Mohon tunggu...
Arci Rahmanta
Arci Rahmanta Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

nope -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Damn, Egoku Ditabrak Mati!!

15 November 2014   09:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:46 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sesosok pria bertubuh kurus, kecil, dan banyak borok tiba-tiba ada di depanku, seraya meletakkan tangannya di atas ubun-ubunku dengan halus. dan perlahan mengelus-elus kepalaku,

"aku adalah sifat egomu yang berhasil kamu keluarkan dari hati kecilmu itu," kata pria kurus tersebut.

Pagi-pagi benar aku menikmati sejuknya kota Jogja dengan bersepeda, udara sejuk sengaja aku paksa masuk untuk mengarungi rongga dada paru-paruku dan keluar ke hidung lagi. melihat-lihat gunung merapi tegap lurus di depanku, menantangku untuk menaiki lehernya, dan menaklukkannya hingga ke Puncak Garuda-nya.

jalanan di depanku nampak santai dan bersih, banyak kerikil-kerikil kecil berbaris menanti ban sepedaku menerjangnya. ada pesepeda ontel seorang Ibu-Ibu yang kira-kira berusia 40 tahunan sedang membawa daun pepaya segar, entah untuk apa daun itu, untuk makan atau untuk dijual, apa peduliku. biarkan saja.

saat memasuki jalan Jendral Sudirman, nama pahlawan itu. situasi Jalan sudah mulai rame, satu motor dua motor lalu lalang melewatiku, benar sekarang hari sabtu pikirku, saat nya ngepit santai. Tiin tiin tiin klakson bersaut-sautan mengalahkan kicauan burung gereja yang bersarang di masjid sebelah kanan jalan jalurku. Kepulan asap mulai membuat kabut kecil di pergumulan kendaraan bermesin itu, kaki penuh dengan keringat hitam kabut parasit. saat itu, kulihat Ibu pesepeda ontel itu ada di depanku masih dengan membawa dedaunan, kini yang kulihat adalah daun kangkung. ahhh apasih, gak penting deh.

Pak polisi terlihat santai dengan perlengkapan nya yang "berat" dibawanya. preeet preeet Pak polisi mengatur pemotor-pemotor nakal tak berbawa SIM dan tak memakai helm. Dengan pelayanan baik, pak polisi itu memberi keadilan kepada si non helm dan SIM tersebut, tapi terlihat tangan kiri pak polisi lagi gemetaran memasukkan dua carik kertas berwarna merah, entah tahau apa itu tidak peduli aku. Toh gak ada untungnya buat aku bicarakan. Si non helm dan SIM lewat di samping kiriku tersenyum kecut dan sedikit melirik ke arahku. secepatnya kubuang mukaku, aku takut.

Bersepeda berkeliling kota Jogja sungguh luar biasa di kala surya barusan bangun, kulihat bagaimana pesat pembangunan hasil para arsitektur tegak berdiri. sejenak saya memasuki gang perkampungan di antara dua hotel berbintang lima, Bau sampah, air pipa yang sepertinya bocor menyambutku, aku sedikit kesal ketika ada truk sampah yang bekerja di pagi hari yang cerah dan sejuk ini. Dalam benakku, terbesit pertanyaan kenapa kok tidak malam hari saja operasi ambil sampah ini, sekalian ambil sampah masyarakat juga saat ia terlelap tidur. Para warga juga menutupi hidung mereka dengan selembar kain dengan ekspresi mereka yang terlihat benar-benar payah dan pasrah. ahh apa sih, aku bukan orang daerah sini saja lho, ngapain peduli?..

Saat kembali lagi ke jalan raya aku terkejut sekali setelah di depan persis mukaku Trans Jogja melintas, untung tidak terluka secuil apapun kulitku ini. Terimakasih Trans Jogja yang selalu mengantarku ke Jogja Expo Center (JEC), dengan keterbatasan waktunya aku tahu kok kalau memang hal cepat dan tepat waktu adalah kebiasaan utama yang harus dipupuk oleh semua instansi pemerintahan. aku senang bila naik Trans Jogja, dan sampai tepat waktu. namun, Trans Jogja tak ubahnya seperti bus antar-provinsi yang menarget kepada penumpang, bukan keselamatannya. oh ya Asap kabut hitam langsung mengeringkan mata dan kerongkonganku, aiihh benar-benar asap berengsek. Kulihat banyak pakde-pakde petugas parkir berbaju PDL oranye sedikit cemberut memandangi Trans Jogja yang lama-kelamaan kian menjauh dan menghilang, lalu ada lagi ada lagi dan begitu seterusnya hingga jam setengah delapan malam, bukannya sembilan malam. aku sih gak mau kepoin mereka, apa untungku gitu lho? gaada, mungkin cuma curhatan.

Menjejak dengan bersepeda begitu sederhana menciptakan keriangan. Jauh-jauh aku melihat Ibu pembawa daun pepaya, dan daun Kangkung itu terjatuh di tengah jalanan. Karena penasaran, saya bertanya kepada warga yang mengerubungi Ibu tersebut.

"Kenapa beliau?" kataku.

"Dia tertabrak oleh mobil berplat merah, dan saat ini Ambulan sedang perjalanan ke sini!" jawab seorang warga.

Dengan jalan yang masih sepi di pagi hari ini, ditemani ratusan polisi yang menemani pengguna jalan raya, dibarengi truk sampah yang lagi mengambili sampah, dan diiringi oleh suara klakson yang bersaut-sautan, dan macetnya jalan raya karena banyak wisatawan yang berfoto-foto ria sehabis keluar dari hotel-hotel berbintang telah mengubur satu nyawa yang merupakan orang asli Jogja. Ambulan telat hingga 30 menit.

Kucari siapa perempuan malang itu, tak sengaja terjatuh dompet merah tua hampir mirip dengan dompetku. Ingin kukembalikan, tetapi tidak ada yang menggubris suaraku yang kecil. Terjatuh dan berceceranlah kartu-kartu identitas dan ATM-nya diakibatkan sikutan seseorang. Kupungut satu persatu dengan seksama, agar tak ada yang tertinggal. Saat tak sengaja kulihat Kartu identitasnya, aku kaget sekali perempuan ini bernama SUGI WIBISHUNA, dua kata sakral yang sama persis dengan apa yang diberikan Ayahku kepadaku.

Kaget, aku ikut membalikkan tubuh mayat perempuan itu, ternyata memang sangat persis dengan rupaku. Kulihat badanku ternyata transparan.

"Siapa dia? siapa aku? apakah dia adalah masa depanku?" aku bertanya tak jelas kepada siapa.

"Kenapa aku harus tahu kematianku?" tanyaku sekali lagi.

Tiba-tiba datanglah sesosok pria berwajah oriental bertubuh gempal berdiri ada di depanku, seraya meletakkan tangannya di atas ubun-ubunku dengan halus. dan perlahan mengelus-elus kepalaku. "Perempuan itu adalah aktivis yang sangat memperjuangkan hak-hak rakyat miskin, dia telah mengorbankan anak dan suaminya dengan mengabdi ke masyarakat. Dia adalah orang kafir, dia tidak percaya dengan Tuhan, Tuhan terasa dekat dengannya ketika dia benar-benar di ujung jeruji besi. Dia sudah menghanguskan ego besarnya dulu. Benar dia adalah kamu, dan kamu adalah dia. Terimakasih Sugi, kalian tidak akan pernah mati tua, bahagialah orang yang mati muda."

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun