Mohon tunggu...
Arby Duph
Arby Duph Mohon Tunggu... -

Serapah Para Bedebah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"The Last Survivors"

27 April 2018   17:25 Diperbarui: 27 April 2018   17:37 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang ini adalah bagian dari keserakahan manusia. Mereka menghancurkan dan memulai kembali apa yang telah mereka usahakan demi menuntaskan ego. Menghilangkan sisi kemanusiaan dan membumikan tatanan rimba raya. Mereka yang terkuat, mereka yang memimpin dunia.

Seribu tahun pasca Perang Dunia ke-II, grafik modernitas menurun sejak lima ratus tahun lalu.  Kini manusia kembali ke zaman titik nol peradaban. Maka, keadaan menuntut mereka untuk bertahan hidup. Tak terpedulikan lagi kebaikan dan keburukan. Inilah yang menyebabkan tingkat kriminalitas menanjak tanpa penegakan keadilan.  

Semua bangsa kini setara. Hidup dalam satu kapal bernama bumi. Tanpa Negara tanpa Pemimpin. Tuhan menghadiahi keserakahan manusia dengan layak. Karena dialah, yang berhak mengatur umat manusia sesuai kehendak-Nya.

Persaingan antar individu membentuk mereka untuk menjadi yang terkuat. Kembali, untuk kesekian kalinya keserakahan menjadi raja yang di sembah. Dan terbukti, percakapan langit antara Tuhan dan Malaikat tentang manusia. Tentang sekumpulan mahluk yang mendiami bumi, yang selalu berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah.

"Mungkin, hanya kematian yang memberi kedamaian." Kata Majeed kepada salah satu temannya.

"Tidak. Manusia berhak menentukan kedamaiannya sendiri." Timpal Syakeer atas pernyataan kawannya itu.

Mereka berdua adalah bagian dari puing-puing peradaban. Anak-anak muda yang mewarisi apa yang pendahulu mereka lakukan. Setidaknya, merekalah yang masih menjunjung tinggi solidaritas antar sesama.

"Majeed, stok makanan untuk saudara-saudara kita menipis. Bahkan tak cukup masa sampai seminggu." Ujar Syakeer.

Majeed terlihat tak bergeming. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Matanya jauh menerawang. Menembus dinding-dinding setinggi gedung lima puluh lantai. Tempat di mana para koloni yang berhasil menyusun kembali peradaban. Tempat di mana tumbuhnya ketamakan.

"Ada berapa saudara kita yang siap berburu?" tanya Majeed membuka suara.

Syakeer mafhum ke arah mana pertanyaan saudaranya itu, "Sekitar sepuluh orang siap dikerahkan."

Kembali Majeed bergeming. Barangkali sedang memikirkan strategi. Memikirkan taktik agar misi mereka berhasil.

Di seberang sana - sekelompok manusia yang menyebut diri koloni baru, tinggal dengan nyaman di dalam sebuah Dom raksasa seluas 1000 hektar. Tembok setebal lima meter dan setinggi lima puluh lantai mengitarinya. Seolah tak ingin terusik oleh anjing-anjing liar di luar tembok sana.

Tempat itu dibangun atas pendanaan Sembilan manusia yang akhir-akhir ini dikenal sebagai Sembilan Harimau. Siapapun yang ingin tinggal didalam sangkar itu harus tunduk di bawah telapak kaki mereka.

Jika kau lihat dari puncak pohon raksasa The Great Acasia, maka akan terpampang jelas kesenjangan itu.

Mereka menciptakan kembali alat tukar untuk memonopoli segala kebutuhan koloni. Bahkan orang-orang non-koloni yang mereka sebut anjing liar diperas habis. Dan kini, manusia-manusia di luar Dom berjuang mati-matian untuk bertahan hidup.

Inilah yang mendorong Majeed dan para anjing liar, untuk berburu. Menyelinap kedalam Dom, dan menyabotase setiap pengiriman logistik mereka.

Bag I Selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun