Mohon tunggu...
Mutiara Salsabila Putri Minang
Mutiara Salsabila Putri Minang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2024

Saya merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi 2024 Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketimpangan Sosial: Cermin Stratifikasi dalam Kehidupan Bermasyarakat

24 Desember 2024   10:16 Diperbarui: 24 Desember 2024   10:21 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandangan stratifikasi sosial berkaitan dengan perbedaan dalam masyarakat yang memiliki susunan bertingkat dalam kehidupan masyarakat dari atas ke bawah. Kriteria bertingkat dalam stratifikasi sosial didasarkan pada perbedaan dalam status sosial, peran sosial, tingkatan ekonomi. dan peran lainnya. Didasari atau tidak, masyarakat Indonesia sebagai ciri khas negara berkembang memiliki beragam keberagaman dan perbedaan. Yang dimana perbedaan ini menjadi salah satu bagian yang tidak terlepas daripada masyarakat multikultural. Sehingga kondisi ini memberikan pengaruh pada diferensiasi sosial dan stratifikasi sosial.

Salah satu jenis variasi yang paling menonjol dalam kehidupan manusia adalah fenomena stratifikasi sosial, atau tingkatan-tingkatan sosial. Perbedaan ini tidak hanya ada, tetapi terjadi melalui proses dimana suatu bentuk kehidupan, termasuk konsep, nilai norma, aktivitas sosial, akan ada dalam masyarakat karena mereka menganggap bentuk kehidupan itu benar, baik dan bermanfaat bagi mereka. Fenomena stratifikasi sosial ini akan selalu ada. Sistem sosial dan budaya yang terbentuk dalam masyarakat merupakan hasil dari hubungan, komunikasi, dan proses sosialisasi yang terjadi antara individu di dalamnya. Proses-proses tersebut memberikan pengaruh besar terhadap pola tatanan yang berkembang dalam lingkungan sosial masyarakat. Sebagai konsekuensi dari interaksi tersebut, lahirlah sebuah sistem sosial yang secara alamiah mengelompokkan masyarakat ke dalam berbagai lapisan atau tingkatan. Pengelompokan ini didasarkan pada kepercayaan, nilai-nilai, norma, serta ada istiadat yang dianut dalam kehidupan bermasyarakat. Fenomena ini dikenal dengan istilah stratifikasi sosial, sebagaimana dijelaskan oleh (Rahman dan Ega 2018). 

Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi terbentuknya stratifikasi sosial di dalam masyarakat. Beberapa diantaranya meliputi kekayaan, tingkat pendidikan, dan posisi atau kedudukan seseorang dalam struktur sosial masyarakat. Faktor-faktor ini berperan penting dalam menentukan bagaimana masyarakat tersusun ke dalam lapisan-lapisan sosial. Pelapisan sosial tersebut dapat muncul dengan berbagai karakteristik dan bentuk yang beragam, tergantung pada nilai-nilai, norma, dan kondisi sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, stratifikasi sosial bukanlah fenomena yang seragam, melainkan mencerminkan keragaman pola kehidupan dan dinamika sosial yang ada dalam setiap komunitas. 

Dari beragam perbedaan dalam kehidupan manusia, salah satu variasi yang paling mencolok adalah munculnya fenomena stratifikasi sosial atau tingkatan-tingkatan sosial dalam masyarakat. Perbedaan ini tidak hanya sekedar ada secara alami, namun melalui proses tertentu yang mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti nilai-nilai, norma, aktivitas sosial, hingga benda-benda material lainnya. Semua ini hadir dalam masyarakat karena mereka menganggap bentuk kehidupan tersebut sebagai sesuatu yang benar, baik, dan bermanfaat bagi mereka. Fenomena stratifikasi sosial ini merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun, stratifikasi tetap akan muncul, meskipun bentuknya bisa berbeda-beda. Hal ini sangat bergantung pada bagaimana setiap masyarakat membangun, memahami, dan menempatkan sistem tingkatakan sosial tersebut sesuai dengan kebutuhan dan pandangan hidup mereka. Dengan kata lain, stratifikasi sosial merupakan refleksi dari dinamika sosial yang senantiasa hadir dalam berbagai bentuk, megikuti perkembangan dan keragaman budaya setiap komunitas. 

Istilah “stratifikasi sosial” berasal dari bahasa latin, khususnya dari kata “stratum”, yang berarti “lapisan” dalam bentuk tunggal dan “strata”, yang berarti “lapisan” dalam bentuk jamak. Konsep ini digunakan untuk menggambarkan pengelompokan masyarakat ke dalam berbagai tingkatan atau kelas sosial. Dalam konteks sosiologis, stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai proses pembagian masyarakat atau populasi ke dalam sejumlah kelas sosial yang berbeda, berdasarkan kriteria tertentu yang diakui dalam kehidupan bermasyarakat. 

Stratifikasi sosial yang sering juga disebut lapisan sosial, pada dasarnya fokus pada pendistribusian berbagai sumber daya sosial. Sumber daya ini mencakup segala hal yang dianggap penting atau bernilai bagi masyarakat, seperti kekayaan, kekuasaan, pendidikan, dan status sosial. Dengan kata lain, stratifikasi sosial tidak hanya membahas bagaimana masyarakat terstruktur secara hierarkis, tetapi juga menyoroti unsur-unsur sosial yang mempengaruhi posisi dan hubungan individu atau kelompok dalam tatanan sosial. 

Menurut pandangan para ahli, konsep stratifikasi sosial dijelaskan secara rinci melalui berbagai perspektif. Piritim A. Sorokin, misalnya, mengemukakan bahwa masyarakat secara alami terbagi ke dalam kelas-kelas sosial yang tersusun secara berjenjang atau hierarkis. Sementara itu, Max Weber memberikan pendekatan yang lebih spesifik dengan menyatakan bahwa penggolongan individu ke dalam lapisan-lapisan hierarkis didasarkan pada tiga dimensi utama, yaitu kekuasaan (power), hak istimewa atau perivilese (privilege), dan kehormatan atau prestise (prestige). Pendekatan ini menunjukkan bahwa stratifikasi sosial tidak hanya mencakup perbedaan ekonomi, tetapi juga mencakup aspek kekuatan politik dan status sosial yang diakui dalam masyarakat. 

Dapat disimpulkan bahwa stratifikasi sosial adalah suatu sistem yang membedakan masyarakat atau penduduk ke dalam berbagai kelas sosial yang tersusun secara bertingkat. Pengelompokan ini tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan didasarkan pada sejumlah faktor tertentu yang menjadi tolak ukur utama. Faktor-faktor tersebut meliputi kekuasaan, hak istimewa atau privilege, serta prestise atau wibawa yang dimiliki oleh individu atau kelompok dalam masyarakat. Dengan kata lain, stratifikasi sosial mencerminkan pembagian hierarkis dalam masyarakat yang mengatur posisi atau kedudukan setiap orang berdasarkan pengaruh mereka dalam berbagai aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, status sosial. Sistem ini memberikan gambaran tentang bagaimana faktor kekuasaan, kehormatan, dan kewibawaan menjadi elemen penting yang menentukan tempat seseorang dalam struktur sosial yang kompleks. 

Baru-baru ini, peristiwa yang melibatkan seorang tokoh agama, Gus Miftah, dan seorang penjual es teh bernama Sunhaji menjadi sorotan publik. Video ini memperlihatkan Gus Miftah mengolok-olok Sunhaji viral di media sosial. Kejadian ini segera memancing perhatian luas dan memicu diskusi yang cukup hangat, terutama mengenai etika dalam menyampaikan dakwah. Kasus tersebut tidak sekedar mencerminkan interaksi antara dua individu, tetapi juga menjadi simbol dan realitas ketimpangan sosial yang masih merajalela di Tanah Air. Peristiwa ini membuka ruang untuk perdebatan tentang bagaimana hubungan antara kelas sosial yang berbeda sering kali penuh dengan ketegangan dan bagaimana posisi seseorang di masyarakat memengaruhi cara mereka diperlakukan. Hal ini pun mendorong banyak pihak untuk merefleksikan kembali pentingnya rasa hormat dan empati dalam membangun hubungan yang lebih adil dan setara. 

Dalam rekaman video yang menyebar luas, Gus Miftah terlihat meminta Sunhaji untuk kembali melanjutkan usahanya sebagai penjual es teh sambil melontarkan komentang yang dianggap merendahkan. Tindakan ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk dari Presdien Republik Indonesia yang secara langsung menegur Gus Miftah. Walaupun Gus Miftah kemudian mengunjungi rumah Sunhaji untuk meminta maaf secara langsung, insiden tersebut meninggalkan dampak yang cukup besar, baik secara psikologis bagi Sunhaji maupun secara sosial di masyarakat.

Sunhaji, seorang penjual es teh yang menjadi sorotan utama dalam kejadian ini, adalah tulang punggung keluarga yang beranggung jawab menghidupi istri dan dua anaknya. Sebelumnya, Ia bekerja sebagai tukang kayu, tetapi sebuah kecelakaan kerja yang serius memaksanya berhenti dari profesi tersebut. Keadaan ini membuatnya beralih menjadi pedangang es teh keliling. Kisah hidup Sunhaji mencerminkan perjuangan keras masyarakat di lapisan sosial bawah, di mana pilihan untuk bertahan hidup sering kali sangat terbatas dan penuh tantangan. 

Stratifikasi sosial merujuk pada pembagian masyarakat ke dalam lapisan-lapisan yang berbeda berdasarkan faktor seperti status sosial, ekonomi, atau budaya. Fenomena ini menjadi sangat terlihat dalam peristiwa yang melibatkan Gus Miftah dan Sunhaji, dimana keduanya berada pada posisi yang kontras dalam hierarki sosial.

Gus Miftah, seorang tokoh agama terkena, memiliki pengaruh besar baik konteks sosial maupun ekonomi. Ia kerap muncul di berbagai forum penting dan media, menunjukkan posisinya sebagai bagian dari strata atas yang memiliki dominasi dalam masyarakat. Sebaliknya, Sunhaji, seorang penjual es teh keliling, mewakili sektor pekerja informal yang sering dianggap rendah oleh sebagian masyarakat. Sebagai tulang punggung keluarga yang berjuang menghidupi istri dan dua anaknya, profesi Sunhaji sering kali dipandang sebelah mata. Kontras antara status sosial dan ekonomi menjadi sangat kentara, terutama dalam cara mereka berinteraksi, yang mencerminkan ketimpangan yang masih mengakar dalam struktur sosial Indonesia. Di masyarakat indonesia, pekerjaan seperti pedagang kaki lima atau pekerja sektor informal sering kali tidak mendapatkan penghormatan yang sama seperti profesi lain yang dianggap lebih prestisius atau bermartabat. Padahal, peran mereka dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari sangatlah vital. Dalam video yang tersebar, hal ini terlihat dari cara Sunhaji diperlakukan, yang menunjukkan adanya bias dan prasangka terhadap individu dari lapisan sosial bawah. Stereotip ini tidak hanya merugikan individu seperti Sunhaji secara personal, tetapi juga memperkuat stigma terhadap kelompok masyarakat yang berada di posisi serupa. 

Peristiwa ini sekaligus menyoroti bagaimana kekuasaan atau status sosial yang lebih tinggi dapat mempengaruhi pola interaksi antar individu dari strata yang berbeda. Ketidakhadiran empati dalam interaksi tersebut menjadi salah satu alasan utama kemarahan publik terhadap insiden ini. Masyarakat melihat perlakuan yang diterima Sunhaji sebagai cerminan dari ketimpangan sosial yang lebih luas, di mana mereka yang berada di posisi lebih rendah sering kali tidak diperlakukan dengan adil atau hormat. Dengan demikian, kejadian ini menjadi pengingat bahwa empati dan kesetaraan harus menjadi dasar dalam membangun hubungan sosial yang lebih sehat dan adil

Kasus ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat, terutama mengenai pentingnya saling menghormati tanpa melihat status sosial seseorang. Setiap pekerjaan, apapun anggapan masyarakat terhadapnya, memiliki peran dan kontribusi yang tidak tergantikan. Sunhaji, meskipun bekerja sebagai penjual es teh, sebenarnya menjalankan peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, tetapi seharusnya lebih kepada integritas dan usaha keras yang mereka lakukan untuk hidup dengan penuh kehormatan. Setiap individu, terlepas dari profesinya, layak dihargai sebagai manusia dengan martabat yang setara. 

Sebagai tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar, Gus Miftah seharusnya menyadari tanggung jawabnya unutk menjadi teladan yang baik bagi banyak orang. Sebagai seorang pemimpin spritual, Ia diharapkan bisa menunjukkan empati, sikap hormat, dan pengertian kepada semua kalangan, termasuk mereka yang berada di lapisan sosial yang lebih rendah. Etika dalam berdakwah seharusnya mencerminkan nilai-nilai kesetaraan, di mana setiap individu dihormati dan dihargai tanpa melihat latar belakang atau status sosial mereka. 

Penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa stratifikasi sosial bukanlah sesuatu yang alami atau tak terhindarkan, melainkan hasil dari kontruksi sosial yang bisa diubah. Ketimpangan yang ada tidak seharusnya menjadi alasan untuk mendiskriminasi orang lain. Meningkatkan solidaritas antar berbagai strata sosial menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan bebas dari stigma terhadap kelompok sosial yang lebih rendah. Solidaritas ini dapat mengurangi ketimpangan yang mana ada dan mempererat hubungan antar individu dari berbagai latar belakang. Kejadian ini juga mendorong kita untuk merenungkan kembali struktur sosial yang ada di masyarakat. Ketimpangan sosial tidak hanya terletak pada perbedaan ekonomi, tetapi juga pada bagaimana cara kita memandang dan memperlakukan sesama. Bagaimana masyarakat memandang seseorang berdasarkan pekerjaannya atau status sosialnya mencerminkan banyak hal tentang ketidaksetaraan yang ada. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama untuk mengubah pola pikir dan sistem yang masih mendukung ketidakadilan sosial. Dengan kesadaran yang lebih tinggi dan usaha kolektif, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih adil dan menghargai setiap individu, tanpa memandang latar belakang atau status sosial mereka. 

Stratifikasi sosial dalam masyarakat terbentuk melalui berbagai faktor yang saling terkait, seperti faktor ekonomi, pendidikan, etnisitas, kekuasaan, dan gender. Penelitian menunjukkan bahwa ketidaksetaraan sosial sering kali terlihat dalam bentuk perbedaan akses terhadap sumber daya penting yang dibutuhkan untuk kesejahteraan hidup, seperti pekerjaan, layanan kesehatan, dan pendidikan. Pembagian masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial ini tidak hanya berdampak pada kualitas hidup individu, tetapi juga berperan dalam menciptakan struktur sosial yang mengirimkan ketimpangan antar kelompok. Ketidaksetaraan ini, pada kebersamaan, memperlebar jurang perbedaan antara mereka yang berada di lapisan atas dan bawah, serta memperkuat hambatan bagi mobilitas. 

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi stratifikasi sosial adalah ekonomi. Kelompok sosial yang berada pada kelas yang lebih tinggi umumnya memiliki akses yang lebih besar terhadap kekayaan dan peluang ekonomi, sementara kelompok kelas bawah sering kali terjebak dalam kemiskinan dengan sedikit kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Fenomena ini dapat dilihat secara jelas melalui kesenjangan pendapatan yang ada, misalnya antara pekerja terampil dan tidak terampil, atau antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Misalnya, masyarakat yang tinggal di kota besar seperti Jakarta biasanya memiliki akses yang lebih luas terhadap pendidikan yang berkualitas dan peluang pekerjaan dengan pendapatan tinggi. Di sisi lain, mereka yang tinggal di daerah terpenting sering kali menghadapi keterbatasan dalam hal fasilitas pendidikan dan kesempatan kerja, yang pada akhirnya membuat mereka sulit untuk meningkatkan taraf hidup mereka. 

Etnisitas dan ras juga memainkan peran penting dalam membentuk stratifikasi sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Meskipun Indonesia dikenal dengan keberagamannya yang kaya dalam hal etnis, diskriminasi berdasarkan perbedaan etnis masih terjadi, yang pada akhirnya mempengaruhi kesempatan dalam hal ekonomi, pendidikan, dan akses terhadap kekuasaan. Kelompok-kelompok tertentu sering kali terpinggirkan dan memiliki peluang lebih kecil untuk meningkatkan posisi sosial mereka. Masalah ketidaksetaraan rasial ini semakin membantu stratifikasi sosial, khususnya dalam hal menyediakan kebutuhan dasar seperti pekerjaam, perumahan, dan layanan lainnya. Dengan demikian, perbedaan etnis dan ras tidak hanya mempengaruhi kehidupan sosial secara pribadi, tetapi juga menciptakan ketimpangan yang lebih besar dalam struktur sosial masyarakat.

 Pada umumnya manusia memiliki cita-cita agar ada perbedaan dalam kedudukan dan peran dalam masyarakat, namun cita-cita tersebut sering kali bertentangan dengan kenyataan yang ada. Setiap kebutuhan masyarakat menempatkan individu-individu pada posisi tertentu dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk menjalankan kewajiban mereka sesuai dengan penempatan tersebut. Oleh karena itu, masyarakat dihadapkan pada dua masalah utama, yaitu bagaimana menempatkan individu-indidu pada posisi yang tepat dan bagaimana mendorong mereka untuk memenuhi kewajiban yang timbul akibat penempatan tersebut. 

Seandainya setiap kewajiban yang dihadapi oleh individu selalu sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka, maka masalah ini tidak akan terlalu sulit untuk dilaksanakan. Namun kenyataannya tidak demikian. Kedudukan dan peran tertentu sering kali membutuhkan keterampilan dan latihan khusus, dan pentingnya serta posisi peran tersebut pun tidak selalu sama. Oleh karan itu, tidak dapat dihindari bahwa masyarakat perlu menyediakan berbagai sistem yang diberikan atau tidak seimbang untuk mendorong individu agar melaksanakan kewajiban mereka sesuai dengan posisi mereka dalam masyarakat. 

 Stratifikasi sosial adalah pembagian masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial berdasarkan berbagai faktor seperti status, kekayaan, pendidikan, kekuasaan, dan peran sosial. Fenomena ini bersifat universal dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di masyarakat sederhana maupun kompleks. Dalam stratifikasi sitem, individu atau kelompok diberi posisi tertentu dalam hierarki sosial yang mempengaruhi akses mereka terhadap sumber daya dan peluang. Proses stratifikasi sosial didorong oleh nilai-nilai, norma, serta budaya yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini menciptakan struktur sosial yang hierarkis di mana posisi seseorang dapat ditentukan oleh faktor-faktor seperti kekayaan, pendidikan, atau pekerjaan. Misalnya, mereka yang memiliki kekayaan dan pendidikan tinggi cenderung berada di strata sosial atas, sementara kelompok dengan akses terbatas terhadap sumber daya tersebut sering kali berada di lapisan bawah.

 Perbedaan stratifikasi sosial sering kali menimbulkan ketimpangan sosial seperti yang terlihat dalam peristiwa yang melibatkan Gus Miftah dan Sunhaji. Kasus ini menggambarkan interaksi antara dua individu dari strata sosial yang berbeda dan menyoroti bagaimana ketidaksetaraan sosial masih menjadi masalah di masyarakat. Gus Miftah, yang berapa di lapisan atas sebagai tokoh agama terkenal, mewakili dominasi sosial, sedangkan Sunhaji, seorang penjual es teh keliling, menggambarkan perjuangan kelompok di strata bawah. Peristawa ini menjadi simbol ketimpangan dan prasangka terhadap mereka yang berada di lapisan sosial rendah. 

Stratifikasi sosial juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti etnisitas, gender, dan lokasi geografis. Diskriminasi terhadap kelompok tertentu sering kali mengirimkan ketimpangan dan mobilitas-mobilitas sosial. Hal ini mempertegas pentingnya solidaritas untuk mengatasi ketimpangan dan mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Stratifikasi sosial merupakan cerminan dari dinamika sosial yang kompleks. Meskipun sering kali dianggap alami, stratifikasi sebenarnya merupakan konstruksi sosial yang dapat diubah. Dengan pendekatan yang berpusat pada empati, penghormatan, dan keadilan, masyarakat dapat menciptakan struktur sosial yang lebih setara dan menghargai setiap individu tanpa memandang latar belakang atau status mereka. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun