Mohon tunggu...
Aramaya
Aramaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis novel Tiga Belas (2023: Media Semesta) dan novel Aku Hanya Seorang Anak Perempuan (2023: Media Semesta)

Perempuan kelahiran '05 yang gemar berhalusinasi dan bermain-main dengan dunia fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Asmaraloka

9 Juni 2024   10:00 Diperbarui: 12 Juni 2024   21:00 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tersenyum, mataku masih terpejam untuk beberapa saat lamanya. Membiarkan laptop yang seharusnya menjadi fokusku mulai mati layarnya. Aku membiarkan ketidakwarasanku mengambil peran. Aku bebaskan ia berkhayal dengan baik, memberikan aku kesempatan untuk dipeluknya lebih lama.

Hingga suara tawa dari sepasang pengunjung yang baru saja datang menyadarkanku dari khayalan. Membuat pelukan itu menghilang seketika, bersamaan dengan mata sendu yang kubuka perlahan.

Aku masih merindukannya, selalu merindukannya untuk waktu yang lama. Yang bahkan membuatku gila dan hilang akal kadang-kadang. 

Keinginanku untuk bersamanya masih besar. Namun, kesempatan itu tidak pernah ada. Mengingat dia yang bahkan sudah tidak lagi berada di dunia yang sama dengan duniaku. Jika dulu kami memang bersama sebagai sepasang remaja hidup yang kasmaran, maka sekarang hadirnya hanya sebatas fatamorgana yang kubuat-buat.

Aku tertawa kecil ketika sadar aku melakukannya lagi. Membayangkan kalau dia hidup dan hadir kembali di sisiku. Dengan helaan napas yang memberat, aku membereskan semua barang yang kubawa. Aku memilih pergi dari sana setelah duduk begitu lama. Meninggalkan dua gelas kopi yang masih utuh.

Tepat ketika aku berbalik sebelum benar-benar pergi, dapat kutangkap sosoknya di sana. Memandangku dengan senyumnya yang selalu hangat. Tangannya melambai, seolah memberikan salam perpisahan yang tidak pernah sempat ia lakukan. 

Aku hanya tersenyum tipis menatapnya. Karena mau bagaimanapun aku berusaha meninggalkannya di sana, nyatanya sosoknya yang selalu lebih dulu menghilang. Membuat meja itu kembali kosong, sama seperti perasaanku yang terus kosong setelah kepergiannya.

Karena seperti tinta di atas kertas, ia tak akan pernah hilang, meskipun kucoba untuk menghapusnya sekuat tenaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun