“Aku pengen mati”
“Kenapa?”
“Ga tau, kadang aku ngerasa ga berguna aja sih, dan aku ngerasa hidupku tuh ga lengkap. Seperti ada yang kurang. I miss my boyfriend” kataku menahan tangis. “Aku tu ngerasa ga bisa apa-apa tanpa dia, Wir” sambungku
“Apalagi yang kamu rasain, Wel?”
“Aku capek, aku pengen mati aja. Di otakku sekarang penuh dengan ajakan untuk mati, Wir. Makin kesini malah bukan ajakan tapi perintah”
Wira mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali dia menuliskan sesuatu di bukunya. Dia bertanya tentang orang yang paling berharga dalam hidupku, bagaimana hubunganku dengannya, lalu pertanyaan itu mengalir begitu juga dengan ceritaku hingga sesi pertama ini selesai.
Wira menyarankanku untuk mengambil jedah dari pekerjaanku dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan mama di rumah. Mungkin dia takut aku bertindak impulsif. Dia juga merekomendasikanku ke pskiater yang ia kenal.
Aku tau betul jika apa yang aku alami ini akan semakin memburuk jika tidak ditangani dengan tepat. Tadi pagi saja sebelum berangkat konsultasi aku menangis sejadi-jadinya di kamar mandi, aku teringat Ben, dan itu benar-benar membuatku down.
Apa saja yang berhubungan dengan Ben bisa membuat tangisku pecah, padahal aku sudah lama sekali tidak merasa begini. Aku ingat betul usahaku bangkit ketika ditinggal Ben dulu, amat tidak mudah. Dan sekarang usahaku itu nampaknya memang tidak membuahkan hasil maksimal. Aku masih belum bisa melepaskan Ben, juga belum bisa berdamai dengan diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H