Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Yang Saya Rasakan Saat Jadi Korban Gempa Waktu Itu

1 Oktober 2018   02:45 Diperbarui: 2 Oktober 2018   08:34 2535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seumur hidup, saya sudah pernah mengalami sendiri guncangan gempa besar di atas 7 Skala Richter (SR) sebanyak dua kali. Pertama 7,3 SR saat kelas 4 SD (tahun 2000), dan 7,9 SR saat kelas 2 SMA (tahun 2007). Dua-duanya di Bengkulu.

Kejadian gempa di Lombok dan Palu yang terjadi baru-baru ini, mau tidak mau menjemput kembali memori kelam yang sudah belasan tahun terkubur di dasar kepala. Bayang reruntuhan bangunan, serta orang-orang yang mukanya bengkak, berbibir sobek, atau sekadar diperban sana sini kembali hadir begitu saja. Begitu jelas, seperti ditempelkan langsung ke retina.

4 Juni 2000, saya masih bocah SD yang bandel. Belum juga beranjak tidur, padahal sudah lewat dini hari. Papa dan mama baru pulang dari rewang di tempat hajatan tetangga sebelah rumah. Saat itulah gempa terjadi.

"Lindu, linduu!," teriak Mbah Putri saya yang di kamar belakang. Lindu itu bahasa Jawa, artinya gempa.

Saya kaget dan bingung. Tidak mengerti dengan bunyi gemuruh mengerikan, atap dan lantai yang berguncang menakutkan. Papa langsung bergegas mengambil kunci, berusaha membuka pintu. Naas, listrik mendadak padam. Jika mati lampu saja biasanya sudah cukup untuk membuat anak kecil merinding ketakutan, bayangkan jika ditambah guncangan dahsyat itu.

Kami sekeluarga (papa, mama, Mbah, Kakak dan saya sendiri) berkumpul di depan pintu, berharap pintu segera terbuka. Bayang rumah tua kami yang bisa runtuh kapan saja dan menimpa kami semua itu benar-benar mengerikan. Ntah karena panik atau bagaimana, papa tak jua berhasil membuka pintu.

Gempa pertama selesai, membuat kami mendesah lega. Tapi sesaat saja, hanya beberapa menit kemudian, guncangan gempa susulan kembali terasa ... dan kami masih terkunci di dalam. Kami tak bisa memikirkan hal lain lagi kecuali berdoa. Benar, hanya Tuhan yang diingat di saat kritis seperti itu.

Bersyukur, akhirnya kami bisa keluar. Di lapangan yang berada persis di depan rumah, sudah berkumpul para tetangga. Ada yang kakinya bersimbah darah dan pelipisnya luka.

Saya merinding. Dini hari itu juga, tenda darurat didirikan. Kami tidur umpel-umpelan dengan para tetangga dalam tenda. Meski takut dengan gempa yang barusan terjadi, ada rasa senang aneh yang menyusup di dalam hati. "Asyik, seperti kemah," pikir saya waktu itu. Sebuah kepolosan anak kecil yang sepertinya tolol kalau dipikir sekarang.

Listrik masih padam. Ada tetangga yang membawa radio kecil. Menyetel siaran RRI. Saya tidak ingat apa isi berita yang dibacakan saat itu. Tapi jelas terkait gempa yang baru saja terjadi. Malam itu, saya mendengar kata "sunami" untuk pertama kalinya. Hanya mendengar, belum memahami sepenuhnya mengapa kata yang terkait gempa itu kok sepertinya menakutkan sekali bagi orang dewasa.

Keesokan harinya, saat hari terang, kondisi sebenarnya terlihat. Saya bersyukur rumah tua kami masih berdiri. Hanya 2 buah genting yang jatuh dan sebuah retakan kecil di tembok belakang. Tapi tidak dengan rumah tetangga. Bagian belakangnya hancur total ...

Belum ada yang punya ponsel saat itu. Saya diajak papa mengunjungi keluarga kakek di desa lain. Di sepanjang perjalanan, saya melihat rumah-rumah hancur...tak sedikit pula yang rata dengan tanah. Syukurlah keluarga kakek selamat, namun di desa kakek tercatat ada yang meninggal dunia tertimpa reruntuhan.

Rasa senang terkait "kemping" semalam langsung menguap. Berganti ngeri, berganti merinding. Namun bagaimana pun nyatanya saya tetap anak-anak ... Saya dan teman-teman mempunyai cara tersendiri untuk melupakan kengerian. Kami bermain di lapangan dan di seputar tenda sepanjang waktu.

Hari-hari berikutnya, saya menjadi akrab dengan kata bantuan dan relawan. Berkardus-kardus mie instan dan sembako menjadi bagian hidup sehari-hari. Orang-orang gagah berbaju loreng menjadi banyak di desa kami. Begitupun kakak kakak dan mbak mbak cantik yang katanya "mahasiswa kedokteran" dan sering menggelar pengobatan gratis. Itu masa-masa ketika saya menjadi muak sekali dengan mie instan.

Saat membaca koran lokal yang tak pernah absen dibeli papa di hari-hari berikutnya, saya tahu bahwa sedikitnya ada 100 orang meninggal dalam peristiwa itu.

***

12 September 2007, jelang Magrib, tepat sehari sebelum puasa.

Saya bukan lagi bocah SD. Tapi anak SMA kelas 2 yang sedang libur awal Ramadhan. Saya dan sepupu membantu papa di lapak jualan di pasar. Sudah mau tutup dan bersiap pulang.

Saat itu gempa besar kembali terjadi. Guncangan terasa sekali di kaki telanjang saya. Papa membimbing saya dan adik sepupu ke tengah pasar, di mana kios sebagian besar hanya terdiri dari tiang kayu beratap terpal plastik. Menjauh dari kios sendiri yang bangunannya dari tembok batu bata. Kami merunduk dan berlindung di bawah meja kayu.

Kami selamat. Sepanjang perjalanan pulang, tak saya temukan bangunan-bangunan rusak parah seperti gempa tujuh tahun lalu. Namun kekhawatiran besar lain segera menyusul : Tsunami.  Ya, saya, gadis 16 tahun yang sudah bisa menuliskan kata itu dengan tepat, serta memahami benar artinya. Terutama sejak peristiwa Aceh tahun 2004.

Bengkulu adalah daerah pesisir dengan garis pantai terpanjang se-Indonesia. Jika sampai terjadi tsunami, maka habis sudah. Sampai di rumah, tetangga sudah banyak yang mengungsi ke daerah lebih tinggi. Saya menelpon mama yang ada di kabupaten lain, syukurlah ... mama selamat dan berjanji segera pulang.

Saat gempa tahun 2007, baik kerusakan fisik bangunan maupun jumlah korban jiwa tidak sebanyak tahun 2000. Namun tingkat kepanikan warga jadi jauh lebih parah.

Belajar dari pengalaman gempa tahun 2000, desain konstruksi bangunan di Bengkulu memang sudah banyak berubah beberapa tahun. Tidak lagi memakai genting dari tanah atau semen yang berat. Fondasi dan kerangkanya pun dibuat lebih kokoh. 

Meski masih tetap tercatat ada korban jiwa sebanyak 21 orang, namun jika dibandingkan dengan tujuh tahun sebelumnya .... ketahanan dan kesiapan Provinsi Bengkulu menghadapi gempa patut diacungi jempol. Inilah yang membuat gempa Bengkulu kemudian tidak "se-tenar" gempa Padang atau Jogja. 

Meski derajat skala richternya jauh lebih tinggi , namun jumlah korban berhasil ditekan. Warga Bengkulu sudah siap menghadapi bencana gempa yang bisa muncul sewaktu-waktu. Bahkan, ada masa-masa dimana warga Bengkulu merasa gempa sudah menjadi bagian dari hidup masing-masing. Saking seringnya, saking terbiasanya.

***

Berdasarkan apa yang saya rasakan terkait dua peristiwa itu, saya menulis beberapa poin yang mungkin bisa berguna untuk dilakukan terkait penanganan gempa.

1. Kondisi camp pengungsian senyaman mungkin
Ok. Saya tahu ini akan sangat sulit dilakukan bahkan nyaris mustahil. Tapi setidaknya, pastikan ada akses untuk anak bebas bermain. Bermain bisa menghindarkan anak dari trauma psikis berkepanjangan akibat gempa.

2. Stop sebar kondisi memprihatinkan korban jiwa
Benar, kita prihatin. Kita berduka. Tapi sungguh tidak etis jika kita menyebarkan kondisi jenazah korban tanpa sensor sama sekali, apalagi di sosial media. Jika memang dirasa perlu (mungkin dengan niat agar keluarga yang masih hidup bisa menemukan), bisa dilakukan dengan cara lebih manusiawi. 

Berikan foto pada posko-posko darurat yang didirikan, atau beri pengumuman  terkait bukti fisik lain pada korban seperti warna  pakaian. Tidak perlu pakai foto korban. Susah lho melenyapkan gambar-gambar traumatis itu dari kepala.

3. Atur distribusi bantuan
Saat gempa tahun 2000 dan 2007, pengalaman di keluarga saya, bantuan yang diterima dari berbagai pihak sangat berlebihan. Bahkan sampai ada item bantuan berupa bahan makanan yang tidak habis untuk stok setahun ke depan. Sementara, kami saat itu tidak tahu apakah ada daerah lain yang kekurangan. Usahakan bantuan yang sampai adalah yang memang diperlukan pengungsi.

4. Perhatikan relawan
Kadang, saat bencana semua pihak hanya fokus pada pengungsi. Tidak salah, sih. Tapi relawan yang bertugas juga harus diperhatikan. Baik tenaga medis, aparat TNI/Polri, petugas dapur umum, dll. Pastikan mereka juga punya cukup makanan dan waktu istirahat.

5. Perbanyak sebar energi positif
Masih ada yang hobi bilang bencana alam itu azab? Kalau masih, coba dibuang sajalah keinginan untuk menghakimi seperti itu. Ingat, para korban sudah cukup tersiksa batinnya karena kehilangan keluarga, teman, dan sanak saudara. Mereka yang masih hidup butuh support. Butuh dikuatkan.

Jika tidak bisa menahan diri dari menebar komentar negatif, lebih baik diam saja. Jangan menunggu jadi korban sendiri dulu, baru tahu berempati.

Akhir kata, turut berdukacita sedalam-dalamnya untuk saudaraku di Palu (dan Lombok). Semoga Tuhan senantiasa menguatkan kalian di sana. *Peluk dan doa dari Sumatera.

Kompal : Kompasianer Palembang
Kompal : Kompasianer Palembang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun