Mohon tunggu...
Aral 63
Aral 63 Mohon Tunggu... -

Writter|Blogger|Pejuang Mimpi|Pelajar SMA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjemput Kenangan

21 September 2014   16:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:02 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Aral

Petiklah kenangan mu sebelum daunnya menguning , hingga kelopaknya berguguran. Jangan lupa tanam bijinya di halaman rumahmu, mungkin esok, lusa atau  pada waktunya nanti ia akan tumbuh dan kau dapat memetiknya lagi.”

Kupikir, hidup ini akan lebih indah jika setangkai kenangan itu berada di sini. Setidaknya ia akan menemaniku barang dua atau tiga hari, sampai kenangan itu layu,  lalu mengering dan rapuh. Jika ia disini aku akan menjaganya baik-baik, aku tak ingin kenangan yang berharga itu rusak. Aku tak akan menikmatinya dengan cara yang menyedihkan, mengupas satu per satu kelopaknya dan mengulumnya hingga rapuh dalam mulut. Tidak! Itu sungguh cara yang menyedihkan. Aku akan meletakkannya di dalam gelas  dan  membiarkan aromanya menguap hingga memenuhi seluruh ruangan. Dengan begitu aku dapat menikmatinya kapan pun.

Namun semua angan angan itu hanyalah harapan kosong, kenyataannya setangkai kenangan itu tak pernah berada disini. Ia tertinggal jauh di sebuah kota , dimana aku pernah melalui semua itu bersamamu, dalam masa masa sekolah yang menyenangkan.  Dan kini aku benar benar menyesal telah meninggalkan kenangan itu disana. Seharusnya saat itu aku membawanya  kemari, membiarkannya tumbuh subur di halaman rumah.  Setidaknya di setiap aroma kenangan yang ku hirup  aku tak pernah merasa kesepian. Tapi ini semua tinggallah penyesalan, yang lalu biarlah berlalu , dan biarkan hidup ini berjalan dengan semestinya.  Aku tak bisa menyalahkan keadaan.Ini bukan salahku ,juga bukan salahmu, ini bukan salah siapa siapa. Hidup ini adalah sebuah kisah, dan  apa saja bisa terjadi di dalamnya. Jika suatu kisah dimulai dengan kebahagiaan, belum tentu juga diakhiri dengan kebahaagiaan bukan?.

Jika memang benar seperti itu, maka demikianlah yang terjadi. Saat itu kau pergi dari ku tanpa meninggalkan sebuah alasan pun. Kau menghilang begitu  saja, bagai ditelan bumi. Sejak saat itu aku tak lagi melihat tawamu yang renyah seperti kerupuk. Bahkan aku tak pernah menerima sepucuk kabar pun darimu hingga detik ini. Kemana kah kau Anjani? Dimanakah dirimu?.  Ini bukanlah hal yang lucu untuk ditertawakan. Sungguhpun demikian, di malam malam yang panjang aku masih berharap bahwa kau akan kembali. Maka saat itulah aku memutuskan untuk pergi meninggalkan kota itu, pergi meninggalkan semua kenangan kenangan  yang ada, tanpa membawanya setangkai pun. Aku pergi dari sana dengan sepotong hati yang kesepian, bersama sebongkah jiwa yang resah. Maka  aku datang ke kota terkutuk ini  dengan harapan dapat menemukan mu, Anjani.

Setelah sekian lama melupakannya, malam ini  aku kembali merindukan kenangan kenangan itu, malam ini kenangan itu menjadi begitu berharga, aku harus membawanya kesini. Maka aku putuskan untuk kembali ke kota itu untuk menjemput kenangan yang telah sekian lama tertinggal. Mungkin sekarang kenangan itu sudah tumbuh liar di jalanan, bermekaran dan tak seorangpun yang peduli. Maka aku harus mengambilnya, aku harus memilikinya sebelum kenangan kenangan itu benar benar terlupakan olehku.

***

Kota ini bernama Hujan. Nama itu  adalah pemberianmu bukan?. Saat itu kau bersikeras   menamai kota ini dengan kata” Hujan”,  kau bahkan tak pernah mau memberitahuku alasanmu menamai kota ini dengan kata itu. Padahal yang sama sama kita tahu,  hujan tak selalu turun setiap saat di kota ini.  berkali kali aku bertanya padamu untuk sebuah alasan yang konyol,  kau memang wanita yang aneh, Anjani. Kau selalu menyimpan segala sesuatu dalam benakmu, lalu  menguncinya rapat rapat seolah agar orang lain tak pernah tau. Sekalipun itu hal yang konyol seperti ini.  dan pada akhirnya akulah yang menyerah karna kau selalu bungkam. Semua ada dalam benakmu, dan sampai kapan pun aku tak akan pernah tahu sampai kau mengatakannya padaku.

Malam ini aku kembali ke kota ini. masih dibawah langit yang sama, rembulan yang sama. Dimanakah kau selama ini Anjani ?.  Aku disini, di jalan yang sama saat kali pertama aku mengenalmu. Jalan yang selalu kita lewati bersama sepulang sekolah.  Di jalan ini lah kau dan aku berbagi cerita, kau dan aku sama sama suka bercerita, kita selalu menceritakan apa saja yang bisa diceritakan. Kau tak akan lupa bukan? Saat kau dan aku terlibat dalam perdebatan, karena kau menamai kota ini dengan kata itu.namun pada akhirnya akulah yang kalah , karna kau memang keras kepala.masih banyak kenangan lain yang telah kita lalui bersama,Anjani. Hanya kita berdua, hanya kau dan aku. Mungkin jika kau disini, kita dapat mengulang nya sekali lagi. Dijalan ini pulalah, terakhir kali aku melihatmu, sebelum kau menghilang entah kemana.

JIka aku tak lagi disini, apakah kau akan melupakan ku, Rei?.” Saat itu kau membuka pembicaran dengan nada dan suara yang tak biasanya.

Aku menggeleng.Tentu tidak Anjani. Siapa yang mampu melupakan wajah manis mu itu? “Apakah.kau akan pergi?” kau mengangguk, tapi kembali menggeleng ketika aku bertanya tentang alasan yang pasti. Begitulah dirimu, kau memang wanita yang menyebalkan. Setidaknya kau memberiku sebuah alasan untuk hal yang pelik ini,  Anjani. Tapi kau malah membiarkan ku terjerembab dalam semua ini. Kau membiarkan ku mengutuki nasib yang sebenarnya tak bersalah.

***

Jalanan ini ditumbuhi banyak kenangan, malam ini mereka bermekaran. Harum nya bertebaran memenuhi langit, dan udara menjadi begitu pekat dengan aroma aroma kenangan itu. Warna peraknya berkilat kilat ketika diterpa sinar rembulan, kenangan yang bermekaran itu mirip dengan mawar, tapi sungguh, ia lebih indah. Tangan ku terjulur untuk memetiknya. Aku ingin membawanya pulang, agar aku selalu ingat padamu, Anjani.

Hai!! Apa yang kau lakukan disana?!  “ seorang laki laki mendekat, ia setengah berlari di antara kenangan kenangan itu.” Berhenti !! jangan petik bunga itu, itu bunga kutukan!”

Apa? apa maksudnya? Bunga kutukan? Aku tak mengerti apa yang ia bicarakan, ini kenangan ku, bukan bunga kutukan. Aku akan memetiknya dan membawanya pulang.

Ini adalah bunga kutukan, jangan coba coba memetiknya jika kau tak mau dikutuk!”

Apa? dikutuk?, siapa yang akan mengutukiku? Lalu siapa kau...?”

Akulah yang menjaga semua bunga bunga kutukan ini, dan .... Ah !! sudahlah, lebih baik kau pergi sekarang! Pergilah jika kau tak ingin dikutuk. Pergilah! Dan jangan pernah kembali lagi “ ia mengusirku.

Tunggu..! kau  “ aku tak berani melanjutkan pertanyaan ku ketika mata pemburunya menatapku tajam sekali, seperti serigala yang siap menerkam seekor kijang. Aku memalingkan badan dan lelaki itu masih disitu dengan mata pemangsanya.

Aku harus kembali dengan kenangan itu, tapi bagaimana caranya? Kenangan itu dijaga oleh lelaki berwajah menyeramkan. Maka aku putuskan untuk mengambilnya diam diam ketika lelaki itu pergi.aku akan menunggu sampai lelaki itu pergi. Dengan hati hati, aku mengendap-endap dalam kegelapan. Aku bersembunyi disemak semak. Lelaki itu masih disana, aku mengawasi setiap pergerakannya dari selah sempit diantara dedaunan. Beberapa jenak kemudian, lelaki itu kembali berjalan ke tempat ia muncul lalu lesap dalam kegelapan. Aku berjalan cepat, dan berhati hati, agar tak menimbulkan suara sedikitpun saat mendekati kenangan itu. Aku memetiknya setangkai lalu menyimpannya dalam saku jaket ku. Tapi lelaki iti akhirnya kembali, kali ini ia berlari sekencang kencangnya.

Hai!! Apa yang kau lakukan? kembalikan  bunga itu!!”  ia mengejarku, tapi aku sudah lebih dulu berlari. Aku berlari sekencang kencangnya. Di perempatan jalan, aku berbelok dan sembunyi di kolong truk. Dengan begini lelaki itu tak akan menemukanku. Aku sempat mendengar derap langkahnya mendekat, tapi kemudian menjauh lagi. Sepertinya lelaki itu terkecoh.

***

Didalam  kereta, aku meraba saku jaketku, untuk memastikan bahwa kenangan itu baik baik saja. Aku mendekatkannya ke hidung, ia masih sama segarnya saat aku memetiknya tadi malam. Aromanya dengan cepat menyebar dan memenuhi langit langit gerbong. Dalam  hitungan detik, aroma kenangan ini mampu mengusir bau peluh yang menyengat. Berpasang pasang mata menatapku , ketika kenangan itu berkilat di terpa cahaya matahari yang menyusup dalam gerbong.

Bunga apa ini Dik?”

Aku tersenyum.” Ini bukan bunga, ini kenangan”

Wah! Harum sekali!!”

Indah sekali ia”

Kau sungguh beruntung!”

Boleh aku memegangnya?”

Mereka tak henti hentinya berdecak kagum menyaksikan setangkai kenangan yang indah ini.

***

Aku memasukkan  setangkai kenangan itu dalam gelas dan meletakkannya di sudut meja, agar aku dapat menikmatinya kapan pun. Aromanya masih tetap bertebaran. Dua hari kemudian, kenangan itu layu, sepasang daun dibawah kelopaknya sempurna menguning. Pada hari berikutnya, ia mulai mengering ,dan satu persatu kelopaknya berguguran. Pada hari hari berikutnya setangkai kenangan itu mulai rapuh. Mungkin inilah akhir dari semua kenangan ini. Aku menanam bijinya dihalaman rumah. Mungkin esok, lusa atau entah kapan waktunya, ia akan tumbuh dan aku dapat memetiknya sekali lagi. Tapi  biji kenangan itu tak bisa bicara, dan ia tak pernah memberi tahuku kapan ia akan tumbuh. Mungkin di suatu pagi yang ajaib,kenangan itu  akan kembali tumbuh dan mekar.

Pekanbaru, 17 maret 2014

03:10 PM

Untuk, F

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun