Aku tersenyum, mataku masih terpejam untuk beberapa saat lamanya. Membiarkan laptop yang seharusnya menjadi fokusku mulai mati layarnya. Aku membiarkan ketidakwarasanku mengambil peran. Aku bebaskan ia berkhayal dengan baik, memberikan aku kesempatan untuk dipeluknya lebih lama.
Hingga suara tawa dari sepasang pengunjung yang baru saja datang menyadarkanku dari khayalan. Membuat pelukan itu menghilang seketika, bersamaan dengan mata sendu yang kubuka perlahan.
Aku masih merindukannya, selalu merindukannya untuk waktu yang lama. Yang bahkan membuatku gila dan hilang akal kadang-kadang.Â
Keinginanku untuk bersamanya masih besar. Namun, kesempatan itu tidak pernah ada. Mengingat dia yang bahkan sudah tidak lagi berada di dunia yang sama dengan duniaku. Jika dulu kami memang bersama sebagai sepasang remaja hidup yang kasmaran, maka sekarang hadirnya hanya sebatas fatamorgana yang kubuat-buat.
Aku tertawa kecil ketika sadar aku melakukannya lagi. Membayangkan kalau dia hidup dan hadir kembali di sisiku. Dengan helaan napas yang memberat, aku membereskan semua barang yang kubawa. Aku memilih pergi dari sana setelah duduk begitu lama. Meninggalkan dua gelas kopi yang masih utuh.
Tepat ketika aku berbalik sebelum benar-benar pergi, dapat kutangkap sosoknya di sana. Memandangku dengan senyumnya yang selalu hangat. Tangannya melambai, seolah memberikan salam perpisahan yang tidak pernah sempat ia lakukan.Â
Aku hanya tersenyum tipis menatapnya. Karena mau bagaimanapun aku berusaha meninggalkannya di sana, nyatanya sosoknya yang selalu lebih dulu menghilang. Membuat meja itu kembali kosong, sama seperti perasaanku yang terus kosong setelah kepergiannya.
Karena seperti tinta di atas kertas, ia tak akan pernah hilang, meskipun kucoba untuk menghapusnya sekuat tenaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H