Ada yang pernah iseng memperhatikan foto profil akun kompasiana saya? Kaos abu-abu yang saya kenakan bertuliskan "I'm Fujoshi". Nah, hari Minggu (20/1) kemarin, dunia per-fujoshi-an Indonesia mendadak "gempar". Penyebabnya adalah tayangan berita di Net TV yang membahas fenomena fujoshi di Indonesia.Â
Sayangnya, liputan berdurasi dua menit dua puluh detik tersebut benar-benar hanya mengulas kulit ari saja. Orang-orang yang belum mengerti apa dan bagaimana dunia fujoshi kemungkinan besar akan langsung terteror atau paranoid kalau melihat tayangan tersebut.Â
Sebagai orang yang sudah memasuki usia 10 tahun menjadi fujoshi, saya merasa terpanggil untuk berbagi dengan ulasan yang mungkin lebih dalam. Tulisan yang saya buat ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggurui, hanya mencoba memberi sudut pandang lain dari kacamata seorang fujoshi. Sisanya, saya kembalikan lagi pada pribadi masing-masing dalam menyikapinya.
Apa itu Fujoshi?
Fujoshi adalah istilah yang berasal dari bahasa Jepang yang secara harafiah berarti "Perempuan Busuk". Pada praktiknya, istilah ini merupakan sebutan untuk perempuan yang menggemari manga (komik Jepang) bergenre Boys Love atau mengisahkan percintaan antara laki-laki dengan laki-laki (Gampangnya homo-homoan).Â
Jika di Indonesia konten LGBT dianggap tabu, tidak demikian di negara asalnya. Genre ini memiliki penggemar dan pasar tersendiri. Tidak sedikit pula toko buku yang menyediakan space khusus untuk genre Boys Love.Â
Mirip unsur bromance dalam karya-karya yang bukan Boys Love. Beberapa teman normal (baca : bukan fujoshi) yang pernah saya minta membaca komik Shounen Ai mengaku tidak melihat keanehan karena cuma bernafaskan persahabatan atau persaudaraan biasa.Â
Semula Fujoshi hanya merujuk pada penggemar konten berwujud manga, belakangan mulai meluas ke anime, doujinshi (manga independen, buatan sendiri), fanfiction, film, novel, cerpen, atau apapun yang pokoknya berunsur Boys Love.
Fujoshi juga bukan sebuah fenomena baru. Istilah ini sudah dipakai sejak awal 2000-an meski manga yaoi pertama diterbitkan jauh sebelumnya,yakni sekitar tahun 1970-an. Mudahnya akses informasi membuat budaya ini dengan mudah tersebar ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.Â
Saya sendiri mengenal istilah Fujoshi sejak tahun 2009 silam. Sudah lama memang. Waktu itu saya mencari informasi tentang dunia gay untuk sebuah kepentingan.Â
Percayalah, sulit sekali mencarinya saat itu karena fenomena LGBT belum se-booming dan seterbuka sekarang. Hasil googling saya saat itu malah menyasar ke forum-forum fujoshi. Menariknya, tak hanya postingan berbahasa Inggris, postingan lokal juga sudah banyak.
Jadi saya juga bingung juga sih kenapa fenomena ini baru "diributkan" sekarang.
Mengapa Makin Banyak Perempuan Menjadi Fujoshi?
Kan aneh. Menjijikkan. Abnormal. Apa Bagusnya? Dan sederet bla bla bla yang lain.
Jawabannya sepele sih menurut saya : Selera.
Seperti yang sudah saya singgung di atas, Boys Love (Yaoi & Shounen Ai) itu "cuma" genre. Kalau mampir ke portal komik-komik online, bisa lihat sendiri kok. Yaoi dan Shounen Ai ini cuma dua dari sekian banyak genre yang ada.Â
Ibarat makanan, ada saja sekelompok manusia yang menggemari jenis-jenis makanan tertentu. Sekalipun makanan itu terlalu ekstrem atau mungkin tidak baik bagi tubuh, tetap saja ada orang-orang teryentu yang menyukainya. Film juga begitu, ada yang suka horor, ada juga yang maniak gore. Selera pribadi orang tidak bisa dipaksakan, bukan?
Karya-karya ini adalah wujud ekspresi dan fantasi liar perempuan, khususnya dalam hal seksualitas. Sudah rahasia umum kalau konten dewasa sasaran pasarnya mayoritas adalah laki-laki, sehingga lebih banyak mengeksplorasi tubuh wanita. Padahal kalau dilihat oleh perempuan jadi terasa memuakkan.Â
Konten Boys Love menjadi oase karena memang cocok dengan selera perempuan (lah yang bikin perempuan kok). Baik dari segi cerita maupun style gambar.Â
Misalnya dalam menampilkan fondasi cerita yang kuat, tokoh-tokoh menarik dari segi visual (berupa ikemen a.k.a cowok ganteng nan manly-- maupun bishounen a.k.a cowok cantik), interaksi seksual yang manis (lebih banyak pelukan atau kecupan, kalaupun berakhir panas dan vulgar biasanya sudah didahului foreplay yang lama).Â
Seorang teman, laki-laki tulen dan normal pernah bilang saat tanpa sengaja membaca sebuah komik Boys Love. Sebagai cowok, aku benar-benar risih dan nggak nyaman membacanya.Â
Tapi di sisi lain, aku jadi ngerti apa yang sebenernya diinginkan perempuan untuk urusan seks. Benar-benar berkebalikan dari yang ada di film bokep yang selama ini kami konsumsi. Pantas di dunia nyata cewek terkesan dingin dan ga tertarik.
Nah. Sudah tahu kan kalau referensi dari bokep itu sebetulnya menyesatkan?Â
Tapi..., tapi..., kenapa harus laki-laki sama laki-laki?
Yah, apa bedanya sih dengan kaum pria yang diam-diam hobi menikmati konten lesbian?Â
Sampai sejauh ini, seharusnya kita sepakat kalau dunia per-fujoshi-an dan seluk beluknya ini tentunya hanya diperuntukkan untuk mereka yang sudah cukup umur. Meski begitu, salah besar jika menganggap fujoshi ini adalah kumpulan cewek mesum dan vulgar yang pikirannya hanya berputar di lendir dan selangkangan.Â
Awal berkenalan dengan dunia fujoshi, saya sempat berpikir seperti itu sih (dan kenyataannya memang banyak fujoshi yang begitu). Namun semakin dalam mengenal, tidak sesederhana itu. Semakin banyak karya ber-genre Boys Love yang saya baca, saya menyadari bahwa cerita-cerita di dalamnya tak melulu bicara seks.Â
Banyak sekali yang punya jalan cerita yang lebih bagus, lebih manis, lebih kompleks, lebih tragis,lebih unik, lebih mengaduk-aduk perasaan, dan lebih lebih lebih pokoknya ketimbang genre yang lain.Â
Saya pun kian selektif karena ada begitu banyak judul dan tentunya tidak semua berkualitas. Karya yang patut diperhitungkan dari segi kualitas inilah yang kemudian membuatnya kian digandrungi. Bukan hanya oleh kaum perempuan, namun juga kaum pria. Yups, sekarang ada banyak juga kok laki-laki yang menggemari genre Boys Love. Ada istilah sendiri untuk fujoshi berkelamin laki-laki ini, yakni fudanshi.
Fujodanshi (akronim fujoshi dan fudanshi) sendiri tidak bisa disamakan satu sama lain. Ada klasifikasinya sendiri. Ada yang lebih menyukai karakter dominan (seme), ada yang lebih senang dengan karakter submisive (uke). Ada yang maniak dengan mangaka tertentu, atau jenis cerita tertentu. Macam-macam pokoknya.
Namanya juga penggemar, ada yang sekadar mengagumi dalam porsi wajar, ada yang luar biasa fanatik dan garis keras.Â
Saya sendiri paling suka yang berbau psikologis, karena paling relevan dengan alam pelangi yang sering saya temui di dunia nyata. Hal ini membuat saya lebih memahami apa yang ada di pikiran manusia homoseksual. Bukan untuk mendukung, tapi terbukti sangat membantu saya untuk tidak berlarut membencinya.
Fenomena Kebablasan?
Nah, seperti yang sudah disinggung dalam tayangan Net TV dan patut menjadi pemikiran kita bersama sekarang adalah, ketika bocah-bocah SMP dengan pede dan bangganya mengaku sebagai fujoshi. Bahkan tidak sedikit pula yang merambah sebagai pengarang baik yang diposting di media sosial pribadi mau pun lewat platform kepenulisan online macam wattpad atau fanfiction.Â
Sementara, kami para fujoshi dewasa justru kebanyakan malah mati-matian menyembunyikan hobi nyeleneh kami ini. Saya pribadi, meski tidak terlalu menutup diri terkait identitas ke-fujoshi-an, sebelum ini rasanya tidak pernah sengaja koar-koar bilang ke seluruh dunia. Tadinya saya pikir malah cuma saya yang nyeleneh, ternyata banyak juga yang satu frekuensi.
Saya tahu, kultur masyarakat kita berbeda dengan Jepang. Membicarakan hal seperti ini masih dianggap tabu. Yah, intinya kami sudah tahu bagaimana seharusnya bersikap lah. Tahu apa itu malu. Saya juga selalu pilih-pilih dengan siapa kalau mau membicarakan tentang konten Boys Love. Obrolan dengan komunitas sesama fujoshi pun biasanya hanya dilakukan di grup privat.Â
Anak-anak di bawah umur yang terjun ke dunia fujoshi jelas tidak pantas. Sama seperti halnya kalau mereka mengonsumsi konten-konten orang dewasa lainnya.Â
Dear, Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saat ini mungkin mengkhawatirkan anaknya, saya cuma pengen bilang, sia-sia lho kalau mau melarang konten-konten ini masuk ke Indonesia. Ibaratnya seperti menghadang tsunami pakai payung. Kominfo mungkin sudah merasa keren karena sudah memblokir sejumlah situs yang dianggap berbahaya.Â
Tapi saya pengen cerita, tempo hari waktu tumblr masih diblokir, seorang anak kelas 6 SD ngasih tahu saya soal soal VPN dan ngajari saya membuka situs yang diblokir itu cuma dalam hitungan detik. Kelas 6 SD lho, Pak, Bu. Dia jelas sudah selangkah lebih pintar soal internet dibanding saya.
Membuka blokiran itu ternyata amat sangat gampang. Apalagi cuma sekadar menemukan konten Boys Love, lha situs situs komik online-nya saja sama dengan kalau mereka baca Naruto atau Shinchan. Eh, bicara komik, adakah yang sadar kalau cerita Cardcaptor Sakura dan Chibi Maruko Chan juga mengandung unsur Boys Love?Â
Seberapa persen sih dari orang tua zaman sekarang yang mampu mengikuti dunia hobi dan kegemaran anaknya? K-Pop, Anime, Game, Youtuber, Selebgram.
Dunia sudah berbeda, Pak, Bu. Ketimbang menghadang tsunami pakai payung, alangkah lebih bijaknya membekali mereka kemampuan berlayar di tengah badai. Agama, iman, pendidikan moral, cinta, bahasa kasih yang satu frekuensi dengan mereka, sex education. Hal-hal semacam ini mudah-mudahan (amin!) akan membentuk kapal yang tangguh sekaligus menjadi benteng kokoh dari dalam diri mereka sendiri.Â
Bentuklah mereka jadi manusia berkarakter. Ingatkan selalu tentang bermacam wujud badai di dunia luar termasuk tips-tips dan cara menghadapinya. Ajari pula kapan harus melawan dan kapan harus lari. Sehingga ketika ada konten tidak pantas yang kemudian mendadak melintas di depan mereka lewat iklan youtube misalnya, mereka sudah tahu apa yang dilakukan.Â
Mama dan mendiang papa saya tahu saya fujoshi. Tapi mereka bisa bersikap santai, mentok hanya mengingatkan untuk jangan berlebihan sampai lupa waktu. Banyak hal lain untuk diprioritaskan. Mereka santai, karena mereka tahu sudah membekali saya sejak kecil dengan pemahaman agama dan standar moral dalam setiap didikan mereka.Â
Plus kepercayaan bahwa saya sudah dewasa, sudah bisa bertanggung jawab atas apapun yang dilakukan termasuk tahu segala konsekuensinya. Efek samping paling nyata dari kefujoshian saya itu adalah : entah bagaimana, saya jadi jauh menyukai tipe cowok cantik ketimbang yang macho
Fujoshi ini, menurut saya tidak lebih dari sekadar hobi ekstrem.
Tidak menuntut orang lain memahami.
Tidak memaksa orang juga harus mengikuti.
Bisa berbahaya jika tidak cukup nyali maupun kelengkapan atribut safety.
Semua hanya demi kepuasan batin pribadi.
Salam dari Tepian Musi,
Arako.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H