Aku mendapatkan jadwal konsul Hari jumat, hariku off. Mungkin temanku sengaja memilih Hari itu agar aku bisa fokus dengan permasalahanku.
Tidak pernah aku segugup ini menunggu konsultasi pertamaku. Otakku seakan berteriak "Lari Welas!!! Lompat dari jendela, kamu ga gila!!!" Sekuat tenaga kulawan semua teriakan yang semakin menjadi-jadi di kepalaku. Tanganku menjadi begitu dingin, aku yakin ini Bukan cuma pengaruh ac. Entah kenapa kakiku terasa berat sekali melangkah, di depan pintu aku hanya bisa terpaku, tidak berani membukanya.
Seseorang membuka pintu dan seketika aku terkejut. Aku berusaha menutupi semua kegelisahan dengan berusaha menyapa orang di depanku
"Hai Wira, aku baru aja mau masuk" sapaku pada temanku itu. Dia psikolog yang aku harap bisa sabar mendengarkan semua ketakutan yang aku rasa. Tapi tentu saja seorang psikolog harus lah pendengar yang baik. Selain itu Dia tentu saja orang yang akan secara detail bertanya paadaku agar tidak salah mendiagnosis.
Wira memandangku dan tersenyum seraya mempersilakan aku masuk ke ruangannya. Jantungku berdegup sangat kencang, tanganku pun terasa basah oleh keringat.
“Wel, relax, take a deep breath” ucap Wira yang sedari tadi memperhatikanku. Kuikuti apa yang ia katakan hingga aku merasa agak tenang, lalu dia memberiku segelas air putih yang langsung kuteguk tanpa ampun.
“Wel, i miss you. Kita udah lama banget ga ketemu. Terakhir ketemu tuh setahun lalu kalo gue ga salah, di seminarnya Prof Stuart, kan?” Aku mengangguk dan langsung tertawa mengingat pertemuan kami di Seminar saat itu.
Aku melihat seorang wanita yang kerepotan sekali karena heels yang dia pakai patah. Kutawarkan sepatuku yang ada di mobil karena kulihat kakinya kecil seperti kakiku. Aku memang selalu membawa sepatu cadangan di mobil, just in case aja sih. Tapi memang semenjak kejadian itu kami tidak pernah lagi bertemu karena kesibukan masing-masing. Wira sibuk menyelesaikan S3nya di London, sedangkan aku sibuk dengan rutinitasku.
So, how’s life, Wel? Katanya mulai bertanya
Ya masih begini aja sih, aku masih sibuk pendampingan buat orang-orang. Tapi sepertinya justru akulah yang paling butuh pendampingan. Wira memperhatikanku dengan seksama
“Ok, how do you feel now?” Tanyanya lagi
“Aku pengen mati”
“Kenapa?”
“Ga tau, kadang aku ngerasa ga berguna aja sih, dan aku ngerasa hidupku tuh ga lengkap. Seperti ada yang kurang. I miss my boyfriend” kataku menahan tangis. “Aku tu ngerasa ga bisa apa-apa tanpa dia, Wir” sambungku
“Apalagi yang kamu rasain, Wel?”
“Aku capek, aku pengen mati aja. Di otakku sekarang penuh dengan ajakan untuk mati, Wir. Makin kesini malah bukan ajakan tapi perintah”
Wira mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali dia menuliskan sesuatu di bukunya. Dia bertanya tentang orang yang paling berharga dalam hidupku, bagaimana hubunganku dengannya, lalu pertanyaan itu mengalir begitu juga dengan ceritaku hingga sesi pertama ini selesai.
Wira menyarankanku untuk mengambil jedah dari pekerjaanku dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan mama di rumah. Mungkin dia takut aku bertindak impulsif. Dia juga merekomendasikanku ke pskiater yang ia kenal.
Aku tau betul jika apa yang aku alami ini akan semakin memburuk jika tidak ditangani dengan tepat. Tadi pagi saja sebelum berangkat konsultasi aku menangis sejadi-jadinya di kamar mandi, aku teringat Ben, dan itu benar-benar membuatku down.
Apa saja yang berhubungan dengan Ben bisa membuat tangisku pecah, padahal aku sudah lama sekali tidak merasa begini. Aku ingat betul usahaku bangkit ketika ditinggal Ben dulu, amat tidak mudah. Dan sekarang usahaku itu nampaknya memang tidak membuahkan hasil maksimal. Aku masih belum bisa melepaskan Ben, juga belum bisa berdamai dengan diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H