Akibatnya, kerukunan beragama yang dulunya begitu kental dan menjadi salah satu ciri khas, keunikan, indentitas serta jati diri bangsa ini perlahan-lahan mulai memudar, hilang bagaikan tersapu angin dan bak ditelan bumi. Bahkan toleransi pun seakan tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting. Bukan lagi sesuatu yang mesti dipertahankan, perlu dirawat dan dilestarikan sebagaimana mestinya. Dan itu semua terjadi semenjak era media sosial mengambil alih kehidupan.
Akan tetapi, kita tidak harus menyalahkan perubahan zaman juga karena memang seperti itu adanya dan itulah tantangan yang perlu dihadapi di era globalisasi serta era digital saat ini. Hanya saja, perlu ketelitian dan lebih selektif lagi dalam memilah setiap informasi yang masuk. Nggak mau kan di cap “Kambing Congek” atau seperti sapi yang di ikat hidungnya yang menurut saja kemanapun tuannya pergi.
Oleh karena itu, kita perlu juga menangkal informasi negatif yang masuk setiap saat dengan harapan agar “Kerukunan Beragama di Era Media Sosial” tetap awet seperti sebelum era media sosial lahir. Banyak cara untuk menangkal hal demikian agar kita tidak terjebak lebih jauh dengan provokasi yang dilakukan oleh orang-orang yang punya misi tertentu. Beberapa di antaranya seperti dibawah ini.
Pertama, jangan mudah terhipnotis dengan judul yang bombastis. Semua pasti sudah sering menemukan judul artikel atau berita yang seperti ini bukan. Memang tidak bisa dipungkuri, judul bombastis atau heboh peluangnya sangat tinggi sekali untuk membuat para pembaca tertarik dan berujung pada mengklik berita tersebut. Judul bombastis seringkali kali di awali dengan kata “terungkap”, “terbukti”, “wow”, “luar biasa”, dan masih banyak lagi. Bahkan belakangan ini juga merambah ke hal-hal yang lebih religius, seperti “Subhanallah” dan “Masya Allah” yang berujung pada klik “amin” dan “share/sebarkan”. Padahal terkadang faktanya tidak seperti demikian dan dibalik itu ada trik pengambilan gambar yang berperan.
Kedua, perhatikan media manakah yang memuat berita yang judulnya terlihat bombastis. Bukan apa-apa, di era digital seperti saat ini banyak yang membuat situs berlabel agama, situs puyeng, jago analisis, dan media lainnya yang kedengarannya masih asing alias baru didengar. Ada baiknya jangan langsung di klik jika menemukan yang demikian, carilah dulu pembandingnya, atau cek kebenaran media tersebut. Ketika sekali saja menemukan di dalamnya ada informasi yang tidak akurat, cenderung menghasut, memprovokasi dan semacamnya, maka segera masukkan media tersebut ke dalam daftar media yang patut di abaikan alias tidak layak untuk dibaca.
Ketiga, jika sudah terlanjur mengklik berita tersebut, maka jangan lupa untuk mengecek sumber-sumber beritanya darimana saja di ambil. Contoh, kasus kriminal, maka sudah pasti sumber resminya adalah penegak hukum (polisi) bukan sumber individu. Tapi jika menemukan sumbernya berasal dari individu, maka sebaiknya jangan percaya sepenuhnya. Kenapa? Semua tahulah kalau zaman sekarang terkadang orang berbicara sesuai dengan bayaran yang diterima atau orang menyebutnya pesanan.
Keempat, tetaplah percaya pada media resmi. Karena biar bagaimanapun juga, media resmi punya standar sendiri yakni standar jurnalistik dan tentunya punya disiplin dalam melakukan verifikasi berita yang disampaikan, yang semuanya tentu dibangun bukan dalam waktu singkat.
Kelima, jangan hanya membaca berita dari satu media saja. Harus selalu ada pembanding sehingga informasi yang diterima tidak berat sebelah. Ya, tetap harus memperhatikan keberimbangan informasi. Karena biar bagaimanapun juga, pembaca berita layaknya hakim di pengadilan, selalu punya sisi kritis dan menimbang-nimbang benar tidaknya setiap informasi yang diterima.
Keenam, jangan terlalu polos seperti anak kecil dan percaya begitu saja apa yang disajikan oleh media. Sebaiknya lakukan survey dulu mengenai berita yang dimuat. Tidak ada salahnya untuk melakukan cek and ricek dengan media lainnya. Karena bisa jadi ada media yang lebih lengkap dalam memuat informasi yang disajikan kepada khalayak ramai.
Terakhir, poin ini terkadang susah dibedakan oleh pembaca, apalagi yang jarang membaca. Apa itu? Opini dan fakta. Keduanya hamoir sama, tapi sebenarnya memiliki perbedaan meskipun tipis. Namun biar bagaimanapun juga kalau dibanding-banding pasti kelihatan perbedaan antara opini dan fakta.
Kurang lebih seperti itu dulu, kalau mau menambahkan lagi silahkan tulis dik kolom komentar. Nanti kita diskusikan lebih lanjut jika memang apa yang saya ulas masih banyak kurangnya. Yang pastinya, perlu kehati-hatian dalam menerima informasi yang masuk lewat media sosial dan banyak hal yang mesti dipertimbangkan sebelum informasi itu ditelan semuanya dan disebarkan ke orang lain. Karena salah sedikit saja, maka yang ada hanya akan menjadikan fitnah dan bisa berujung pada perpecahan, termasuk antar agama.