Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Yang Saya Rasakan Saat Jadi Korban Gempa Waktu Itu

1 Oktober 2018   02:45 Diperbarui: 2 Oktober 2018   08:34 2535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompal : Kompasianer Palembang

Belum ada yang punya ponsel saat itu. Saya diajak papa mengunjungi keluarga kakek di desa lain. Di sepanjang perjalanan, saya melihat rumah-rumah hancur...tak sedikit pula yang rata dengan tanah. Syukurlah keluarga kakek selamat, namun di desa kakek tercatat ada yang meninggal dunia tertimpa reruntuhan.

Rasa senang terkait "kemping" semalam langsung menguap. Berganti ngeri, berganti merinding. Namun bagaimana pun nyatanya saya tetap anak-anak ... Saya dan teman-teman mempunyai cara tersendiri untuk melupakan kengerian. Kami bermain di lapangan dan di seputar tenda sepanjang waktu.

Hari-hari berikutnya, saya menjadi akrab dengan kata bantuan dan relawan. Berkardus-kardus mie instan dan sembako menjadi bagian hidup sehari-hari. Orang-orang gagah berbaju loreng menjadi banyak di desa kami. Begitupun kakak kakak dan mbak mbak cantik yang katanya "mahasiswa kedokteran" dan sering menggelar pengobatan gratis. Itu masa-masa ketika saya menjadi muak sekali dengan mie instan.

Saat membaca koran lokal yang tak pernah absen dibeli papa di hari-hari berikutnya, saya tahu bahwa sedikitnya ada 100 orang meninggal dalam peristiwa itu.

***

12 September 2007, jelang Magrib, tepat sehari sebelum puasa.

Saya bukan lagi bocah SD. Tapi anak SMA kelas 2 yang sedang libur awal Ramadhan. Saya dan sepupu membantu papa di lapak jualan di pasar. Sudah mau tutup dan bersiap pulang.

Saat itu gempa besar kembali terjadi. Guncangan terasa sekali di kaki telanjang saya. Papa membimbing saya dan adik sepupu ke tengah pasar, di mana kios sebagian besar hanya terdiri dari tiang kayu beratap terpal plastik. Menjauh dari kios sendiri yang bangunannya dari tembok batu bata. Kami merunduk dan berlindung di bawah meja kayu.

Kami selamat. Sepanjang perjalanan pulang, tak saya temukan bangunan-bangunan rusak parah seperti gempa tujuh tahun lalu. Namun kekhawatiran besar lain segera menyusul : Tsunami.  Ya, saya, gadis 16 tahun yang sudah bisa menuliskan kata itu dengan tepat, serta memahami benar artinya. Terutama sejak peristiwa Aceh tahun 2004.

Bengkulu adalah daerah pesisir dengan garis pantai terpanjang se-Indonesia. Jika sampai terjadi tsunami, maka habis sudah. Sampai di rumah, tetangga sudah banyak yang mengungsi ke daerah lebih tinggi. Saya menelpon mama yang ada di kabupaten lain, syukurlah ... mama selamat dan berjanji segera pulang.

Saat gempa tahun 2007, baik kerusakan fisik bangunan maupun jumlah korban jiwa tidak sebanyak tahun 2000. Namun tingkat kepanikan warga jadi jauh lebih parah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun