beliau yang dapat perilaku spesial aksi damai 411, sementara penista agama lainnya tidak? Jadi yakin kah kita semua jika aksi tersebut murni tentang penistaan agama, ga ada kaitannya dengan pilkada atau politik? As I am saying before,the real politician could flip everything and make any moment all about them. Yakin ga ada pihak yang memanfaatkan situasi ini? Ada kah orang yang gembira jika Pak Basuki di proses hukum dan dicabut statusnya sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2017? Tentu banyak, pihak2 lawan politiknya. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa saya yakin seyakin2nya kebanyakan dari peserta aksi tersebut bukan termasuk golongan ini, melainkan murni berniat mulia. Baiknya biar imbang, seluruh pihak yang menistakan agama di proses hukum juga. Seperti contoh kasus ormas / kepala daerah tanjung balai yang menurunkan patung Buddha. Bukan kah hal tersebut juga termasuk penistaan agama Buddha?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun