Sebagai orang yang menghabiskan lebih dari separuh umur di pesisir Sumatera, angkringan adalah sesuatu yang istimewa. Seistimewa Jogja itu sendiri. Hey, tidak ada satu titik pun di Sumatera di mana kalian bisa makan nasi hanya bermodal seribu dua ribu rupiah saja. Di Sumatera, kami sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang serba-mahal.
Saya masih ingat dengan minggu-minggu pertama ketika diboyong suami ke Jogja, ke tanah kelahirannya. Saat itu, saya yang terbiasa hidup serba ada di rumah orang tua di Sumatera, cukup syok juga ketika harus memulai segalanya dari nol dengan suami di sebuah rumah kontrakan. Saya tidak bisa memasak karena perabotan dapur belum lengkap dimiliki. Kami juga tidak bisa juga sering-sering beli makanan yang terlalu jauh karena belum punya kendaraan. Sementara jika harus pesan makanan melalui aplikasi online, lumayan juga biaya yang harus dikeluarkan. Padahal, kami tahu harus segera menstabilkan keuangan kembali setelah semua tabungan terkuras untuk biaya pernikahan.
Lalu, solusi di kala perut sudah waktunya minta diisi pun muncul begitu saja. Hanya sekian langkah dari rumah : angkringan.
Sebuah gerobak sederhana dengan banyak pilihan makanan tertata apik di atasnya. Nasi dan lauk pauk dijajakan dengan porsi minimalis namun tetap menggugah selera. Sambal teri, sambel bandeng, oseng tempe, tahu dan tempe bacem, aneka gorengan, Â sate-satean, hingga kerupuk dan aneka jenis minuman hangat.Â
Di angkringan, tempat makan sederhana yang jauh dari hingar bingar dan gemerlapnya cafe itulah saya menyadari, bahwa kelezatan juga bisa tercipta dari kesederhanaan dan rasa syukur. Makanan apapun akan terasa nikmat kalau perut sudah lapar dan uangmu pas-pasan. Kapankah kalian terakhir kali merasa sangat bersyukur karena perut yang kenyang?
Sugiarto, salah satu pemilik angkringan di wilayah Caturtunggal, Depok, Sleman membenarkan jika angkringan pada awalnya ditujukan pada kelompok masyarakat yang punya budget pas-pasan. Angkringan berakar dari kepedulian, agar orang-orang masih tetap bisa makan meski nyaris tidak punya uang. "Makan itu kan kebutuhan pokok. Angkringan ini ada ya agar masyarakat tetap bisa makan meski mungkin lagi kesusahan ndak punya uang. Tentu menu dan porsinya dibuat sedemikian rupa agar tetap bisa dijual dengan harga terjangkau," kata Sugiarto.
Menurut Sugiarto yang saya temui belum lama ini, pelanggan angkringan miliknya didominasi oleh mahasiswa atau penghuni kos kosan. Meskipun tidak menutup kemungkinan masyarakat umum juga turut membeli dagangannya. "Biasanya kalau di rumah sedang tidak masak jadi beli lauk di sini. Bapak-bapak dan anak muda juga sering mampir karena sekalian ngobrol-ngobrol malam hari. Tapi pelanggan terbanyak memang dari kalangan mahasiswa atau karyawan-karyawan penghuni kosan."
Menurut Sugiarto, konsep berdagang angkringan sebetulnya berasal dari Cawas, Kabupaten Klaten. Di daerah asalnya, para pedagang menjajakan makanan jualannya dengan cara dipikul. Namun saat ini, angkringan justru identik dengan Yogyakarta.
Berdiri sejak 5 tahun lalu, angkringan milik Sugiarto buka dari pukul 2 siang hingga tengah malam. Omset yang didapat berkisar Rp 350 ribu per hari. Angkringannya cukup laris, namun memang sempat terdampak pandemi beberapa waktu lalu. Beruntung, saat ini segalanya sudah mulai kembali normal.