Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Menyukai hal-hal sederhana, suka ngopi, membaca dan sesekali meluangkan waktu untuk menulis. Kunjungi juga blog pribadi saya (www.arsitekmenulis.com) dan (http://ngeblog-yuk-di.blogspot.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tips Agar Tidak Jadi “Kambing Congek” di Era Media Sosial

14 September 2016   23:58 Diperbarui: 15 September 2016   01:35 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari raya kurban baru saja berlalu. Seharusnya di hari raya yang identik dengan pengorbanan ini hati kita semua kembali bersih dari berbagai hal negatif, baik itu sifat egois, suka memfitnah, prasangka buruk, dan lain sebagainya yang semacam. Apalagi saat ini kita hidup di era globalisasi dan era digital, dimana media sosial menjadi pembeda dan jelas-jelas kehadirannya sudah tidak terelakkan lagi bagi masyarakat Indonesia khususnya. Terbukti dengan banyaknya media sosial yang dimiliki setiap orang, baik yang tinggal di perkotaan maupun daerah terpencil sekalipun.

Kehadiran media sosial sudah tentu membawa angin segar dan perubahan tersendiri bagi penggunanya, atau tepatnya energi positif. Namun kita semua tetap harus hati-hati, karena dibalik sisi positif, pasti ada sisi lain yang bertolak belakang dengannya. Yah, ibaratkan mata uang koin, tetap mesra dan terus berdampingan meski memiliki dua sisi yang berbeda. Yang artinya, di sisi lain ada tantangan yang harus kita taklukan bersama.

Sisi lain yang saya maksud, tak lain adalah mulai menghilangnya sesuatu yang selama ini menjadi diri atau ciri khas kita sebagai orang Indonesia atau orang timur. Ya, identitas bangsa seakan bukan lagi point utama yang patut diperjuangkan. Dengan hadirnya media sosial malah muncul sesuatu yang baru, seperti masing-masing mulai menonjolkan kehebatannya, merasa paling pintar, paling tau, paling benar dan orang lain tidak ada apa-apanya. Tak hanya itu saja, budaya konsumtif dan hedonisme pun hampir merata di seluruh negeri.

Yang paling mengerikan lagi, media sosial dijadikan sebagai arena untuk saling membully, mencaci maki, merendahkan sesama, memecah belah persatuan dan kesatuan yang selama ini menjadi pedoman kita. Isu SARA pun tak ketinggalan dijadikan senjata untuk menjatuhkan orang yang tidak disukai, bahkan meski sebelumnya pernah menjadi teman akrab atau sahabat. Budaya gotong-royong, tolong-menolong dan toleransi pun perlahan-lahan disingkirkan dari dalam diri hanya demi sebuah ego dan mainan baru bernama media sosial. Semakin miris lagi, koar-koar diperbanyak dan aksi nyata malah berkurang.

Gara-gara media sosial, semuanya menjadi retak dan hancur berantakan bak piring kaca yang jatuh ke lantai. Jejak Bhineka Tunggal Ika yang sudah lama dibangun oleh pendahulu kita malah seperti menghilang dibawa angin dan bak di telan bumi akibat ulah orang-orang yang lebih mementingkan egonya. Jejak-jejak bulan suci ramadan yang belum lama berlalu dan hari raya kurban yang baru dua hari kita rayakan seakan tidak meninggalkan bekas sama sekali. 

Bahkan sampai-sampai ada yang membawa rasa kebenciannya ke dalam ibadah yang sedang dijalankan. Padahal setahu saya, dalam menjalankan beribadah seharusnya segala prasangka buruk, ego dan sifat negatif lainnya tidak boleh ikut dibawa-bawa. Karena yang namanya beribadah tujuannya untuk menghadap kepada sang Ilahi agar diberikan petunjuk dan mendapatkan solusi untuk setiap permasalahan.

Rasanya tak adil jika yang kita lakukan hanyalah menyalahkan orang lain, sedangkan kita tidak berkaca kembali pada diri sendiri. Apalagi di era digital ini, lalu lintas berbagai informasi di dunia maya mampu mengalahkan dunia nyata, yang berujung tidak bisa dibedakan mana informasi yang benar-benar asli dan mana yang sengaja dibuat mirip asli alias KW  atau asli tapi palsu. Bahkan saking miripnya informasi palsu dengan yang asli, orang yang berpendidikan tinggi pun tak jarang jadi korbannya. 

Yang mana tak jarang berujung pada tersulutnya amarah akibat membaca ulasan yang berbau kebencian, hingga akhirnya ikut menyebarkannya pula. Padahal itu hanyalah akal bulus orang-orang yang kerjanya mengejar jumlah pengunjung dan klik paling banyak, yang kemudian dijual kepada pengiklan demi menambah pundi-pundi recehan di dompet.

Namun sebenarnya tak hanya orang-orang tersebut yang melakukan hal demikian. Ada juga orang lain dengan misi tertentu, yang tujuannya adalah untuk jangka panjang. Dalam hal ini untuk masa 50 tahun yang akan datang dan targetnya adalah anak cucu kita nanti. Misi utamanya jelas sekali, ingin memecah bangsa yang damai dan aman sentosa. Semua pasti tahulah apa yang saya maksud. Contohnya sudah banyak kok terjadi di era digital ini dan korbannya kebanyakan adalah para anak muda yang masih labil, ekonomi pas-pasan dan mereka yang ajaran agama dalam keluarganya tidak begitu kuat.

Mirisnya lagi, banyak yang tidak menyadari kalau sudah ikut terbawa arus dalam rencana orang-orang ini. Contohnya, individualisme lebih ditonjolkan, budaya hedonisme dan konsumtif yang semakin menjadi-jadi, gampang memfitnah orang lain, gampang mengkafirkan orang lain, selalu merasa benar, menerima informasi setengah-setengah tanpa menulusuri dahulu sumbernya, memutar balikkan fakt dengan entengnya, bahkan yang paling ampuh adalah menyerang satu sama lain dengan isu SARA.

Parahnya lagi, setiap kali isu SARA disebar di media sosial, banyak yang langsung menelan mentah-mentah informasi yang di dapat tanpa mengecek dahulu kebenarannya atau setidaknya mencari tahu apa pemicunya. Begitu mudahnya orang terprovokasi oleh berita-berita yang kebanyakan dibagikan oleh situs abal-abal. Dan lucunya lagi, mereka-mereka yang terprovokasi kebanyakan hanya membaca judul berita yang disebar tanpa membaca isinya terlebih dahulu. Entah karena malas, budaya literasinya dititik nadir atau memang karena kebencian dalam diri sudah tingkat akut sehingga daya kritisnya menghilang begitu saja. Entahlah, hanya tuhan dan yang bersangkutan saja yang tahu jawabannya.

Akibatnya, kerukunan beragama yang dulunya begitu kental dan menjadi salah satu ciri khas, keunikan, indentitas serta jati diri bangsa ini perlahan-lahan mulai memudar, hilang bagaikan tersapu angin dan bak ditelan bumi. Bahkan toleransi pun seakan tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting. Bukan lagi sesuatu yang mesti dipertahankan, perlu dirawat dan dilestarikan sebagaimana mestinya. Dan itu semua terjadi semenjak era media sosial mengambil alih kehidupan.

Akan tetapi, kita tidak harus menyalahkan perubahan zaman juga karena memang seperti itu adanya dan itulah tantangan yang perlu dihadapi di era globalisasi serta era digital saat ini. Hanya saja, perlu ketelitian dan lebih selektif lagi dalam memilah setiap informasi yang masuk. Nggak mau kan di cap “Kambing Congek” atau seperti sapi yang di ikat hidungnya yang menurut saja kemanapun tuannya pergi.

Oleh karena itu, kita perlu juga menangkal informasi negatif yang masuk setiap saat dengan harapan agar “Kerukunan Beragama di Era Media Sosial” tetap awet seperti sebelum era media sosial lahir. Banyak cara untuk menangkal hal demikian agar kita tidak terjebak lebih jauh dengan provokasi yang dilakukan oleh orang-orang yang punya misi tertentu. Beberapa di antaranya seperti dibawah ini.

Pertama, jangan mudah terhipnotis dengan judul yang bombastis. Semua pasti sudah sering menemukan judul artikel atau berita yang seperti ini bukan. Memang tidak bisa dipungkuri, judul bombastis atau heboh peluangnya sangat tinggi sekali untuk membuat para pembaca tertarik dan berujung pada mengklik berita tersebut. Judul bombastis seringkali kali di awali dengan kata “terungkap”, “terbukti”, “wow”, “luar biasa”, dan masih banyak lagi. Bahkan belakangan ini juga merambah ke hal-hal yang lebih religius, seperti “Subhanallah” dan “Masya Allah” yang berujung pada klik “amin” dan “share/sebarkan”. Padahal terkadang faktanya tidak seperti demikian dan dibalik itu ada trik pengambilan gambar yang berperan.

Kedua, perhatikan media manakah yang memuat berita yang judulnya terlihat bombastis. Bukan apa-apa, di era digital seperti saat ini banyak yang membuat situs berlabel agama, situs puyeng, jago analisis, dan media lainnya yang kedengarannya masih asing alias baru didengar. Ada baiknya jangan langsung di klik jika menemukan yang demikian, carilah dulu pembandingnya, atau cek kebenaran media tersebut. Ketika sekali saja menemukan di dalamnya ada informasi yang tidak akurat, cenderung menghasut, memprovokasi dan semacamnya, maka segera masukkan media tersebut ke dalam daftar media yang patut di abaikan alias tidak layak untuk dibaca.

Ketiga, jika sudah terlanjur mengklik berita tersebut, maka jangan lupa untuk mengecek sumber-sumber beritanya darimana saja di ambil. Contoh, kasus kriminal, maka sudah pasti sumber resminya adalah penegak hukum (polisi) bukan sumber individu. Tapi jika menemukan sumbernya berasal dari individu, maka sebaiknya jangan percaya sepenuhnya. Kenapa? Semua tahulah kalau zaman sekarang terkadang orang berbicara sesuai dengan bayaran yang diterima atau orang menyebutnya pesanan.

Keempat, tetaplah percaya pada media resmi. Karena biar bagaimanapun juga, media resmi punya standar sendiri yakni standar jurnalistik dan tentunya punya disiplin dalam melakukan verifikasi berita yang disampaikan, yang semuanya tentu dibangun bukan dalam waktu singkat.

Kelima, jangan hanya membaca berita dari satu media saja. Harus selalu ada pembanding sehingga informasi yang diterima tidak berat sebelah. Ya, tetap harus memperhatikan keberimbangan informasi. Karena biar bagaimanapun juga, pembaca berita layaknya hakim di pengadilan, selalu punya sisi kritis dan menimbang-nimbang benar tidaknya setiap informasi yang diterima.

Keenam, jangan terlalu polos seperti anak kecil dan percaya begitu saja apa yang disajikan oleh media. Sebaiknya lakukan survey dulu mengenai berita yang dimuat. Tidak ada salahnya untuk melakukan cek and ricek dengan media lainnya. Karena bisa jadi ada media yang lebih lengkap dalam memuat informasi yang disajikan kepada khalayak ramai.

Terakhir, poin ini terkadang susah dibedakan oleh pembaca, apalagi yang jarang membaca. Apa itu? Opini dan fakta. Keduanya hamoir sama, tapi sebenarnya memiliki perbedaan meskipun tipis. Namun biar bagaimanapun juga kalau dibanding-banding pasti kelihatan perbedaan antara opini dan fakta.

Kurang lebih seperti itu dulu, kalau  mau menambahkan lagi silahkan tulis dik kolom komentar. Nanti kita diskusikan lebih lanjut jika memang apa yang saya ulas masih banyak kurangnya. Yang pastinya, perlu kehati-hatian dalam menerima informasi yang masuk lewat media sosial dan banyak hal yang mesti dipertimbangkan sebelum informasi itu ditelan semuanya dan disebarkan ke orang lain. Karena salah sedikit saja, maka yang ada hanya akan menjadikan fitnah dan bisa berujung pada perpecahan, termasuk antar agama.

Apa salahnya kita menjaga dan merawat kerukunan beragama di era media sosial ini? Dan saya yakin semua pasti suka akan kedamaian daripada perpecahan. Karena yang namanya damai itu selalu indah. Setuju nggak?

Makassar, 14 September 2016

Media sosial saya :

Twitter : @arif260989

Facebook : Arif Rahman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun